the wind beyond her fidgetiness: a monologue of Sekar #4
The Suffocation
Jendela itu persegi empat, memanjang di sisi kamarnya dan menjadi sisi terfavoritnya menghabiskan waktu. Ia leluasa menatap dunia luar melalui jendela itu, walau tak banyak yang terjadi, seperti kendaraan yang kadang melintas, dan rumah-rumah di seberang pun tidak berubah ujud saat hari berganti, namun ia puas karena mampu melihat langit dan ruang udara di luar. Baginya, rutinitas tak banyak tenaga itu mampu membuat ruang kamarnya terlihat lebih luas dan lega. Siang itu cuaca terjadi sebagaimana musim berbicara, hujan, dan membuat ruang udara di luar terlihat kabur oleh rintikan hujan dan menjadikan langit abu.
Nafas Sekar memelan, pandangannya mulai tak fokus. Angin dingin melipir menyusupi tiap celah ventilasi dan membuatnya terninabobokan perlahan. Matanya meredup, sisa kesadaran yang ia miliki justru membuainya semakin menghayati kantuk yang ternikmat di tengah siang seperti itu. Entah berapa lama ia mampu menahan katup matanya untuk terus terbuka, perlahan, ia kehilangan fokus kesadaran, hingga ia tersentak dan sadar.
Sang Tuan Muda sedang berdiri di depannya, membuatnya terkejut dengan kesadaran tiba-tiba tersebut. Namun, ia tak punya cukup tenaga untuk menggerakkan tubuhnya sendiri agar melangkah ke tempat tidur lalu berbaring. Ia membiarkan Tuan Muda membopong lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Sekilas, sang Tuan Muda tersenyum lembut pada Sekar. Ia pun balik tersenyum, entah mengapa, di tengah kesadaran yang telah dibangkitkan oleh rasa terkejut Sekar karena kemunculan Tuan Mudanya yang tiba-tiba, ia tetap tak bertenaga untuk melakukan apapun. Ia hanya mampu melihat dan menikmati senyum sang Tuan Muda.
Kelembutan Tuan Muda memapah dan menyentuhkan telapak tangannya ke permukaan kulit Sekar terasa makin lama, dan mendalam. Sekar merindukan sentuhan itu, ia tersenyum, hingga tak berapa lama tangan sang Tuan Muda mulai menyentuh dan meraba makin banyak permukaan kulitnya. Bergeser dari punggung dan lipatan dalam dengkul ketika Tuan Muda memapahnya, telapak itu bergerak menuju pinggangnya, yang sebelah bergerak menggerayangi perutnya. Sekar merasa tak nyaman, ia tak ingin rasakan itu. Ia tak ingin membiarkan Tuan Mudanya melanjutkan manuver yang membuatnya resah tak menentu. Namun, masih entah mengapa, Sekar tak kuasa melawan dan menolak untuk disentuh. Seketika, ia kehilangan rasa untuk melawan, alih-alih menepis kedua tangan Tuan Mudanya untuk tak lagi menyentuh tubuhnya, ia semakin kehilangan energi. Sang Tuan Muda mengusap-usap segala kulit yang membungkus raga Sekar, bergerak lagi meremas kedua payudaranya, yang sebelah membelai paha sekar, naik ke pangkal pahanya, perlahan namun pasti, menyentuh alat vital Sekar. Saat itu, ingin Sekar berseru, “Jangan!” Namun, nafasnya pun tak mampu memberi tanda itu. Ia tak kuat untuk merasakan sengalan nafas yang membuat degup jantungnya menjadi makin cepat, ia begitu minim tenaga.
Semakin harot Sang Tuan Muda menghayati tiap inci dan senti dari tubuh Sekar, semakin lelah Sekar mengatur nafasnya. Ia merasa mulutnya disekap, ia merasa kedua tangan dan kakinya diborgol. Entah mengapa! Ia makin resah, menanjak panik! Ia merasakan pakaiannya mulai terlucuti perlahan, Sang Tuan Muda mengecup dahi lalu bibirnya lembut, tapi Sekar tak inginkan itu! Ia merasa sedang menggelengkan kepala tanda berontak, namun ia dapati dirinya tak bergerak. Pandangan matanya makin nanar, tapi indera perasanya tak kabur. Ia merasakan Tuan Muda melucuti seluruh kain yang menutupi tubuhnya perlahan, hingga habis! Ia merasakan angin begitu leluasa bertiup-tiup di atas kulit tubuhnya yang kini telanjang, bulat.
Nafas Sekar makin tak beraturan, ia ingin berteriak, “Tidak!” Ia ingin mendorong Tuan Muda sejauh mungkin lalu berkata, “Aku tidak mau! Jangan lakukan yang bukan kehendakku pada tubuhku!” Ia ingin meraung dan memohon Tuan Muda berhenti detik itu juga, ia ingin menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya, namun ia hanya melakukannya dalam pikiran, dalam mimpi! Ia tak kuasa melawan mimpi yang menghilangkan tenaga dalam kesadarannya! Ia tak kuasa menerima Tuan Muda kini tengah benar-benar menikmati cumbuannya sendiri atas seluruh tubuh Sekar. Terpaan yang tak pernah Sekar izinkan! Terpaan yang baginya berlafal perkosaan, hingga Sekar meraung dalam tak sadarnya, ia menangis namun air mata tak ia rasakan bergulir di pipinya. Hingga benar ia berteriak kala Tuan Muda semakin beringas meremas payudara dan pinggulnya, dan pantatnya. Kala Tuan Muda semakin beringas menggigiti putingnya dan kala Tuan Muda memertemukan penisnya ke bibir kemaluan Sekar. Ia terengah-engah, ia meminta dengan sangat energinya kembali! Ia tahu ia sadar, tapi ia merasa seperti tak sadar! Ia merasa lumpuh dengan segala sekap dan borgol yang menjadikannya tak berdaya. Meraunglah Sekar, kala organ kelaki-lakian Tuan Muda menerobos paksa memasuki liang hangatnya yang belum sempat ia bukakan pintunya! Ia merasa telah dicuri! Sekar meraung penuh sakit tanpa bisa ia dengar, ia berteriak penuh pedih tanpa bisa ia rasa tenggorokannya menjadi serak.
Ia kehilangan semuanya. Sekar merasa terpisah dari jiwanya yang sedang melayang tak memikirkan raga sedang membutuhkannya untuk bertitah. Sekar merasa energi yang menaunginya dengan paksa meninggalkan segala organ kala mereka membutuhkan tenaga untuk bergerak atas kehendak Sekar. Ia merasa kehilangan dirinya, dan kalah, dan telah dikuasai, layaknya penjajah yang melakukan apapun mau mereka di tanah yang bukan tempat asal mereka, pun kemilikan mereka. Seperti manusia yang merasa berhak sepenuhnya atas bumi hingga lupa bahwa Tuhan telah memberikan hak kehidupan bagi tiap tumbuhan yang ditebas, ditebang, tiap hewan yang diburu hanya demi kesenangan kaum borjuis. Seperti itu, ia kehilangan kehendak atas dirinya, yang tak pernah dianggap haknya sebagai kepunyaan setubuh dan sejiwa Sekar, dicuri dan diduduki dengan penuh kuasa oleh Tuan Muda yang ia pikir mencintainya tanpa paksa dan tanpa kehendak hewani.
Jendela itu persegi empat, memanjang di sisi kamarnya dan menjadi sisi terfavoritnya menghabiskan waktu. Ia leluasa menatap dunia luar melalui jendela itu, walau tak banyak yang terjadi, seperti kendaraan yang kadang melintas, dan rumah-rumah di seberang pun tidak berubah ujud saat hari berganti, namun ia puas karena mampu melihat langit dan ruang udara di luar. Baginya, rutinitas tak banyak tenaga itu mampu membuat ruang kamarnya terlihat lebih luas dan lega. Malam itu cuaca meninggalkan embun juga tetes air sisa hujan siang tadi. Kelabu langit berganti dengan pendaran cahaya lampu segala yang ada di dalam pun di luar.
Sekar terlonjak dari kursi, nafasnya tersengal-sengal. Ia meraba dadanya, debar jantungnya tak stabil, ia mampu merasakan bunyi berdegup di tengah dadanya. Meraba seluruh tubuhnya, celana katun cokelat muda masih melekat membebat leluasa kedua kakinya, blus putih ngatung masih menutupi bagian atas tubuhnya. Ia tak tahu lagi manakala ia sadar atau tidak. Kamarnya temaram, dan cukup memberinya pertanda bahwa ia masih sendiri di ruangan itu, tidak, ternyata ia selalu sendiri sedari tadi. Kapan tadi? Kapan kala aku sadar dan kala aku tidak? Tanyanya kalut dalam hati.
Kapan kala aku sadar dan kala aku tidak? Tanyanya, mengulang, dalam hati. Terbata-bata ia menyusun ulang alur kesadarannya hari itu, kapan sadar dan kapan tidak? Terpejam sejenak, ia mendapat bisikan hati kecilnya,
Tak jauh berbeda kapan aku sadar dan kapan tidak. Kala sadarku semu pun, mimpi menghantarkanku pada kenyataan bahwa jiwaku telah diperkosa, kehendakku telah disekap dan kejujuranku telah diborgol. Bahkan nafasku telah dijajah dan dipasung dalam sel tak berbesi: bahwa aku tidak pernah bebas bernafas.***
Bandung, 21 Maret 2010
Comments
Post a Comment