Rasa yang Tak Pernah Pulang


Satu masa yang lampau, aku mungkin pernah berjanji bahwa rasa yang ada ini tidak akan pernah berubah. Setidaknya aku yakin pada waktu itu—berkeras kalau aku sanggup menjaganya sampai kapan pun. Setidaknya aku yakin pada waktu itu.
Mungkin, aku tidak akan pernah berhasil menjelaskannya lewat kata-kata. Bagaimana takarannya? Apa simtomnya? Apakah karena aku rela meluangkan waktu sepenuhnya untuk dia? Apakah karena aku rela mengorbankan egoku demi sepakat dengannya? Apakah karena aku tidak bisa memikirkan yang lain selain dia? Apakah karena aku merindukannya tiap hari hingga tangis kerap mewarnai malam-malamku? Apakah karena aku selalu merasakan kebahagiaan saat bersamanya? Apakah karena ia selalu bisa membuatku merasa lebih baik dalam situasi buruk? Atau apakah karena aku tahu, betapa besar ia mencintaiku? Apa? Bagaimana rasanya?
Percuma. Aku tidak ingat detailnya. Yang aku ingat hanya betapa besar rasa itu menghinggapiku, menjalari seluruh permukaan kulitku dan melahirkan satu sensasi tanpa henti: bahagia. Satu kata membungkus segalanya, yang rumitnya bagaikan misteri semesta. Aku merasakan kebahagiaan yang terlampau sulit dibendung dan mustahil dikurung. Jadi, persetan dengan definisi dan takaran. Hati lebih pandai memberi isyarat yang nyata ketimbang kata-kata penuh logika.
Maka, jadikanlah bahagiaku itu sebagai takaran rasaku, tolok ukur dan pendorong perbuatanku. Tidak pernah aku alami bahagia yang begitu utuh dan tanpa jeda. Siapa yang berani menolak merasakan bahagia? Bukankah itu pertanda bahwa kita telah menemukan apa yang kita cari? Bahwa itu sesuai dengan kata hati? Setidaknya aku yakin pada waktu itu.

**

Di mana awal semuanya berbelok, ingatanku mulai samar. Yang jelas, tikungan itu begitu tajam, menghilangkan jejak jalan utama dari pandangan, dan aku tidak ingat lagi di mana persimpangannya. Lelah menengok ke belakang, aku putuskan melanjutkan perjalanan mengikuti jalur yang ada di depan. Perlahan kuluruskan pandangan ke depan dan penuh kehati-hatian aku terus maju. Awalnya lambat, aku enggan cepat-cepat. Lama-kelamaan kutancap gas, akselerasi makin terasa hingga aku melaju pada kecepatan yang stabil. Aman.
Kukumpulkan keberanian untuk mempertahankan kecepatan, karena aku lelah berdebat dengan batinku sendiri. Di satu sisi memperingatkan diri untuk siaga, di sisi lain meyakinkan hati bahwa semuanya aman. Harus ada yang berjalan, harus ada titik yang dilewati, harus maju. Beratus-ratus kilometer aku tempuh sembari mengendalikan kecepatan agar tetap stabil. Namun lambat laun ada yang membuatku menginjak pedal rem, memelankan laju, dan kembali ragu. Di mana persimpangan tadi?

**

Pada akhirnya aku lelah mencari-cari memori yang bisa memberitahuku di mana persimpangan tadi. Di mana awal semuanya berbelok. Mungkin, dengan menemukan persimpangan itu, aku berharap tahu di mana bisa menemukannya: bahagia yang membelot. Namun aku betul-betul lupa, lantas kembali gagal membawanya pulang.
Berganti strategi, aku memilih fokus pada masa sekarang, ‘saat ini’, ketimbang melihat-lihat kembali apa yang sudah lewat demi mencari-cari jawaban. Aku sadar, mungkin lebih penting mencari tahu apa yang terjadi dan kurasa di ‘saat ini’. Siapa tahu ada secercah cahaya yang akan membimbingku ke jawaban atas pencarian ini.
Sayang, keputusan itu justru mengantarkanku ke realitas yang pahit. Di ‘saat ini’, aku malah mendapati hampa, kosong, datar, dan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, serta ragu yang makin unggul. Aku tidak berminat. Aku tidak antusias. Aku tidak bergairah. Aku bahkan enggan.
Bila sebelumnya aku sempat mempertahankan kecepatan lajuku dengan menghiasi momen-momen dan presensi dengan hal-hal duniawi yang cantik—karena kupikir itu bisa mengobati apa yang rusak di antara kita—kini aku sadari kalau usaha itu sia-sia. Semuanya hanya aksesori dalam rangka memenangkan konsep positif bertitel ‘berjuang’ dan ‘berusaha’, yang ujungnya terbukti membuat kerusakan makin menganga.

**

Lama aku terdiam. Ya, diam yang panjang dan gelap, dan sendu, dan bingung. Alih-alih melumatkannya, perlahan aku buka lebar telinga dan hatiku untuk kekacauan ini. Kucoba mengindrai apa yang hadir. Sakit. Remuk aku menemui kesadaran bahwa ini bukanlah sebuah kerusakan, tapi lebih dalam dari itu, ini penghabisan. Ternyata, sudah dari lama bahagia kita telah melewati bentuk utuhnya.

Aku merasakan kebahagiaan yang terlampau sulit dibendung dan mustahil dikurung.

Hingga satu waktu, tanpa kita tahu apa pemantiknya, ia meledak. Tak sanggup lagi bertahan di bentuk sempurnanya. Tanpa kita saksikan pula, ia sudah lama hancur berkeping-keping, berserakan di segala sudut, berubah menikam kita dengan pecahannya yang tajam, merobek kulitku dan kamu, mengubah gairah menjadi darah, mengisi tiap bab cerita dengan luka. Dulu pernah kita rasakan ia begitu bulat, padat, dan sungguhlah dahsyat. Kini, ia sudah bersalut debu, tersapu dan tak terlihat lagi oleh mata.
Maka bila kamu bertanya bagaimana memperbaikinya, aku tak bisa menjawab. Aku tidak tahu, sungguh. Ini bukan kerusakan, tapi penghabisan. Rasa itu telah melebur dengan partikel udara, di satu masa yang telah lampau. Ia sudah berlabuh terlalu jauh untuk direngkuh. Kita tak tahu harus ke mana lagi untuk memanggilnya kembali.
Ia, bagiku, tak akan pernah pulang.

***
Jakarta, 25 & 30 September 2017

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar