Ketika Aku Semu
Untuk kesekian kalinya, aku bertemu denganmu. Entah apa dan siapa yang mengatur ini semua, tapi aku selalu bertemu kamu di keadaan yang sama sekali tidak diduga. Kala itu, aku bertemu denganmu dalam sebuah kesempatan, kita bersama, mengobrol dalam aura yang dingin, menyedihkan, namun kata-kata yang keluar dari mulutmu cukup membuatku tenang. Kamu duduk di balik setir dengan keadaan tenang, seperti biasa, tidak menunjukkan banyak gerakan tubuh yang mudah diterka. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutmu sungguh membuatku berhenti menitikkan air mata. Kamu berkata padaku bahwa suatu saat kita akan bersama lagi, kamu berkata padaku bahwa hatimu tidak pernah habis untukku.
Ah, sayang, walaupun perasaan ditinggalkan olehmu telah membunuhku, tapi aku sungguh lega malam itu. Kamu membuatku yakin bahwa aku bukanlah sampah seluruhnya setelah kau membuangku begitu saja. Kamu sungguh, memberikanku setitik harapan yang tadinya aku pikir telah sirna.
Lalu, begitu saja, pertemuan kita terpotong dan aku kembali menjadikanmu sebuah pertanyaan dalam hari-hariku. Aku tidak bisa dan tidak boleh mencari tahu kabarmu, karena memang aku tidak bisa dan tidak boleh, sayang. Hingga suatu waktu….
Aku bertemu lagi denganmu, di tempat itu. Awalnya, kupikir kamu tidak ada di sana, karena aku hanya berkunjung pada seorang teman, temanmu juga, untuk menghabiskan waktu bersama atas dasar ikatan pertemanan yang telah engkau ciptakan di antara kami berdua. Aku pun menjadi akrab dengannya, hingga kami telah menjadi teman tanpa adanya dirimu. Terkadang, aku sering berharap bahwa ialah yang bisa memberitahu segala kabar mengenai dirimu di saat aku tidak lagi bisa berada dalam satu dunia yang memungkinkanku untuk sekadar bertanya apa kabarmu. Saat itu, ternyata kau pun ada di sana, sedang menghabiskan pergantian malam.
Dia berkata padaku, ada dirinya…
Aku terdiam, duduk di atas kursi menghadap meja makan, menyantap segala santapan yang tersedia, di hadapannya. Aku terus menanti kapan dirimu muncul sambil menata segala gemuruh yang terjadi di dalam hatiku. Bertanya-tanya, apakah aku ingin melihatmu atau lebih baik aku tidak melihatmu sama sekali. Aku terus bertanya-tanya. Hingga kamu pun keluar dan menampakkan dirimu, seutuhnya.
Kali ini, kamu sangat dingin terhadapku seolah ada batas yang tidak mengijinkan kita untuk berinteraksi pada wajarnya. Aku pun hanya terdiam, tunduk, dan tetap menyantap sajian di depanku, tanpa kenikmatan yang menyertai tiap kunyahanku karena yang ada di pikiranku kini hanyalah mengapa situasi kita begitu kaku dan aneh untuk diamati saat ini? Begitulah sayang, pertemuan kita yang tidak pernah aku harapkan. Lalu lagi-lagi, kita berpisah tanpa ada hal berarti yang menyertai perpisahan kita. Aku pun, tidak berharap dan berpikir akan bertemu lagi denganmu, entah untuk berapa lama….
Kamu, entahlah apa yang harus aku katakan ketika terlintas bayangan kamu di benakku.
Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam hati dan pikiranku, aku tidak dapat mendengar ritme yang tetap dari denyut napasku ketika aku harus membayangkan kamu, aku tidak dapat menahan airmata tiap kamu berlari di memoriku, namun aku juga tidak dapat melupakan setiap jejak dan kisah indah yang pernah aku miliki bersamamu. Aku bahkan tidak pernah mampu untuk mencaci dirimu di kala kebencian akan perasaan telah dibunuh olehmu menyergap diriku. Aku tidak pernah bisa mengerti perasaan yang seharusnya aku rasa untukmu.
Sering jantung ini berdegup ketika aku merasa dirimu hadir di sekitarku, entah kamu melihatku atau tidak, namun aku menjadi lemas sekaligus menjadi angkuh untuk menunjukkan bahwa aku masih hidup dan bertambah hidup sejak kamu membunuhku. Tapi ketika aku menatap wajahmu, maka buyarlah semua. Aku hanya akan terus menyelami wajahmu dan butuh keberanian yang besar untuk mengatakan halo begitu saja. Segala emosi yang berkecamuk akan saling berebut untuk keluar. Entah aku harus menjadi dingin atau ramah seutuhnya terhadapmu.
Aku sungguh ingin mencabut rohmu untuk menyaksikan bagaimana kamu berhasil menjatuhkanku di jurang terdalam pada subuh itu, bagaimana kamu berhasil menghunuskan pisau yang tidak pernah aku sangka akan jadi milikmu. Ya, kamu bukanlah pejantan yang menyimpan belati tertajam mereka dan dijadikan senjata pembunuh bagi mereka yang mengancam kehidupanmu, tapi, aku pun kau hunuskan dengan belati itu. Aku mengancam hidupmu, karena keberadaanku berarti kamu dan dia tidak akan pernah ada. Maka, kamu pun mati-matian menjatuhkan harga diriku, bersamaan dengan terus menjadi begitu bijak dan tenang hati di depanku.
Bersamaan dengan itu pun, kamu tak lupa mencabut segala organ perasaku di dalam. Kamu pun tidak mengijinkan diriku merasakan kehadiran organ perasa kebahagiaan untuk beberapa saat lamanya. Kamu sungguh tidak berbelas kasihan untuk membuatku, hanya menderita, kosong, tanpa meninggalkan jejak yang melegakan serta membuatku nyaman untuk tetap menjadi kawan dalam hidupmu.
Aku pernah menjadi buku barumu, namun, kamu mencabik-cabik sampul buku itu, untuk sesaat kamu mendiamkannya, lalu kamu melanjutkan tindakanmu dengan melempar buku itu sambil menginjak-injaknya lagi hingga aku sudah tidak berbentuk. Aku pernah merintih, ketika kamu mencabik-cabik sampul buku itu, merintih kesakitan karena aku terus berusaha keras untuk bangkit berdiri lagi, berharap aku bisa berjalan dengan normal. Namun, ah, kamu begitu kejam dengan menghunusku yang sedang mencoba berdiri, kamu melempar buku itu lalu menginjak-injaknya lagi.
Aku terdiam, tidak berbuat apa-apa, hanya terisak perlahan karena napasku sudah tidak kuat untuk memompa oksigen yang cukup membekaliku jikalau aku ingin meraung.
Sudah…sudah tidak kuat lagi.
Aku meraung kesakitan, perlahan, di saat orang-orang di sekitar mencoba merawatku, namun tidak berani membopong tubuhku yang terlalu lemah dan layu. Aku terus meraung, terisak, merintih kesakitan hingga suatu saat, kamu menginjak jejak yang pernah aku tinggalkan pada dirimu. Aku seperti terpompa, entah energi darimana yang aku dapatkan, tapi aku mampu berdiri! Aku mampu berdiri dengan tubuh cacat, tenaga yang belum semua berhasil pulih dan masih berurai airmata.
Hingga kini, aku berdiri lagi. Sisa luka yang pernah kau hunus dan kau tempa pada diriku, masih ada, dan tidak akan pernah hilang. Hanya saja, mereka mengabur perlahan. Sambil berharap bahwa kamulah yang akan membasuh serta membuat luka itu pulih.
Hingga tadi malam, tanpa pernah aku sangka, aku bertemu denganmu! Sungguh, aku tidak pernah menyangka akan bertemu denganmu beserta dia, sang pijakan hatimu yang baru. Walaupun aku tidak begitu yakin dia sangat berarti bagimu, tapi aku hanya aku seperti orang lain, mengetahui bahwa ia adalah pendampingmu di segala situasi. Anehnya, gadis itu begitu ramah dan mencoba untuk menjalin hubungan yang baik denganku. Itu aneh, atau mungkin itu bukan yang sesungguhnya? Entahlah, aku tidak pernah peduli. Dan merupakan sebuah keanehan luar biasa ketika kamu memanggilku, lalu memeluk tubuhku. Kamu mendekap tubuhku di dalam tubuhmu.
Aku merasakan aura tubuh yang dulu aku kenal, aku mendengar detak napas yang dulu pernah menemani napasku, aku menikmati elusan tangan yang dulu pernah kujadikan genggaman di kala tidak nyaman. Kamu mengecup keningku, rambutku, lalu berbisik bahwa kamu merindukan gadis ini, gadis yang kamu beri nama tersendiri sehingga orang-orang mengenalku dengan nama itu. Desir jantung cepat mengaliri seluruh tubuhku mendengar mulutmu menyebut nama itu.
Aku terpaku dan menjadi cair. Aku terpaku dan tidak mengerti apa yang harus kuutarakan. Kamu seperti melampiaskan rasa rindu yang begitu dalam, kamu tersenyum, senyum yang dulu sungguh mewarnai hari-hariku. Aku begitu menikmatimu kala itu, di saat gadis itu seolah tidak mampu berbuat apa-apa, duduk terdiam di pojokan.
Entah apa yang kurasakan. Mungkin aku bisa berkata puas melakukan adegan itu di depan wajah sang gadis. Aku tahu, akan sakit hatinya mendapati kenyataan demikian. Aku tahu, ia akan merasa mati saat itu juga. Namun, aku seolah tidak ingin mengerti, aku bahkan tidak menganggap gadis itu ada. Aku hanya menikmati waktuku bersamamu saat itu, di saat aku sadar akan mendapati kamu pergi jauh, entah itu sungguh nyata atau tidak. Hanya saja, aku tahu, waktu denganmu kala itu tak panjang. Dan harus menyadari untuk kembali berpisah denganmu, seperti serangkaian pertemuan singkat kita yang tadi aku ceritakan.
Semuanya mengabur, aku tahu, kini saatnya aku dan kamu berpisah.
Aku kembali pada posisiku sebagai orang yang hidup di atas kenyataan, menghadapi kenyataan, dan menciptakan kenyataan.
Nanar aku memandang ke jendela, matahari telah mewarnai hari ini dengan layu. Hari ini berawan, tidak seperti biasanya. Aku terdiam, meringkuk, mengais-ngais sisa kenyamanan dan kebahagiaan yang kuraih bersamamu. Aku terdiam, merangkai kesemua pertemuan kita lalu memejamkan mata sesaat. Air mata tidak berkehendak untuk keluar sama sekali. Aku hanya menghela napas, ingin mengabadikan momen pertemuan kita itu tadi, dan berharap aku akan bertemu denganmu lagi, hanya saja, tidak tahu dimana.
Aku menghela napas, bayangan nyata dirimu hadir, sesak dan perasaan sakit itu memuncak di dadaku, tepat di tengah, lalu aku memejamkan mata kembali, berharap dunia bawah sadarku akan membahagiakan diriku.
Aku berharap mendapatkan mimpi lain yang dapat mengantarkan kamu, kembali ke kehidupanku…..
***
10 Juni 2008
Comments
Post a Comment