Selangkangan

Katanya selangkangan itu sakral, tapi bunyi katanya saja bikin dahi mengernyit. Bukan dahiku pastinya—karena aku suka selangkangan. Terutama saat sela-selanya basah, pertanda sang liang licin telah siap dihunjam. Atau sebaliknya, pertanda jejak permainan yang usai dan menyisakan mani yang mengerak.

Katanya selangkangan itu sakral, jadi jangan main-main dengannya, terutama bila itu bukan milikmu. Entah bukan atau belum. Menurut kamus, dua-duanya tergolong zina. Tapi kamus luput akan satu hal: bersanggama—yang melibatkan selangkangan—itu naluri dasar manusia, si makhluk binatang yang instingnya adalah untuk dipuaskan. Titik.

Maka tak salah bila aku menikmati pemandangan selangkangannya, yang saat itu bukan milikku. Namun dia leluasa mengangkang tanpa aku paksa. Aku ingin ia mengangkang di depanku, dan ia ingin mengangkang di depanku.

*

Di balik linen yang lembut, jari-jariku kembali menyusupi sela kedua pahanya. Terus menanjaki hilir menuju muara hingga aku dapat merasakan hangat liang intimnya, yang melicin dan tak lama lagi menderas. Kedua pahanya merenggang, menyilakan jemariku membelai gundukan kemaluannya, bermain memilin dan menggesek bibir kemaluannya yang sontak menegang di kanan kiri, lantas memasukinya. Nikmat semakin mengundangku mengeras, ia menderas; mengundang yang mengalir membuat jariku basah, membuatnya berdesah, dan membuat berahi makin terasah. 

Aku beranjak ke atasnya, menghimpit tubuh telanjang yang saat itu menjadi milikku. Ia—dengan kedua bibir yang membuka dan kedua mata yang meronta oleh gairah—melebarkan kakinya. Mengangkang di bawahku. Dalam detik-detik bertuah itu, semua definisi sakral yang kami tahu langsung lenyap mengudara, bersamaan dengan aku menancapkan kelaki-lakianku ke dalamnya. Ke dalam liang yang ia buka dan persilakan untuk aku masuki.

Dan pada detik itu, selangkangannya menjadi sakral bagiku. Sakral yang dibahasakan oleh gaung lenguhan dan raungan hawa nafsu sepanjang kami bersetubuh, bersatu dalam detak jantung yang berpacu lebih cepat berkali lipat. Sebuah harmoni yang akan disapu waktu. Waktu yang segera berlalu dan mengantar selangkangannya kembali menjadi sakral bagi yang lain. 

***

Bintaro, 23 Juli 2017
Terlalu banyak diterpa selangkangan, malam ini.



Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar