Baginya


Baginya, perasaan bukan sebuah kesepakatan universal untuk disetujui agar dapat dijalani. Ia telah dua puluh enam tahun hidup dengan kesepakatannya sendiri. Sang pria tidak pernah mengungkapkan apa yang ia rasa, hanya untuk dua kategori: kurang dan terlalu. Ia tidak pernah berkata ‘kurang pas’ atau ‘terlalu banyak’, pun tak pernah mengungkap ‘kurang baik’ atau ‘terlalu senang’. Semua itu hanya diwakili oleh satu kata sifat yang lugas seperti titik yang akan muncul setelah jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’.

Hingga saat ia jatuh cinta, itu tidak mengubah apapun. Walaupun tidak ada yang tahu, karena selama ini memang tidak ada yang pernah tahu apa yang ia rasakan, namun bagi orang-orang, ia terlalu lugas untuk mengungkap rasa dan membuat rasa itu terlihat datar. Pria ini tidak mengesahkan ungkapan bahwa jatuh cinta adalah perasaan yang tak terdeskripsikan, melainkan menjadikan hal tersebut sebagai sebuah bungkusan parsel yang terlihat wujudnya dan dapat ditimbang beratnya.


Telah lima purnama ia merasakan kehadiran gadis itu. Dua belas purnama ia tahu gadis itu hadir melalui perwujudan seorang perempuan di sekitar hari-harinya, dan tujuh purnama begitu saja terlewati. Di saat ia menghitung jumlah purnama yang menemani malamnya, ia sadar bahwa gelombang perubahan itu telah hadir sepanjang tiga malam purnama selama lima kali perempuan itu mengalami datang bulan. Pria ini berkoar bahwa hanya purnama yang tahu perasaannya dan tak berkehendak makhluk lain di bumi ini mengetahui bahwa ia sedang jatuh cinta.




***


‘Aku ingin mengukir namamu di atas kulitku,’ ujar sang pria, pada sang perempuan di satu sore. Mereka menjajah kota dengan menjadi yang tertinggi di sana, dikawal oleh lambaian tumbuhan liar yang menjadikan bukit itu hijau. Sang perempuan mengibaskan rambut keritingnya yang tertiup angin lalu menatap sang pria.


‘Untuk apa?’ tanyanya. 

Sang pria menggidikkan bahu, ‘Hanya ingin,’ ujarnya singkat. ‘Aku rasa emosi ini begitu kuat mendorongku untuk mengukir namamu di atas kulitku.’ Lanjutnya.
Sang perempuan tertawa, ia tidak menganggap perkataan sang pria begitu dalam, karena baginya, sang pria memang menyayanginya sepenuh akal dan perasaan dalam dirinya.

‘Lalu, mengapa kau tertawa?’ tanya sang pria.

‘Tidak, terimakasih jika begitu.’ Jawab sang perempuan, masih terkikik di sela ucapannya.
‘Baiklah, akan kutunjukkan padamu jika namamu sudah benar terukir di atas kulitku,’ kata sang pria.


***

Tidak ada jejak kehadiran sang perempuan di tempat tinggalnya, karena ia memang bukan seorang psikopat yang memuja wujud mati sang dambaan hati. Ia tidak memajang kumpulan foto rahasia sang perempuan di segala penjuru dinding kamarnya, ia tidak melukis kanvas putih dalam ruangannya dengan wajah sang perempuan, dan ia tak menulis nama sang perempuan secara spesial. 

Sang perempuan hadir secara nyata dalam hidupnya, berinteraksi selayaknya sahabat dalam kesehariannya, dan tertawa berlebihan ketika menghadapi kebodohan yang ia lakukan. Mereka nyata mengisi hari-hari bersama tanpa ada satu yang spesial, karena tanpa disadari, kehadiran sang perempuan di sisinya telah membuat sang pria merasa hidupnya spesial. Cukup seperti itu, ‘spesial’ bukan ‘sungguh spesial’ atau ‘kelewat spesial’.

Baginya, sang perempuan adalah satu sosok yang selalu ia gambarkan dengan kata ‘nyaman’. Sang pria selalu merasa nyaman untuk berada dekat dengannya, karena ia bersama sosok itu. Jika ia diharuskan memilih kata lain yang mampu menggambarkan sang perempuan bagi hidupnya, itu adalah ‘abadi’. Karena baginya, perempuan ini mampu membuatnya bertahan seumur hidup walau itu hanya mereka habiskan di satu sofa dengan berdiam tanpa melakukan apapun. 

Namun, sang pria mencintainya karena itu. Di saat kesetiaan menjadi sesuatu yang mahal dan tak terpercaya lagi sekarang, dan di saat kata ‘bosan’ adalah hal yang sungguh sukar untuk ditepis, perempuan ini mampu membuatnya tak merasakan itu selama belasan purnama mempersatukan mereka.

Ia menawan, demikian sang pria membatin ketika sang perempuan sedang berdiam di atas sofa pribadi sang pria. Sang perempuan duduk dengan posisi malas, menghadap jendela yang silau karena matahari sore. Kedua kaki jenjangnya ia angkat dengan satu kaki menapak di atas meja dan kaki lain menggantung membentuk segitiga jika kau lihat dari samping. Tatapannya tetap, ke arah luar kaca, menerawangi apa saja yang ada di luar, baik bergerak maupun tidak. Ia memilin rambut keritingnya dengan satu jari dan tak bicara sepatah kata pun.


‘Tiga puluh menit kau diam sambil melakukan kegiatan yang sama. Ada apa?’ tanya sang pria sambil meletakkan mug berisi air putih di atas meja.

Sang perempuan tak bergeming, 
‘Sungguh tenang.’ Jawabnya tanpa menoleh sedikit pun.
Sang pria memutar badannya, duduk di sebelah sang perempuan dan menghadap ke jendela sambil mengamati apa yang ada di luar. Mereka diam selama beberapa saat, hening. Lalu, sang pria bergerak mengamati sang perempuan.
‘Tidak. Tidak ada yang tenang di sini,’ ujarnya. 
Ternyata sang pria mencoba mencari apa yang membuat sang perempuan merasa tenang.
‘Sungguh tenang di sini,’ sang perempuan membalas.
‘Apa yang membuat kau tenang?’ tanya sang pria sambil menatap jendela dan wajah sang perempuan secara bergantian.
‘Semuanya. Sore yang diam, keriuhan kota yang terjadi di luar, dan kamu yang tetap ada di sampingku.’ Ujar sang perempuan.

Sang pria tertawa, ‘Kalau begitu, ini adalah masa tenangmu yang kesekian puluh setelah sekian lama kita kenal,’ ujarnya.


Sang perempuan masih tak bergeming. Pun ia tidak tertawa mendengar pernyataan sang pria. ‘Aku butuh tenang ini,’ katanya lagi. Ia menoleh ke sang pria, ‘Terimakasih untuk tetap menjadi sahabatku hingga kini,’ ujarnya.


Sang pria diam. Ia menatap sang perempuan yang tersenyum tulus.



***

Sang perempuan ada lagi di situ, dengan posisi yang sama. Kali ini pada suatu malam, dimana ini merupakan malam kesekian puluh baginya untuk menghabiskan waktu di tempat sang pria. Namun, ia berbeda malam itu. Ia tidak tampak tenang, dan posisi yang sama dengan sore beberapa hari lalu ia lakukan, mungkin untuk menemukan tenang yang berhasil ia dapatkan waktu itu.


‘Aku kembali meletakkan mug berisi air ini di depanmu, seperti beberapa hari lalu aku juga akan kembali bertanya, ada apa?’ sang pria kembali duduk di sebelah sang perempuan.

‘Aku butuh tenang itu lagi,’ jawab sang perempuan.

Sang pria menyandarkan punggungnya pada sofa menghela napas.

‘Kau pikir tiap membutuhkan tenang kau bisa dapatkan dengan melakukan ritual ini?’ tanyanya.

Sang perempuan terdiam. Dari matanya tampak, ia tidak ada di sana, entah kemana jiwanya sedang berkelana.


‘Jika sore itu aku bisa mendapatkannya, mengapa sekarang tidak?’ tanyanya.

‘Karena kau berbeda malam ini. Itu saja,’ ujar sang pria.
‘Namun, tenang tidak pernah jadi beda,’ tukas sang perempuan.

Sang pria memilih diam. Ia tak ingin mengucap apapun lebih lanjut. Ia tahu ada yang tak beres dengan sang perempuan, seperti malam-malam sebelumnya, atau waktu-waktu sebelumnya dimana ia menemukan sang perempuan seperti tak ada di sana. Jiwanya sedang pergi, hanya fisik dan otaknya yang bermain di hadapan sang pria. Sudah terlalu banyak saat seperti itu, dan sang pria tak pernah lelah menjadi sandaran sang raga yang hampa. Ya, tentu saja karena keabadian yang ia rasakan membuatnya tak pernah lelah untuk menunggu sang perempuan kembali berjiwa.


‘Apa yang sedang kau lakukan?’ sang pria bertanya dengan gumaman kecilnya. Ia seperti ingin tahu yang sang perempuan harapkan. Mengapa momen-momen yang menurutnya mati itu seringkali terulang. Ia tak sanggup ketika menghadapi sang perempuan kembali pada momen tersebut.


Sang perempuan mendengar gumaman kecil sang pria.


Ia menatap sang pria lalu berujar, ‘Aku berdoa,’ jawabnya.

‘Berdoa untuk apa?’ tanya sang pria.
‘Untuk sabar,’ jawabnya singkat.

Sang pria mengernyitkan dahi. 

‘Memang apa yang selalu membuatmu terburu-buru? Sabar untuk apa?’
Sang perempuan menghela napas, 
‘Untuk bisa jadi tenang tanpa harus merasa perlu lagi mencarinya di balik jendelamu.’

Sang pria tak mengerti. Ia sungguh tak mengerti diri sang perempuan. Ia menatap jendela kamarnya, dan ia tak menemukan apa yang membuat sang perempuan merasa mampu menemukan tenang di sana. Terutama malam ini, di saat purnama ke tiga belas menurut perhitungan sang pria.



***

Baginya, sosok ini kadang berada begitu jauh. Walau mereka telah mengenal lama, tapi ia selalu berhasil menemukan lorong dan jurang pemisah antara dirinya dengan sang perempuan. Ia tidak pernah bisa berbuat banyak untuk itu, selain menunggu sang perempuan kembali pada raganya yang berjiwa, tak hanya berotak. Ia tak tahu bagaimana membuat sang perempuan selamanya tidak berpisah dari raganya. Ia sering merasa sakit dan sedih tiap mendapati sang perempuan pada momen itu, momen dimana hanya raga yang ia dapati, tanpa jiwa. Walau hanya sekian menit, namun akan terus berulang. Hingga, entahlah, ia menemukan kata tenang itu, mungkin.



***

Sang perempuan melirik sang pria yang diam dan mengernyitkan dahi. Mereka berdua jelas larut dalam pikiran masing-masing,


‘Lalu, kau? Apa yang kau lakukan?’ tanya sang perempuan.


Sang pria terdiam. Ia balik melirik sang perempuan, dan untuk malam ini, ia tidak tahu mengapa ia tak mampu menjawab pertanyaan itu. Bukan pertanyaan yang sulit, namun sang pria merasakan sesuatu yang membuatnya tak mampu berkata-kata. Tepatnya, ia tak mampu untuk menjadi tahu jawaban apa yang ia miliki.


Rintik hujan perlahan menjadi deras di luar sana. Tak ada yang bisa mereka tatap di luar jendela selain air, air, dan butiran air yang menabrak kaca. Lampu-lampu di luar menjadi pendaran yang mengabur, sama sekali tak menjadi indah.


‘Kamu tahu, aku ingin berterima kasih lagi untuk beberapa bulan ini.’ ungkap sang perempuan.


Sang pria diam, ‘Mengapa?’ tanyanya kemudian.


‘Entahlah, kau selalu tahu bagaimana cara menemaniku. Aku berterimakasih untuk menemaniku selama ini. Kau tahu bagaimana caranya agar aku tidak merasa sendiri. Dan aku kadang bertanya, mengapa tak dari dulu,’ kata sang perempuan.


‘Kita telah bersahabat begitu lama. Namun, dulu aku tak bisa mendapati dirimu yang sekarang. Entahlah, kamu. Kamu adalah manusia yang tak beremosi dalam mengungkap rasa. Kamu begitu lugas, kadang aku takut untuk menjadi rapuh depanmu. Tapi belakangan ini, kamu, membuatku bisa menjadi apa adanya di depanmu.’ Sang perempuan tiba-tiba merasa butuh berkata-kata banyak.


‘Dan aku berterimakasih untuk itu,’ ujarnya lagi, seperti sore itu, sambil tersenyum.


‘Apa yang kau lakukan hingga aku selalu butuh mencari ketenangan di sini?’ tanyanya.


Sang pria menatap wajah itu dengan dalam. Sungguh tak ada emosi lain dalam binar mata sang perempuan. Ketulusannya masih sama, sebagai seorang sahabat yang selalu bersandar pada dirinya, sang pria.


Sang pria menghela nafas panjang, menghempaskan badannya ke sofa.


‘Aku menawarkan cinta untukmu,’ jawabnya. Hening,


Sang perempuan meluruskan kakinya ke atas meja.


‘Apa?’ tanyanya. Tetap, mereka berdua tak saling bertatapan.


‘Aku menawarkan cinta untukmu. Itu yang aku lakukan selama ini, itu yang kau tanyakan beberapa saat yang lalu,’ jawab sang pria.


‘Aku mencintaimu, tanpa kau pernah tahu dan peduli. Sama seperti mug berisi air yang telah dua kali aku tawarkan di atas meja, di hadapanmu. Kau tak pernah menyentuh bahkan meliriknya, kau seolah tak tahu di sana ada gelas berisi air yang kuberikan untukmu. Itu yang aku lakukan selama ini. Aku menawarkan cinta padamu, sekarang,’ ujarnya panjang.


Sang perempuan masih diam. Entah tak berani berkata atau tak tahu harus berkata apa.


‘Saat cinta menjadi hal yang sulit bagi semua orang, dan bagimu, tidak bagiku. Bagiku, cinta adalah sebuah tawaran. Oleh karena itu, aku tak perlu kau mengatakan apapun jika kau rasa tak perlu. Dan ini bukan berarti aku menghendakimu untuk sama menginginkan aku. Aku menginginimu, tapi aku tak memintamu. Ini hanya tawaran sekali seumur hidup, namun abadi.’


Sang pria meraih mug yang ia bawa untuk sang perempuan lalu meneguk air di dalamnya, meletakkan gelas itu kembali di atas meja. Ia berjalan tanpa desah, seolah baru saja mengatakan pengumuman yang biasa saja, sama sekali tak sarat emosi, tanpa sang perempuan mengerti, sang pria baru saja meminum cintanya sendiri dari mug yang ia bawakan. Ia tak minta untuk diterima atau ditolak, karena ia tak meminta.


Baginya, cinta adalah penawaran. Itu adalah kesepakatan sang pria, kembali, dengan dirinya sendiri.




***

…till the midnight sky turns blue. I won’t push, I’ll leave it up to you,” (Mr.Big)
Bandung, 26-27 Agustus 2009

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra