Menangkap Waktu

Pada akhir pekan yang sudah tertanda Senin dini hari ini, saya menyadari bahwa beberapa pekan belakangan, otak saya sering sekali memutar rekaman atas apa yang terjadi selama sepekan dan pekan-pekan sebelumnya. Lalu, ketika usai mengingat-ingat momentum yang telah berlalu, ada sebuah kesadaran yang bisa dibilang menyeramkan hinggap dalam pikiran saya. Betapa waktu terlalu cepat berlalu! Rasanya baru kemarin saya bepergian ke tempat itu, lalu tiba-tiba momen itu sudah terlewati selama sebulan. Saya merasakan seolah ada banyak hari yang hilang tanpa jejak serta tanpa makna. Renungan ini pun mengantarkan saya pada sebuah renungan lain, yaitu waktu kini semakin kencang berlari dan bertambah laju meninggalkan detik lalu, menit lalu, sejam lalu, hingga sehari yang lalu. 

Tak cuma sekali saya mengutarakan analisis pikiran saya ini kepada beberapa teman yang ternyata merasakan hal serupa. Berkali-kali saya dan teman-teman berdiskusi dan mengucapkan rasa heran tentang hari yang makin cepat berganti. Terlepas dari beragam hal yang saya tunggu di depan sana, namun saya tak bisa mengelak untuk menengok ke belakang untuk mengingat apa yang sudah lalu dan apa yang sudah membawa saya ke titik ini. Setahun terakhir, saya akui bahwa ritme hidup ini terasa lamban, bahkan cenderung stagnan. Tidak ada titik puncak dan jatuh yang begitu curam hingga saya bisa mengukir kenangan yang berarti seperti tahun-tahun sebelumnya. Bisa jadi hal ini terjadi akibat fase hidup yang kini saya jalani adalah fase 'begitu-begitu saja', alias tidak sedinamis dulu. Kerja, kerja, kerja, kerja, kerja, libur, libur, kembali lagi ke kerja. Begitu seterusnya hingga detik ini.

Intinya, di tengah laju detik yang makin cepat dan tak (pernah) bisa kompromi ini, saya merasakan sebuah ketakutan yang besar mengenai bagaimana saya menggunakan waktu dengan bijak. Sulit memungkiri bahwa saya sendiri takut berada di titik ketika saya sudah lebih tua beberapa tahun dari sekarang, lalu saat saya mencoba melihat ke belakang mengenai pencapaian atau momen berarti yang terukir, ternyata otak saya sulit menemukan momen tersebut. Artinya, tahun-tahun yang saya lewati tersebut tumpul makna. Tentu saja tidak ada orang yang menginginkan hal itu terjadi dalam hidupnya. Oleh karena itu, saya rasa kurang bijak jika saya melulu menyelaraskan waktu dalam hidup ini dengan rutinitas tanpa mengindahkan waktu-waktu kosong yang saya gunakan hanya untuk merenung. Bagi saya, ketika diri saya terpompa secara paksa untuk melalui waktu dengan hanya melakukan yang saya harus lakukan, tanpa mendengarkan apa yang diri inginkan, maka jejak rekaman yang waktu punya untuk diri kita akan berbentuk garis lurus. Tidak ada kurva naik turun, tidak ada kenangan yang berarti, serta tidak ada semangat lebih lanjut untuk menyambut esok.

Biarkan waktu menuntun saya untuk melakukan segala sesuatunya dengan lebih cepat atau tergesa-gesa. Namun, saya rasa, waktu yang saya miliki akan kurang berarti jika tanpa rehat sejenak untuk sekadar menyapa diri, berbincang dengannya, mendengar kala ia mengoreksi diri sendiri, menyanggupi kala diri menagih janji atas pencapaian yang pernah saya rencanakan, dan mengizinkan saya untuk mendorong diri sendiri menuju semua itu. Semua mimpi yang kini masih harus kalah oleh tuntutan rutinitas. 

Waktu boleh berlari makin cepat, ia juga boleh makin memanaskan mesin dalam tubuh manusia ini untuk tergesa-gesa mencapai tujuannya dengan penuh kegusaran atas kemapanan. Hanya saja, saya sadar bahwa diri ini bukan robot, melainkan perwujudan sebuah jiwa yang hidup dan punya naluri dasar untuk menghidupi dirinya secara nyata di dunia ini. Itulah mengapa saya tahu dan sadar bahwa merenung itu tidak pernah sia-sia, dan tahu serta intim dengan diri sendiri adalah selintas hal terpenting yang bisa mendorong saya menuju hari esok. Saya tak berani mengelak untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, karena sejauh ini saya tahu bahwa waktu tak pernah punya ampun untuk rasa sesal.***

Jakarta, 27 Februari 2012

Comments

  1. lama terasa waktu terus berjalan,
    memikirkan masa depan yang belum terbayang,
    yang kulakukan hanyalah sedikit usaha untuk mewujudkannya,
    dengan doa menyertai usahaku berharap mendapat balasan atas apa yang kulakukan,

    ReplyDelete
  2. Waktu itu tidak akan pernah datang kecuali kalau kita menciptakannya dan yakinlah waktu akan selalu ada bila kita mau meluangkan waktu untuk mewujudkannya. Jika dalam sehari itu adalah 24 jam, maka Tuhan telah membaginya menjadi 3 bagian : 1. 8 jam digunakan untuk bekerja, 2. 8 jam kemudian habiskan untuk bersosialisasi, 3. 8 jam terakhir gunakan untuk beristirahat. Jika memang tidak cukup, korbankanlah salah satu waktu dari 3 bagian tersebut. Mungkin masih ingat "time is money or money is time".:)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar