Posts

Showing posts from March, 2010

the wind beyond her fidgetiness: a monologue of Sekar #4

The  Suffocation Jendela itu persegi empat, memanjang di sisi kamarnya dan menjadi sisi terfavoritnya menghabiskan waktu. Ia leluasa menatap dunia luar melalui jendela itu, walau tak banyak yang terjadi, seperti kendaraan yang kadang melintas, dan rumah-rumah di seberang pun tidak berubah ujud saat hari berganti, namun ia puas karena mampu melihat langit dan ruang udara di luar. Baginya, rutinitas tak banyak tenaga itu mampu membuat ruang kamarnya terlihat lebih luas dan lega. Siang itu cuaca terjadi sebagaimana musim berbicara, hujan, dan membuat ruang udara di luar terlihat kabur oleh rintikan hujan dan menjadikan langit abu. Nafas Sekar memelan, pandangannya mulai tak fokus. Angin dingin melipir menyusupi tiap celah ventilasi dan membuatnya terninabobokan perlahan. Matanya meredup, sisa kesadaran yang ia miliki justru membuainya semakin menghayati kantuk yang ternikmat di tengah siang seperti itu. Entah berapa lama ia mampu menahan katup matanya untuk terus terbuka, perlah

the wind beyond her fidgetiness: a monologue of Sekar #3

The First Sun Siang ini udara begitu bersahabat, walaupun ramalan cuaca di bulan-bulan belakangan selalu menunjukkan cuaca yang buruk, namun tampaknya alam ingin menghibur seluruh umat manusia hanya untuk hari ini. Lihat saja, langit biru cerah dengan semburat awan yang membentuk bantalan putih bak kapas yang tampak empuk untuk ditiduri. Matahari tidak kalah riang dengan senyumannya yang telah lama tidak nampak tersungging begitu jujur di atas sana. Saat ini, lihat saja, ia memamerkan sinar-sinar keemasan yang menyilaukan mata dan menghadirkan semburat garis cahaya hingga ujung telapak kaki Sekar. Hari ini tampak begitu selaras dengan apa yang Sekar rasakan. Entah mengapa, Sekar merasa begitu bersemangat untuk bertualang di seputar kota untuk hari ini. Sejak pagi, ia mengamati keadaan kota, ia merasakan gejolak untuk bercinta dengan hari yang cerah ini. Tidak ada awan mendung, tidak ada dedaunan coklat kusam yang berterbangan di sekitarnya, dan yang terpenting: tidak ada wajah

the wind beyond her fidgetiness: a monologue of Sekar #2

The Anxiety Tidak seharusnya aku banyak bertanya. Aku terlalu cemas dan resah akan kehadiran dia, sebagaimana aku resah kala angin enggan menghampiri untuk satu hari. Dunia ini sudah semakin tidak mesra, manusia semakin tidak tenggang rasa dan tidak akan segan untuk menyikut hati nurani siapa saja yang menghalangi mereka mendapatkan kebahagiaan. Aku termenung, tidak banyak melakukan gerak hirauan atas kerlipan sinar mentari yang tersisip di antara dedaunan pohon itu. Aku memandang sekeliling, hampa sekali. Jika saja aku diberikan ijin, aku ingin hidup di beberapa abad yang telah lewat dan berharap masih bisa menemukan harmonisasi. Harmonisasi yang adalah klimaks kedamaian kehidupan, yang tidak mungkin dapat diraih oleh dunia kini. Aku ingin menikmati setiap keindahan yang terjadi di dunia ini lalu memengaruhi siapa saja menjaga harmoni itu agar dunia tidak berubah menjadi seperti sekarang. Aku semakin terpuruk dengan harus terus berkompromi atas perasaanku. Tidak ad

the wind beyond her fidgetiness: a monologue of Sekar #1

The Identity   Sosok itu hanya berdiri seolah merasa yang mampu diserap asa, namun ia tidak mampu menangkapnya. Terlalu banyak kebimbangan yang menerpa seiring hembusan angin yang menjalari kulitnya. Angin berhembus menari dan menyapa layaknya penari latar yang ingin tampak akrab dengannya, perempuan itu. Lekuk tubuhnya habis dilukis angin di udara hingga gaun itu terus tersibak, membentuk dengan jelas pola yang indah, pola perempuan itu. Sekar, itu namaku. Perempuan, itu yang dapat kuberitahu padamu, karena rahim yang ada dalamku. Feminim, itu identitasku. Karena itu yang orang katakan mengenai kaum kami, ah betapa identitas itu semu karena tidak dapat aku bentuk sendiri, namun mereka yang membentuknya! Dan resah, asa yang kini kuserapi, sendiri. Sekar terus berjalan, perlahan, kadang terhenti sesaat, menatap sebuah rasa rindu yang telah lama ia inginkan hadir kembali di pelukannya. Ia mencari-cari, menerawang ke atas sana, dimana langit begitu ramah akan mata

Rambutnya Bukan Lagi Mahkotaku

Aku pernah bertitah padanya agar tidak memotong rambut panjang sepunggungnya itu. Bagiku, laki-laki akan sangat terlihat keren dengan rambut gondrong, baik lurus ataupun keriting. Terutama, saat mereka menguncir kuda rambut mereka dan membuat rambut di bagian depan tertarik menguncir menyatu kuat, memertontonkan kekokohan karakter kuat mereka sebagai seorang laki-laki. Aku tidak begitu suka laki-laki yang wajahnya terlalu licin tanpa hiasan kumis atau janggut tipis, karena bagiku, kedua jenis rambut itu merupakan bingkai wajah yang akan membuat wajah laki-laki terlihat lebih garang. Ya, aku suka laki-laki garang, tidak suka dengan laki-laki terlalu rapih dan parlente, tidak suka juga dengan yang terlalu dekil karena membuatku malas mencium aroma tubuhnya (padahal bisa saja mereka wangi dan baju habis dicuci), dan terutama aku suka aksen rambut di wajah lelaki. Rambut panjang atau gondrong tentu termasuk di bagian wajah karena rambut membungkus perbentukan wajah mereka dan seper

The Missing Part

For couple times, I thought it wouldn’t be this significant. All I ever did was to look at it as a reasonable point for us as human, that it was just one less thing we couldn’t have. Beside all other less things I saw or felt, though, I’ve been working on it for so long. I took a chance to face the risk not to be able filling the blank between you and I, I made a decision based on fact that we still wanted it to go on, and I kept a thinking which led me into these days we’ve been counting that we’re still together in it. Never occured in my mind that I needed a romance that was shown up anywhere, both direct and indirect ways. I never got a slightest idea how to make things became inspirational for both of us, or have I just been making a tale that we’ve been inspired by each other, while we’re not? Here’s the point, we’re not inspiring each other and we’re not compiling anything into a beautiful works dedicated to you as a self that fill my blank, and so am I to you. You and I

Everybody Needs to Escape

Everyone needs to escape from their routines.  I see many people around me who are getting on their nerves. Talking about phase, it may be a difficult time for me and many of my fellas. I am not saying that we're all busy doing many things in a day--some of us are, literally--but somehow, I see some people are getting sick with what they must think and do nowadays. Indeed, human gets his/her own difficult things in life and it's getting stronger also harder each day, in common way we say it 'being mature issue'. Okay, it'll be easier for me to talk about my own feeling than to generalize it by using 'us' or 'me and my fellas'. Stuff I have to work on is an academic thing, which other people or collegians must be facing at the time they want to graduate. I don't know whether it's me that haven't been disciplining myself at the tightest or I do need to take a break for the sake of my mind and to resume it later. But, I think, i

Surat untuk Seorang Pria

Selama ini aku memilih diam, tak jarang ketika aku tak kuasa menahannya, akan aku ungkap kepadamu. Bukan karena aku murahan, tapi karena aku menghargai keberadaan dirimu yang membuatku tak pernah resah untuk jujur mengenai apapun. Tak bisa kusangkal, kita memang tak mungkin bersama. Orangtuamu memang pernah menentang kita, pun orangtuaku. Tapi toh, ternyata, rasa ini tidak bisa dilawan. Buktinya kita terus menyempatkan diri untuk pergi ke tempat-tempat yang dulu kita sukai, menghabiskan waktu, merasa memiliki barang sebentar, lalu kembali pada kehidupan nyata yang tak memungkinkan aku bertandang ke rumahmu, atau kau ke dalam kehidupanku. Itulah kamu, itulah aku. Satu sama lain akan terus menjadi bayangan hingga aku tak tahu kapan menemui pintu yang hendak memerlihatkan kepada kita sebuah ruangan baru, untuk bersama. Entahlah, toh, kamu juga bukan tipe pria yang berpikir seharusnya kita tidak mengenal lagi satu sama lain. Toh, kita tetap bisa bercakap biasa saja atau sekadar

Kala Musim Hujan Usai

Image
Hujan masih belum berhenti juga di bulan ini. Musim masih meraba-raba waktunya yang makin tak pasti untuk berganti giliran. Ia tidak bisa mengelak dari segala kerusakan yang timbul karena pengaruhnya, walau sebenarnya manusia juga turut andil dalam kerusakan itu. Jalan yang berlubang menyebabkan sekian pengendara motor kecelakaan dan pengendara mobil miris mendengar bunyi nyaring tanda bagian mobilnya menghantam lubang  yang diselimuti genangan air hujan. Kemacetan di jalan raya kota ini semakin memuncak kala akhir minggu. Sepertinya, tidak ada yang peduli atau protes walaupun jumlah kendaraan yang masuk ke kota melebihi jumlah jalan raya yang ada di dalamnya. Seluruh pengendara mobil dan motor egois, berlomba-lomba dan tetap mendewakan keinginannya untuk mencapai tempat tujuan. Jalan berlubang, hujan mendera, dan terpaan makian kanan-kiri tidak mengenyahkan keinginan mereka. Kejadian ini biasa dan pasti terjadi di tiap akhir pekan, di kota ini. Sejuta warga dan turis pun me