Posts

Showing posts from 2012

Tentang Pagi

Sedikit ingin bercerita mengenai apa yang tiba-tiba melintas di pikiran saya malam ini. Sebuah curhatan atau saya lebih suka menyebutnya sebagai refleksi tentang bukan malam yang muncul di malam hari. Ya, pusing, tapi sebenarnya kalimat sebelum ini hanya sebuah basa-basi yang juga muncul di malam hari walaupun bukan tentang malam. Bukan sebuah kesengajaan ketika tiba-tiba kicau burung mengejutkan daun hingga gendang telinga saya tanpa suara itu hadir, ketika tiba-tiba emas cahaya mentari membuat saya silau padahal sekarang sudah malam dan mustahil ada matahari beserta cahaya emasnya yang membawa biru langit terlihat begitu kontras dengan lembutnya awan putih bak kapas menggantung tinggi, ada di waktu seperti ini. Suarapun terdengar berbeda, ketika malam yang hening digantikan oleh seru-seruan manusia yang baru membuka hari terdengar di telinga saya. Semuanya adalah tentang pagi.

Karangan Angan

Kamu merapatkan jari-jarimu dan membentuk cekungan dengan telapak tanganmu lalu mendaratkannya di pipiku. Tanpa kata-kata, kamu menatapku dan mata itu hanya bergerak saat kamu mengedipkannya. Berselang dua detik kemudian kamu mengusapkan ibu jarimu ke kulit pipiku sambil terus mengamati air wajahku yang tak berubah: diam. Kedua bola mata itu layu, sekaligus tegas dan menyiratkan pandangan yang seolah berkata, "Hari ini sungguh melelahkan, sebaiknya kita tidur saja." Tapi kamu tidak beranjak, melainkan tetap memandangiku lekat sembari mengusap ibu jarimu itu berulang-ulang ke arah yang berlawanan. Dua menit berselang, kamu tak juga berhenti dan aku makin tak mengerti harus apa. Apa? Aku tidak ingin kamu berhenti menatapku saat itu dan aku juga tidak ingin waktu berlalu hingga jari-jarimu terpaksa lepas landas dari kulit pipiku. Dua puluh menit waktu telah berputar, namun pergerakan kita di seluruh sudut ruangan ini masih terselimuti oleh diam. Krrrrrr.... Keran di wastafe

Perkara Bahagia

Beberapa minggu ini berlalu dengan sebukit renungan yang makin mencambuk. Tidak cuma terjadi pada saya, tapi juga pada beberapa teman dan beda kasus pula. Ada yang mempersoalkan cinta terhadap pasangan, cinta terhadap pekerjaan, juga cinta terhadap diri sendiri. Hingga terlintas rangkuman dari macam-macam renungan tersebut: semua bicara soal kebahagiaan.  Kita pasti menemukan aneka perkara yang menyematkan dirinya di pundak manusia di tiap waktu. Alhasil, semua itu akan memancing keluh-kesah dan keresahan yang berujung pada pertanyaan, "Bagaimana caranya supaya saya lebih bahagia dari sekarang?" Saya yakin jawaban dari pertanyaan inilah yang dicari. Ketika satu orang mengeluhkan persoalan hubungannya dengan sang kekasih yang jarang bikin damai, orang lain juga sedang mencaci-maki atasannya di kantor yang dirasa tidak punya rasa kemanusiaan. Di kubikel lain, ada pula yang sedang frustasi karena tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang tambahan untuk melunasi utang. La

Detik Leluasa

Image
Sesungguhnya, pemandangan ini membuatku iri setengah mati pada si meja dan kursi di hadapanku kini. Bagaimana tidak? Dua benda mati ini selalu dinaungi oleh teduhnya pepohonan yang hijau, selalu disinari cahaya terkuasa tiap pagi, siang, dan sore. Belum lagi udara bebas yang selalu menyelinap dengan lembut di tiap pori-pori kayunya. Semua begitu...bebas dan sehat. Namun, aku harus akui bahwa berkat si meja, kursi, dan segala suguhan alami yang dipunyainya, maka aku bisa mencicipi secuil kebebasan yang tiap detik tersaji di sini. Aku merasa bebas... Tidak ada sekat yang harus mengurungku tiap hari di jam yang sama, tidak ada bantuan teknologi agar aku bisa merasa sejuk, dan tidak ada pertarungan gahar di jalan raya. Sungguh sederhana, karena yang aku butuh cuma si meja, kursi, dan semua yang mengitarinya kini. Semudah itu kebebasan bisa terkecap dengan sempurna. Tapi memang berbelit untuk bisa mendapatkan kebebasan semurah ini. Ada harga-harga yang harus dibayar demi mampu melepaska

Menangkap Waktu

Pada akhir pekan yang sudah tertanda Senin dini hari ini, saya menyadari bahwa beberapa pekan belakangan, otak saya sering sekali memutar rekaman atas apa yang terjadi selama sepekan dan pekan-pekan sebelumnya. Lalu, ketika usai mengingat-ingat momentum yang telah berlalu, ada sebuah kesadaran yang bisa dibilang menyeramkan hinggap dalam pikiran saya. Betapa waktu terlalu cepat berlalu! Rasanya baru kemarin saya bepergian ke tempat itu, lalu tiba-tiba momen itu sudah terlewati selama sebulan. Saya merasakan seolah ada banyak hari yang hilang tanpa jejak serta tanpa makna. Renungan ini pun mengantarkan saya pada sebuah renungan lain, yaitu waktu kini semakin kencang berlari dan bertambah laju meninggalkan detik lalu, menit lalu, sejam lalu, hingga sehari yang lalu.  Tak cuma sekali saya mengutarakan analisis pikiran saya ini kepada beberapa teman yang ternyata merasakan hal serupa. Berkali-kali saya dan teman-teman berdiskusi dan mengucapkan rasa heran tentang hari yang makin cepat ber

Kiamat

Perjalanan ini ternyata luar biasa sulit. Belum pernah aku alami sebuah tanjakan terjal sekaligus jurang curam secara bersamaan dalam satu detik. Semua batas antara waras dan sinting teraduk jadi satu dalam pusara yang semakin keras berputar dan memusat, semena-mena menebang segala rasio dan perasaan yang semestinya bisa dikontrol oleh batas kemampuan manusia. Tiap janji mungkin dan tak mungkin sudah menemui ajalnya dan bocor merembesi tiap permukaan, lalu menjadikan seluruh tubuhnya berlumut, mengerak, lalu lapuk. Sumpah serapas atas permukaan berbatu ini sudah tidak terasa lagi, malah membuat jarum-jarum tertajam di muka bumi ini bertumbuhan di sana sini. Sejauh pupilku memicing, aku tidak mendapati satu milimeter pun permukaan yang halus untuk dipijak. Telapak kakiku bahkan sudah tak terkejut lagi oleh kejam terik matahari yang termanifestasi di tiap butir pasir. Kasar, panas, menggores, menyayat, seluruh kulitku sudah kebal. Ada saat-saat tertentu aku menoleh ke belakang, hori

Mengurangi Ketidakpastian

Pepatah lama bilang bahwa ‘tak kenal maka tak sayang’. Saya juga kurang tahu siapa yang mencetuskan pepatah itu hingga kini jadi pengetahuan semua orang yang hidup dan bersosialisasi. Lalu, yang saya tahu cuma kalimat di atas telah jadi pengabsahan bahwa untuk bisa memiliki ikatan emosional lebih dengan seseorang, maka kita harus mengenalnya terlebih dahulu. Secara ilmiah, saya telah mempelajari penjabaran logis dari proses berkenalan dengan individu lain karena memang saya menempuh jalur pendidikan ilmu komunikasi. Saya ditempa dengan segala macam teori yang mengupas bagaimana hubungan manusia dengan manusia lainnya terjalin, mulai dari proses awal hingga akhir. Sepanjang hidup saya (dan juga Anda), mungkin sulit untuk menghitung berapa banyak jumlah orang yang kita kenal. Ya, mungkin, dengan kehadiran Facebook, kita bisa melihat secara lebih mudah berapa banyak orang yang benar Anda dan saya kenal, atau sebaliknya. Dari sekian ratus atau ribu teman yang ada dalam jaringan sosial itu,