Catatan tentang Balikpapan #1

Tiga minggu berdiam di kota yang selalu ramah dengan mataharinya menggelitik saya untuk sedikit bercerita tentang Balikpapan, kota asal tempat saya lahir dan tumbuh. Lima tahun saya sudah meninggalkan kota di bagian timur Pulau Kalimantan karena alasan akademis yang menerbangkan saya ke belahan barat Pulau Jawa, Bandung alias Jatinangor tepatnya. Waktu-waktu menikmati Balikpapan hanya saya dapatkan paling tidak dua kali dalam setahun dan di akhir 2010 hingga awal 2011 ini, saya memiliki waktu yang lebih untuk berdiam di sini karena status pengangguran (hasil dari gelar Sarjana yang sudah saya dapatkan Desember lalu) yang kini menjadi label tambahan di diri saya. 

Saya tidak akan menampilkan data-data statistik karena memang saya hanya ingin bercerita dari sudut pandang saya sebagai warga kota ini. Jujur saja, kepulangan saya di akhir 2010 dan awal 2011 ini membuat saya menyadari bahwa pesatnya perkembangan kota ini jika dibandingkan dengan Balikpapan yang saya kenal sejak 1987 (ya baiklah, saya baru bisa mengingat penginderaan secara sadar mungkin sekitar 1990-an :p.red). Perkembangan yang secara pesat terjadi ini bisa dilihat dari pembangunan gedung perkantoran, bertambahnya jumlah perusahaan asing yang otomatis menyerap semakin banyak tenaga kerja dari luar pulau, juga dibangunnya sarana-sarana publik seperti mal, restoran, kafe, yang seolah semakin memanjakan warga Balikpapan untuk mencicipi hiburan yang selama ini mereka rindukan.


Setiap perkembangan kota pasti memiliki dua sisi efek sekaligus. Pertama, dari sisi yang kurang menyenangkan adalah semakin padatnya lalu lintas dikarenakan pertambahan kendaraan pribadi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari luar pulau. Saya mengelukan Balikpapan karena keleluasaan dalam berkendara dan tidak adanya macet yang sudah membudaya di kota-kota besar Pulau Jawa sana. Menurut pengamatan saya setiap pulang pada Oktober 2010, November 2010, dan kini Januari 2011, saya merasakan hal tersebut makin mengganggu. Tak jarang saya mengendarai mobil dengan kecepatan 40km/jam bahkan hanya 20km/jam di jalan raya kota ini. Saya juga mengamati plat nomor kendaraan yang melintas di jalanan, plat B sudah biasa dari dulu, tapi sekarang? Plat D asal Bandung ramai mewarnai jalan raya, belum lagi plat DD atau DN dan D'naon' lainnya yang menandakan warga Sulawesi bertambah di kota ini. Hal itu sungguh dapat dimaklumi mengingat jumlah perusahaan yang bertambah di sini tiap tahun dan pasti memaksa warga luar kota untuk hijrah mencari nafkah di Balikpapan. Kota ini identik dengan mitos 'upah tinggi' dan pula dikenal sebagai salah satu markas perusahaan asing yang bergerak di bidang oil, mining, gas, coal, etc. Jadi, sekarang saya tidak bisa mengatakan bahwa tidak ada macet di Balikpapan, karena ternyata kota ini sudah merangkak satu level pertanda kota maju (sangat disayangkan), yaitu "budaya macet" walaupun belum separah Jakarta.

Kedua, saya mengamati di beberapa bagian jalan, semakin banyak jalan berlubang/rusak. Padahal, (lagi-lagi) saya selalu membanggakan kota ini karena dibandingkan dengan Bandung, Balikpapan yang ada dalam benak saya adalah kota yang jalanannya mulus. Kerusakan-kerusakan tersebut bisa diakibatkan oleh berbagai faktor, dan doa saya hanya semoga ke depannya tidak bertambah banyak jalanan yang rusak atau dihiasi oleh lubang-lubang. Sejauh ini, hanya dua hal tersebut yang membuat saya agak kurang nyaman berkaitan dengan perubahan Balikpapan lama, yang saya kenal, dengan Balikpapan kini yang sibuk dan giat ditata oleh pemerintahnya.

Beranjak dari ketidaknyamanan yang saya rasakan, berikut sedikit cerita yang membuat saya makin kerasan untuk berdiam lama di sini. Bertambahnya sarana-sarana pemenuhan kebutuhan hidup seperti supermarket, restoran, kafe, fasilitas hiburan yang membuat kota ini kini bisa dibilang 'serba ada'. Dulu, mungkin kamu, warga kota ini, masih ingat ketika Balikpapan Plaza atau akrab disebut "BC" (dengan pelafalan: 'bese') adalah satu-satunya pusat perbelanjaan yang menjadi andalan seluruh warga. Hero Supermarket, Matahari department store, toko mainan Whoopy, toko musik Disc Tarra, adalah segelintir dari toko-toko yang berjasa memenuhi kebutuhan warga sini. Sekarang? Warga Balikpapan sudah akrab dengan Balikpapan Super Block yang tenar dengan keberadaan mal baru yaitu E-Walk, atau Balikpapan Trade Center dengan Hypermart-nya yang memberikan alternatif untuk berbelanja beragam kebutuhan. Kedua mal baru tersebut juga diiringi dengan bertambahnya kafe-kafe serta coffee shops seperti Starbucks, Excelso, dan baru akan dibangun Black Canyon. Tak lupa juga McDonald yang akhirnya tidak menjadi sebatas rumor juga sudah bisa dinikmati warga di kota ini.

Saya beruntung menjadi salah satu pribadi yang bisa merasakan betapa berbedanya Pulau Jawa yang sudah tidak usah diragukan kemajuannya dari jaman dulu kala, dengan Pulau Kalimantan yang dikenal dengan kekayaan tambang dan hutannya. Orang tidak akan bepergian ke Balikpapan untuk mencari mal yang penuh dengan merek luar negeri atau sebaran kafe di tiap sudut kota, orang tidak akan bepergian ke sini untuk mencari apa yang saya kenal dengan 'liburan', tapi orang pergi ke kota ini untuk mencari uang. Tentu saja, masih akan berlangsung demikian untuk beberapa tahun ke depan dengan perkembangan perusahaan asing yang tidak bosan menyedot segala kekayaan alam Kalimantan. Tapi, toh, ternyata, kota ini terdesak oleh hal tersebut untuk membangun dirinya menjadi salah satu 'kota besar' yang mampu menampung ragam kebutuhan jutaan jiwa pribumi ataupun warga asing yang membanting tulang mencari uang di sini. Saya masih belum bisa membayangkan wajah kota ini lima tahun ke depan, tapi satu yang pasti: pembangunan gedung dan pertambahan penduduk yang tak terelakkan. Jauh dari ibukota yang mapan dan 'segala ada', kota kecil di pinggir Teluk Balikpapan ini dengan ceria masih dalam tahap 'menuju' kemapanan (walaupun saya juga ragu dengan definisi kota mapan itu seperti apa mutlaknya).

Sepantar dengan kepadatan yang semakin mencemaskan, pertumbuhan tempat hiburan di kota ini ternyata memberikan kesenangan tersendiri bagi saya. Semakin menjamurnya restoran dan kafe di pinggir pantai alias teluk memberikan nuansa unik yang selalu saya rindukan. Berderet nama restoran seperti Oceans, Bandar (bentuk kafe-kafe di bandar menyerupai pier dengan bangunan semacam dermaga kayu yang berdiri di atas permukaan air), Restoran Kemala (yang memberikan hamparan pasir putih sebagai eksteriornya), Jack's Place (European American Resto), Batakan Beach Cafe, dan Beach House yang akan mengingatkan kamu terhadap Segara di Ancol dan Bali dengan desain eksteriornya yang menyelipkan unsur etnik. 
Semuanya bisa digapai dengan mudah dan dalam sekejap dapat memberikan relaksasi tersendiri yang belum tentu bisa saya dapatkan di kota lain. Namun, bagi kamu yang baru pertama kali berkunjung ke Balikpapan, satu pesan saya: jangan terkejut dengan angka yang menandakan harga di tiap sajian kafe di sini, memang sudah begitulah adanya. Biaya hidup di Balikpapan mungkin bisa disepantarkan dengan Jakarta dengan catatan tidak ada biaya tol, biaya untuk bahan bakar kendaraan juga lebih hemat karena luas kota yang terbilang kecil, dan minimnya polisi cepek di Balikpapan (saya masih sering terkejut ketika tukang parkir menolak diberi uang parkir). 

Kira-kira inilah sedikit cerita saya tentang apa yang saya nikmati dan kurang nikmati berkaitan dengan perkembangan Balikpapan, kota minyak yang melulu dikenal karena eksistensi perusahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan dan perminyakan. Kota kecil yang dulu sering saya jelajahi perbukitan tanah dan hutannya dengan ayah menggunakan mobil Feroza hijau tua. Kota kecil yang terus-terusan digunduli untuk permukiman sebagai tahapan menerima kodratnya yang semakin padat dan berkembang. Balikpapan yang sesuai dengan salah satu mottonya 'kubangun' (dari motto Kubangun, Kujaga, Kubela) akan terus berkembang. Balikpapan yang selalu saya rindukan karena langit birunya, dan Balikpapan yang akan terus menjadi rumah obor abadi milik Pertamina (di bilangan Jalan Minyak terdapat obor setinggi entah berapa meter yang selalu dimahkotai nyala api yang tidak pernah padam walau hujan sederas apapun). Ya, inilah segelintir kisah tentang Balikpapan yang pertama hadir di blog saya dan sungguh saya tidak sabar untuk berbagi cerita lainnya mengenai kota ini!***

Beach House Restaurant

Gerbang menuju perumahan Balikpapan Baru

Balikpapan, 28 Januari 2011


Comments

  1. Kan, I saw once in some magazine, I forgot which one.. A high level restaurant with ocean view and it's awesome.. And a mall with a water front concept, located at seaside. Your city is wonderful. Wish I could go there

    ReplyDelete
  2. @Jilo: one day ya lo bakal ke sini ;)

    ReplyDelete
  3. lagi browsing tentang balikpapan, tiba2 nyangkut di blog ini...hehehe terimasih atas reviewnya, karna sebentar lagi, saya pun akan menjadi warga balikpapan..:D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar