Surat untuk Seorang Pria


Selama ini aku memilih diam, tak jarang ketika aku tak kuasa menahannya, akan aku ungkap kepadamu. Bukan karena aku murahan, tapi karena aku menghargai keberadaan dirimu yang membuatku tak pernah resah untuk jujur mengenai apapun. Tak bisa kusangkal, kita memang tak mungkin bersama. Orangtuamu memang pernah menentang kita, pun orangtuaku. Tapi toh, ternyata, rasa ini tidak bisa dilawan. Buktinya kita terus menyempatkan diri untuk pergi ke tempat-tempat yang dulu kita sukai, menghabiskan waktu, merasa memiliki barang sebentar, lalu kembali pada kehidupan nyata yang tak memungkinkan aku bertandang ke rumahmu, atau kau ke dalam kehidupanku.

Itulah kamu, itulah aku. Satu sama lain akan terus menjadi bayangan hingga aku tak tahu kapan menemui pintu yang hendak memerlihatkan kepada kita sebuah ruangan baru, untuk bersama. Entahlah, toh, kamu juga bukan tipe pria yang berpikir seharusnya kita tidak mengenal lagi satu sama lain. Toh, kita tetap bisa bercakap biasa saja atau sekadar menghabiskan kopi di warung kesukaan kita, depan kantor polisi dekat rumahmu, karena toh, aku tak mungkin bermain leluasa di rumahmu. Tapi, selepas itu semua, segala sesuatu yang menyelimuti kita, menyelimuti kamu, menyelimuti aku, menjadi beban yang menyesakkan dadaku. Aku tak suka tingkah lakumu belakangan ini, atau memang sudah dari dulu, namun aku buta?

Aku pernah percaya, suatu saat nanti, kemelut yang menyelubungi kita akan usai lalu kita dapat menjalani kehidupan bersama, tanpa suatu penghalang pun perkara. Jujur saja, makin lama, perasaan itu makin terkikis. Kamu berubah, entahlah, apakah ini hanya perasaan sensitifku yang tak tahu jalan keluar mengenai kita? Aku tak tahu, yang aku tahu, kini kau bukanlah sosok yang aku kenal. Kau yang sekarang bukanlah kau yang dulu membuatku berhasil terperanjat karena mendapati hatiku terpancang di dadamu.

Apakah kau sakit hati padaku? Aku rasa kau pasti sakit hati padaku, karena pernah suatu waktu aku memutuskan pergi dan tidak ada gunanya memerjuangkan diri di hadapan orangtuamu. Aku pernah begitu angkuh hingga sakit hati kala mereka tidak bisa menerimaku, aku yang tidak pernah mengalami penolakan, lalu ditolak oleh mereka hanya karena sesuatu yang menurutku tidak prinsipil. Aku pernah begitu angkuh hingga sakit hati luar biasa kepada orangtuamu yang tidak mementingkan kebahagiaan anak sulungnya. Namun, aku tetap kembali padamu. Aku tetap merindukanmu, entah apa yang terjadi sebenarnya di antara kita, benang apa yang kau sematkan dulu, tapi aku selalu kembali merindukanmu. Walau penuh keraguan, ya, aku merindumu penuh dengan segala keraguan yang kubuat sendiri setelah melihat perangaimu yang berubah.

Sepertinya, kau menyadari betul bahwa banyak orang mengagumimu, banyak orang berlomba ingin menjadi dekat denganmu, banyak orang yang suka merayumu dengan segala kata canda yang kau ladeni juga dengan pesonamu. Semua itu canda, mungkin? Tapi, bagiku itu menjijikkan. Dulu, saat kupikir tak mudah meraih hasratmu, tak mudah meraih perhatianmu, tak mudah melunturkan hatimu, semua itu sirna perlahan, kini.

Aku tidak suka dengan segala tingkah laku dan perangaimu yang dengan senang hati menunjukkan pesona juga bujuk rayu tak tersurat dengan perempuan-perempuan lemah hati itu. Aku tidak suka dengan sikap pongahmu yang begitu jelas terlihat setiap kita tidak bertemu, setiap kamu tidak sedang menatap mataku. Kau mati-matian menunjukkan bisa hidup tanpaku, baiklah, tapi akan lebih baik kau tunjukkan hal itu dengan cara yang tak berlebihan. Toh, sudah banyak waktu kau mengakui keangkuhanmu itu luntur akibat rasa? Untuk apa lagi kau coba memasang benteng angkuh yang begitu tinggi hanya demi membuatku terlihat rendah?

Dengarlah sayang, jika kau sungguh ingin menyulut api permainan asmara di antara kita berdua, kau sudah tahu betul aku mampu. Kau bukan satu-satunya pria yang ingin ada dalam pelukanku, kau tahu betul aku memiliki pesona yang bisa mengalahkanmu. Mungkin kau rasa aku telah menjadi begitu murah dengan terus-terusan jujur mengenai rasaku yang tak pasti ini kepadamu, tapi kau lupa, aku bisa menebar bisa dan menjerat laki-laki untuk memujaku. Kau lupa itu? Aku rasa kau lupa, karena bertahun-tahun aku begitu terlena dengan kepastian yang tak pasti bersamamu.

Kau juga lupa, sekian perempuan yang kau ajak bermain hati atau gombal belakamu itu sama sekali bukan tandinganku. Maaf, sayang, bahkan sebelum kau ada, aku tahu derajatku ada di mana. Kau pun dalam lubuk sanubarimu tahu betul bahwa mereka tidak bisa disandingkan atau dibandingkan dengan aku, coba saja kau pikir-pikir. Aku mencoba jujur terhadapmu bukan berarti aku rela menjadi salah satu dari mereka. Kau pikir aku khawatir? Bukan, sayang. Aku jengah melihat perangai playboy cap tikus yang kau coba perlihatkan padaku. Kau mungkin lupa atau tak pernah tahu, aku pernah berurusan dengan laki-laki yang jauh lebih pantas disebut pemain hati dan penebar pesona jauh di atasmu.

Terlalu lama dan tinggi kau membentengi hatimu dengan segala kepongahan itu, semakin kau membuatku jauh berlari darimu. Terlalu angkuh kau pikir dirimu adalah Yang Maha Tahu dan Maha Mampu, semakin rendah kudapati kau dibanding dengan segala pria yang aku kenal. Tapi, sayang, jika kau menikmati permainan picisanmu kali ini, maka nikmatilah, karena mungkin kau tahu, perempuan macam aku tidak akan pernah tunduk dan larut dengan segala trik murahanmu.

Jangan jadikan dirimu pria angkuh yang gila harga diri, saat sebenarnya aku melihat harga dirimu kini hanya berwujud kesombongan kosong. Kini, giliranku untuk jujur, aku tahu cemburu ini ada, sayang. Tapi kau tidak tahu, aku cemburu dan menulis surat ini hanya karena aku begitu mencintai sosokmu, apa adanya. Bukan kamu, yang membuat segala sesuatu menjadi terlihat ada demi membuatku mengejar dirimu mati-matian. Permainanmu gagal, untuk mendekatkanku kembali padamu.

Kau gagal karena mengira aku memujamu.

Sarijadi, 13 Maret 2010


*karena tidak semua perempuan sama

Comments

  1. nice letter..
    but..

    although you try to share the girl power like; confident and strengthness, seems to me that u actually try to hide the disappointment and jealosity...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra