Posts

Showing posts from February, 2010

Keraton Ratu Boko

Image
Ini kali ketiga bagi saya menginjakkan kaki di tempat ini. Aura itu masih hadir, aroma misterius itu menyelubungi saya dan seolah menarik paksa jiwa saya menuju kehidupan beberapa abad silam, peradaban masyarakat masa bahkan sebelum Majapahit.  Pintu gerbang batu hitam berdiri megah di ujung jalan panjang, beberapa anak tangga dihiasi oleh dua ekor domba yang berdiri diam, memamerkan kecantikan mereka dan berlagak layaknya penerima tamu bagi para pengunjung yang hendak memasuki obyek wisata sejarah ini. Situs Ratu Boko merupakan salah satu tujuan wisata lokal yang begitu sarat makna dan nilai sejarah. Seringkali orang salah menyebut nama tempat itu dengan Candi Ratu Boko, mungkin karena situs yang terbuat dari batu identik dengan identifikasi ‘candi’. Namun, tempat ini memang berbeda. Situs Ratu Boko dahulu pernah berdiri dengan megah sebagai kediaman sebuah kerajaan, pimpinan Prabu Boko, di era sebelum era Majapahit yang begitu berkuasa itu dikenal. Berbeda denga

Aku Rindu Romantisme Hujan

Image
Tergiring rasa rindu di hati.  Rindu yang mengiris-iris sekat kalbu kala mendung menjemput, kala petir menyambar, dan kilat mengejutkan penglihatan sedetik. Rindu ini begitu sederhana hingga aku tak kuasa untuk utarakan, rindu ini amarah, sedikit marah. Tercium hawa ironi dalam kecap rasa.  Namun ternyata aku memang merindu, tak mampu pelak membaca sejuta kisah romantis yang sejukkan jiwa saat siang menjelang sore, saat hendak menjemput lembayung langit senja. Sejuta kisah kubaca dan kuresapi, dan ternyata aku mencinta keajaibannya. Di kala bumi sejenak menjadi tempat yang syahdu, teriring merdu rintikan mengurung kalbu dan raga di dalam sini. Hanya di dalam sini, sekat pelindung dari segala riuh gemericik bumi di luar sana. Oh, Tuhan, sungguh aku merindunya! Romansa hujan berpeluh senyum dan senyap nafas yang terpatri manis dalam hembusan embun esok. Terkadang melankoli yang dikhayalkan, mengesahkan luka untuk menjadi semakin perih kala memandang ke luar

Food for Weekenders on JalanJalan Magazine

Image
To read it, click the sentence below Food for Weekenders by Kania Laksita Bandung culinary review on JalanJalan Magazine, August 2009

Warisan Kita Mungkin Primitif, Namun Terkadang Manusia Lebih Primitif

Image
Keruwetan globalisasi dan dampaknya yang tidak bisa ditolak, membuat beragam pertanyaan berseliweran di kepala saya(mungkin juga kamu). Apa yang kalian lihat di gambar bawah ini? Seperangkat alat musik tradisional dari Jawa dan lakon-lakon yang biasa kita kenal dengan wayang. Berangkat dari gambar di atas, muncul pertanyaan: Apa gunanya benda-benda di atas? Atau, apa dan siapa benda-benda di atas itu? Mau tidak mau kita harus menjadi tahu mengenai apa itu wayang, darimana asalnya, dan untuk apa dia diciptakan. Tidak usah dibahas panjang lebar di sini, namun, saya yakin kalian sudah tahu benar bahwa wayang adalah salah satu wujud kesenian dari kebudayaan masyarakat Jawa.  Ada dua hal sederhana sekaligus kompleks yang ingin saya bicarakan di sini: citra tradisional dan negara berkembang. Jangan takut untuk tidak paham dengan apa yang akan saya tuliskan, karena kita sekarang berada dalam satu persepsi: sebagai orang awam, bukan para pakar di bidang kebudayaan Indonesia,

Seperti Embun, Sementara

Image
Seperti embun, ingin aku mengecup Lembut bercahaya, candu mendahaga Seperti embun, ingin aku menenun Kilat sempurna, bening tak bercelah pun berjarak Seperti embun, enggan aku jentik jemari Kan memecah, pemantik ruang tanda cela Seperti embun, satu sentak kau buat ia menetas Layaknya kehidupan, manusia, dan segala yang mati pun adalah bergerak. Tidak ada yang tetap, tidak ada yang sama, tidak tentu yang paten. Aku bertumbuh, aku berubah, dan aku bahkan menetapkan perubahan itu. Aku berorgan, aku berasa, dan aku berpikir. Satu kejora hanya akan menjadi kejora pada satu waktu itu, satu kali itu. Kejora berikutnya menunjukkan hal yang berbeda, kejora yang tidak lagi sama. Karena bintang tak pernah sama pun menetap di layar hitam kelam saat malam memayungi nafas tanah yang semakin lembab, basah akan hujan yang tadinya tidak turun menjadi turun, lalu deras, lalu reda. Mengubah hari menuju langit cerah di saat tak bermentari. Mengubah hari menuju monumen rasa ya

Sebuah Nama

Image
Pertama kali aku mendengar namanya, sungguh mulutku tidak mampu berhenti melafalkannya. Sekali aku mendengar namanya, nama lengkapnya, berkali-kali aku mengucapnya kembali seolah aku sedang mencerna sebuah pesan kode yang tak mampu dimengerti dengan gamblang. Hingga malam aku kembali ke peraduan, aku masih mengingat namanya. Sepanjang hari aku bepergian tanpa mendengar suara Reya menyebut nama itu, aku tetap merasa mendengar suara Reya sedang mengucap namanya tepat di corong telingaku. Perlahan, tanpa kesadaran dalam konteks tertentu, namun membekas. Lama-kelamaan, bukan suara Reya lagi yang bergaung di telinga dan pikiranku. Namanya bergaung begitu merdeka dan melagukan tebakan-tebakan bernada indah. Heran, tentu saja aku heran. Namun, aku begitu menikmati romansa imajinasiku, namanya berhasil membangkitkan satu rekreasi pikiran yang membuatku tersenyum, namanya berhasil mengetuk imajiku, satu satu. Lama-lama, menjadi hasrat yang membukit, menggunung, dan meledak ke dalam sosok

Mempertanyakan Apresiasi terhadap Budaya Tradisional

Image
  Indonesia adalah negara yang dianugerahi berbagai kekayaan alam dan hasil karya manusianya. Dalam hal ini, budaya tradisional merupakan kelebihan yang dimiliki Indonesia dibanding negara lain di belahan dunia manapun. Indonesia berdiri tidak hanya atas satu jenis budaya tradisional yang mewakilinya, namun sangat beragam dengan masing-masing keindahan yang ada. Hal inilah yang menjadi satu penyebab mengapa Indonesia merupakan sebuah negara dengan kultur yang dikagumi oleh masyarakat dunia. Akan tetapi, betapa ironis keadaan dapat tercipta ketika mendapati bahwa mereka yang berada di belahan dunia berbeda itu ternyata jauh lebih menikmati dan menghargai apa yang dilahirkan dan seharusnya dihargai oleh para empunya kebudayaan tersebut. Adalah sebuah ironi ketika anak muda Indonesia sangat menikmati invasi musik barat seperti metal, pop -progressive, rock, jazz memasuki kehidupan mereka dan menjadi tren kini, sedangkan Patrick Portella & Chandra Puspita adalah grup game

Penangkal Jenuh

Jika kau bertanya dan aku harus menjawab, aku hanya bisa bilang, “Entahlah,” Jika kau bertanya dan aku harus menjelaskan, aku hanya bisa berujar, “Tak punya alasan,” Dan sejuta jawaban yang tidak akan pernah memuaskanmu. Akan terus terulang hingga seterusnya. Maka dari itu, lebih baik aku tidak berujar langsung di depanmu, lebih baik aku menulis ini semua. Karena tidak ada yang tahu, ssst! Kita memang rahasia! Tidak boleh ada yang tahu, karena kita akan dicap salah oleh mereka. Tidak boleh ada yang tahu, karena itu sama saja dengan bunuh diri sosial. Dan tidak boleh ada yang tahu, karena toh, aku juga tak berani menaruh apapun di telapak tanganmu, agar kau jamin ini adalah benar adanya. Mungkin beberapa hari ke depan kau akan membaca sekuntum surat tanpa bunga dariku ini: Ada masanya aku mencoba untuk menahan, karena bisa jadi ini hanya gejolak sesaat. Ya, keadaan yang mungkin terlalu membosankan membuatku merasa senang ada dirimu. Di saat aku bersam

FESTIVAL MATA AIR 2009: TANAM POHON, TANGKAP AIR

Image
Bukan gerbang mewah yang saya lalui untuk memasuki arena festival. Saya dan dua teman menanjaki tebing berpagar obor-obor yang menjadi satu-satunya alat penerang jalan menapak kami. Di sisi kanan dan kiri, tumbuhan liar dilatari paduan suara tonggeret menggiring rasa tak sabar saya untuk segera sampai di area hutan Mata Air Senjoyo.  Selama tiga hari, tepatnya dari 9-11 Oktober, Salatiga akan diramaikan oleh Festival Mata Air 2009, sebuah festival tahunan yang diadakan oleh Komunitas TUK. Komunitas TUK yang merupakan kependekan dari Komunitas Tanam Untuk Kehidupan adalah sebuah perkumpulan anak-anak muda Salatiga yang peduli dengan permasalahan lingkungan dan menganggap seni merupakan wadah yang sesuai untuk menyampaikan pesan peduli lingkungan terhadap masyarakat. Menurut pihak TUK, Festival Mata Air tidak hanya sebagai sebuah pesta atau pagelaran seni biasa, melainkan merupakan kumpulan dari program-program kerja Komunitas TUK selama setahun yang bisa dinikmati secara serentak