Posts

Showing posts from 2017

2017, Kelana Si Kontradiksi

Image
Sesuatu yang menarik perhatian, mencolok, atau memberikan kesan yang ekstrem rasanya patut—bahkan akan otomatis—diingat. Itulah mengapa saya putuskan 2017 mesti direkam dalam kata. Ini bukan tentang pencapaian titel, kesuksesan material, atau prestasi tertulis. Melainkan tentang satu kurun waktu yang mengukir sebuah tonggak dalam perjalanan kehidupan saya sebagai seseorang. Bentuknya tak konkret namun nyata terasa dalam semesta diri saya, yaitu berupa perasaan, pemikiran, dan pemaknaan tentang hidup. Di beberapa percakapan yang terjadi dengan rekan kerja, keluarga, dan beberapa sahabat, saya mengulas 2017 sebagai 'tahun yang ekstrem'. Penandanya jelas: sejumlah peristiwa yang terjadi setahun belakangan beserta segala rasa yang terlibat di tiap peristiwa tersebut. Pelik. Tahun ini terasa luar biasa pelik. Pernah tidak kamu mengalami kesulitan untuk menceritakan sesuatu, entah perasaan, kronologis, atau gambaran akan sebuah peristiwa saking rumitnya hal tersebut? Nah, d

Fana

Image
Foto oleh  Natalie Collins  /  Unsplash Aku sering bertanya-tanya, Apakah yang nyata pasti selalu berwujud? Jika ya, bagaimana dengan yang tak terungkap? Bagaimana dengan yang tak terlihat? Bagaimana dengan yang tak diujar? Kita sering bermain sendiri, dalam sanubari atau imajinasi pribadi. Toh, banyak yang berdiam di sana tanpa ada yang diberi tahu. Lantas, apakah itu tak nyata? Tapi kita tahu wujudnya dalam hati. Ruang-ruang rahasia kian rapat oleh yang tak kasat mata. Ruang-ruang misteri makin terisi oleh yang tak terperi. Mana yang nyata, hanya sebatas duga. Bintaro, 9 Desember 2017

Nestapa

Image
Foto oleh  Felipe P. Lima Rizo  /  Unsplash Detik-detik itu datang begitu saja. Benakmu terkejut, ingatan kembali terajut. Satu per satu momen tergambar nyata, satu per satu rasa menjalar, dan lapis per lapis rindu menumpuk. Sebelum kamu sadari, jiwamu menyalak susah payah, tersengal memanggil yang tak tampak. Sebelum kamu paham harus apa, rasamu sudah lebih dulu berkata. Kamu tak tahu bagaimana menggambarkannya. Hanya ini potongan-potongannya:           dadamu sesak. kerongkonganmu tercekat. perutmu bagai tersedot ke dalam.       tubuhmu serasa menyusut. mengisut. tak berdaya. tak berkuasa. Bintaro, 6 Desember 2017

Mereka

Mereka sibuk di belakangku. Meracau tanpa ampun, membuat bibir-bibirnya jadi keriting akibat mengoceh terlalu semangat. Katanya, aku penyakit sosial. Virus yang bisa menjangkiti anak-anaknya dan merusak moral mereka. Sumber dosa bagi para pasangannya yang selalu mengeluh tiap sadar waktunya pulang tiba. Mereka paling berkuasa di tataran sosial ini—setidaknya kulihat mereka merasa begitu. Karena mereka bisa memvonis tanpa bukti, tapi memakai prasangka yang mengkristal jadi tudingan. Dengan merapalkan barang sekalimat, ujaran mereka membeku jadi fakta. Lalu menyebar. Lalu dipercaya. Lalu diamini. Lalu jadi mata angin dalam bertindak. Lalu memicu reaksi, berkoar-koar bagai sedang memperjuangkan kemerdekaan negara di luar sana. Lalu jadi hukuman bagi orang-orang seperti aku. Mereka senang. Ambisi hidupnya hanya satu: menentukan nasib orang lain. Mengatur tata dunia lewat kata, dan ajakan bertindak dengan landasan serapuh daun kering. Ah, yang penting massa sudah setuju! Semakin banyak

Feminine Quote from Anaïs Nin

A Spain-Cuban-French author who was famous for her journals. She was also known as a female erotica writer , a title that was rarely found in early 1900s.  These sentences are all about us, women—a wild  thought we keep to ourselves, a covert wish in our prayers: "I do not want to be the leader. I refuse to be the leader. I want to live darkly and richly in my femaleness. I want a man lying over me, always over me. His will, his pleasure, his desire, his life, his work, his sexuality the touchstone, the command, my pivot. I don’t mind working, holding my ground intellectually, artistically; but as a woman, oh, God, as a woman I want to be dominated. I don’t mind being told to stand on my own feet, not to cling, be all that I am capable of doing, but I am going to be pursued, fucked, possessed by the will of a male at his time, his bidding." Can't find a better way to express it. Originally posted on Facebook notes, 1 October 2009

Etape

Image
Foto oleh  Jarrod Reed  /  Unsplash Mungkin kita butuh jeda    untuk mencerna yang ada di dada Mungkin kita tengah berjaga    akibat kecamuk segala praduga Berhenti namun menanti atau Berhenti untuk menanti? Antara itu atau takut mendapati jeda tak buatnya menyusut                           malah mengakar akut. *etape:   (n)  1  jarak (antara dua tempat); perhentian;  2  tahap; fase (kateglo.com) Jakarta, 1 Oktober 2017 Di kala 20 menit menunggu cucian

Sadar Tidak

Sadar tidak, kalau kamu sedang menari di tengah kubangan? Sadar tidak, kalau kamu bersenandung di tangga nada yang buntung? Sadar tidak, kalau kamu tengah tertawa di ruang hampa? Sadar tidak, kalau sewaktu-waktu, kamu akan kembali termenung oleh pertanyaan: mana bahagia? Jakarta, 30 September 2017

Rasa yang Tak Pernah Pulang

Satu masa yang lampau, aku mungkin pernah berjanji bahwa rasa yang ada ini tidak akan pernah berubah. Setidaknya aku yakin pada waktu itu—berkeras kalau aku sanggup menjaganya sampai kapan pun. Setidaknya aku yakin pada waktu itu. Mungkin, aku tidak akan pernah berhasil menjelaskannya lewat kata-kata. Bagaimana takarannya? Apa simtomnya? Apakah karena aku rela meluangkan waktu sepenuhnya untuk dia? Apakah karena aku rela mengorbankan egoku demi sepakat dengannya? Apakah karena aku tidak bisa memikirkan yang lain selain dia? Apakah karena aku merindukannya tiap hari hingga tangis kerap mewarnai malam-malamku? Apakah karena aku selalu merasakan kebahagiaan saat bersamanya? Apakah karena ia selalu bisa membuatku merasa lebih baik dalam situasi buruk? Atau apakah karena aku tahu, betapa besar ia mencintaiku? Apa? Bagaimana rasanya? Percuma. Aku tidak ingat detailnya. Yang aku ingat hanya betapa besar rasa itu menghinggapiku, menjalari seluruh permukaan kulitku dan melahirkan satu se

Alpa

Dalam ketiadaan yang menjalar, aku menuai rindu. Dalam batas yang menegas, aku meredam nafsu. Dalam ladang yang mandul, hanya satu yang subur: kamu. Jakarta, tengah 2017

Selangkangan

Katanya selangkangan itu sakral, tapi bunyi katanya saja bikin dahi mengernyit. Bukan dahiku pastinya—karena aku suka selangkangan. Terutama saat sela-selanya basah, pertanda sang liang licin telah siap dihunjam. Atau sebaliknya, pertanda jejak permainan yang usai dan menyisakan mani yang mengerak. Katanya selangkangan itu sakral, jadi jangan main-main dengannya, terutama bila itu bukan milikmu. Entah bukan atau belum . Menurut kamus, dua-duanya tergolong zina. Tapi kamus luput akan satu hal: bersanggama—yang melibatkan selangkangan—itu naluri dasar manusia, si makhluk binatang yang instingnya adalah untuk dipuaskan. Titik. Maka tak salah bila aku menikmati pemandangan selangkangannya, yang saat itu bukan milikku. Namun dia leluasa mengangkang tanpa aku paksa. Aku ingin ia mengangkang di depanku, dan ia ingin mengangkang di depanku. * Di balik linen yang lembut, jari-jariku kembali menyusupi sela kedua pahanya. Terus menanjaki hilir menuju muara hingga aku dapat merasakan h

Koneksi

Mereka bilang koneksi itu adalah sebuah mitos. Katanya, ada hal-hal lain yang lebih penting ketimbang koneksi jiwa saat kau memilih seseorang. Pernah kudengar pula kalau koneksi adalah sesuatu yang bisa kau pupuk hingga berkembang, mengakar, dan menjadi sesuatu yang mendasari. Konon pula, koneksi itu delusi yang hanya nyata dalam imajinasi. Apakah benar tidak ada namanya pertemuan dua jiwa yang—hanya melalui tatap—terasa begitu mantap; bahkan tanpa kata ataupun penjajakan? Benarkah hal ini mustahil? Apakah ini berarti segala sesuatu yang terjadi dalam sanubari manusia hanya patut dianggap masuk akal bila dapat dirasionalkan? Bahwa koneksi itu ada karena A, B, C, hingga Z. Sesederhana itukah alam pikiran kita? Segamblang itukah segala sesuatu yang terjadi dalam diri manusia—yang justru seringkali membuat kita kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya? Jakarta, 29 Mei 2017

Penasaran

Kamini Kurasa ini hanya atraksi sekejap yang menggoda. Ya, kesan pertama yang berjejak. Sudah natur manusia untuk mengikuti ke mana kemauan berlayar, dan itu... tidak terhentikan. Kurasa ini hanya soal waktu, serta seberapa jauh aku telah tahu  dan menyingkap yang tadinya sebatas isyarat. Misterius. Kamu tahu, itulah bahayanya manusia saat dahaga menguasai. Apa pun dapat terkabul, atas nama obsesi dan keingintahuan yang menggebu-gebu. Manusia itu haus,     dan instingnya adalah untuk selalu dipuaskan. Kama Tak usah bertanya soal makna. Terkadang ada hal-hal yang terjadi begitu saja, tanpa alasan pun pertimbangan. Hanya tindakan. Percayalah, yang terseru justru saat berburu, dan itu... nikmatnya bukan main (tentu saja masih kalah dengan nikmat bersanggama). Yang jelas, dia cukup menganggu. Dan aku tak suka diganggu. Tak perlu banyak menerka. Hukumnya sudah jelas kalau manusia itu gemar menaklukkan demi rasa penuh kuasa. Bahwa dirinya berharga dan diakui—terutama kaum pria.

Harapan

KR Harapan Bayangannya begitu menawan Membuatku terbuai hingga kenyataan pun kugadai Bangkai-bangkai masa lalu Meratapi masa kini dan tak henti beradu Perlahan menjambak sanubari seiring lumpuhkan bestari [bersambung] NB [disambung] Kosong Bagaimana ia menawan Saat sinar gagal menyerta hadir nyata menjadi tanya; ada, atau hampa? Mengusung memori lampau Mencerna ruang hidup siapa? dan mengapa? Semua tanya membusuk Jakarta, 10 Mei 2017 *kolaborasi spontan pertama

Setidaknya, Kini Saya Paham

Image
Sumber: Power of Positivity Sering kali manusia berpikir bahwa jawaban adalah sesuatu yang harus didapatkan sesegera mungkin. Otak kita sudah punya aturan instingtif bahwa pertanyaan haruslah melahirkan reaksi pada saat itu juga. Maka manusiawi rasanya bila kita frustasi ketika dihadapkan pada sebuah ketidaktahuan . Padahal, Sayang, hidup tidaklah sesederhana itu, alam pikiran manusia tidaklah selugas itu, dan jiwa manusia bukanlah sesuatu yang kentara wujudnya. Jadi tak salah pula kalau saya bilang “menjadi tidak tahu” juga merupakan suatu keadaan yang terbilang manusiawi. Tentunya bukan berarti saya pasrah mentah-mentah dengan fase “menjadi tidak tahu”. Pada akhirnya saya sadar kalau ada tiga hal yang telah membantu saya menghadapinya: rela meluangkan energi untuk berpikir lebih dalam , rela berpikir  secara perlahan , dan rela untuk tidak menyangkal apa pun yang hati ungkapkan. Saya percaya kalau—dalam hidup yang tak sesimpel hitam putih ini—ada masanya

Jiwa

Hanya dalam tiga detik, sepotong jiwa menyeruak keluar menerobos lorong gelap yang tak kenal dusta; mata. Hanya butuh tiga detik untuk membebaskan jiwa itu, menjelajahi pelosok-pelosok yang belum pernah ia temui dan sungguh haus untuk ia telusuri di ribuan detik setelahnya. Jiwa menghinggapi pagi, siang, dan malam sekenanya. Ia tak berencana, ia hanya berkelana. Ia tak banyak menimbang, ia hanya bertualang. Jiwa tak sadar, bahwa ia sedang menjelanak ke sepotong jiwa lainnya dan tanpa ia tahu, perlahan ia rasuki bulat-bulat. *menjelanak: menyelinap, menyusup Argo Parahyangan malam, menuju Jakarta, 27 Maret 2017

Wonderfully crafted: Quotes from Lang Leav

“It happens like this.   "One day you meet someone and for some inexplicable reason, you feel more connected to this stranger than anyone else--closer to them than your closest family. Perhaps this person carries within them an angel--one sent to you for some higher purpose; to teach you an important lesson or to keep you safe during a perilous time. What you must do is trust in them--even if they come hand in hand with pain or suffering--the reason for their presence will become clear in due time." Though here is a word of warning--you may grow to love this person but remember they are not yours to keep. Their purpose isn't to save you but to show you how to save yourself. And once this is fulfilled; the halo lifts and the angel leaves their body as the person exits your life. They will be a stranger to you once more. Lang Leav, Love & Misadventure

Nyali

Image
Pic: Tumblr Kamini Kamu tidak perlu bilang apa-apa. Matamu sudah bicara banyak, meski tanpa suara. Mau tahu apa katanya? Tatapannya yang lantang tak berkedip bilang kamu sadar kalau aku ada. Sorotnya yang seketika menyala bilang kamu menanti aku hadir. Pandangannya yang sigap berlari bilang kamu siaga, takut kalau-kalau basah tertangkap olehku. Tak apa. Akan kutunggu hingga dirimu sepenuhnya bernyali, lebih dari matamu. Kama Siapa dia? Aku tahu dia hanyalah seorang asing. Tapi, ada apa dengannya? Pertama kulihat ia, dibuatnya aku kelu. Mataku terpaku. Pikiranku beku. Padahal aku percaya, kalau tatapan pertama itu tak lebih dari pengalih perhatian, bujukan sesaat, namun belum tentu melekat. Dasar manusia. Kadang tak berdaya saat hal di luar logika bersuar. Tapi akan aku tunggu, sampai pikatnya menghantam akal dan buatku tak kuasa lagi. Sampai tersisa nyali yang sanggup bicara. Jakarta, 16 Februari 2017 *bersambung ke "Penasaran"