DIA BERTANYA APAKAH DIRINYA CANTIK
You’re so pretty in white, pretty when you’re faithfull (Bush-Inflatable)
Ah, mungkin lagu ini merupakan salah satu lagu favoritku. Tapi terkadang, ketika mendengar dan mengamati lirik yang aku simak kata per kata, hanya menimbulkan pertanyaan bagiku. Mungkin lagu ini tidak sepenuhnya bermaksud memaparkan mengenai apa itu cantik. Mungkin pretty di sini bermaksud lain, bukan simbol keindahan fisik dari seorang perempuan.
Cantik, apa itu cantik? Apakah aku ini cantik? Mungkinkah laki-laki impianku akan jatuh hati ketika melihat atau mengamati diriku, ketika aku telanjang sekalipun?
Kodrat manusia memang, saat mereka sadar bahwa untuk menilai diri sendiri adalah sesuatu yang menyesakkan, cenderung menjebak. Ataukah ini hanya wujud dari kami, para manusia yang belum mengenali diri sendiri sehingga memerlukan suplemen-suplemen khusus penambah percaya diri di depan publik? Kami perlu, merasa cantik.
Kata orang kolot pun, cantik itu ada di hati bukan di wajah atau badan yang tampak. Terkadang aku berpikir, persetanlah, toh orang-orang di luar sana tidak melihat kami dari bagaimana bentuk hati kami karena yang bisa mereka terawang hanyalah bentuk wajah, warna kulit, dan bentuk tubuh kami. Serasi atau tidak? Menggairahkan atau tidak? Mampu membuat mereka berimajinasi akan kami atau tidak? Bagus atau tidak ketika harus bersanding dengan mereka di depan orang banyak?
Lesu aku membayangkan betapa menjadi cantik itu adalah beban bagi hidup kami. Aku begitu sering mempertanyakan bagaimana cantik itu! Jutaan kaum kami di negara ini terjerat dan bersaing untuk menjadi cantik. Tapi begitulah, kriteria yang ada di pemahaman kami, aku harap aku terlepas dari kata ganti itu. Berkulit putih, rambut panjang tergerai, wajah mulus bak porselen, lagi-lagi, kulit putih. Akui saja, kami walaupun tidak memiliki proporsi ideal di wajah, namun berkulit putih, will look better than if it’s not white.
Lalu aku?
Terkadang, oh, tidak. Sepanjang waktu, aku begitu yakin bahwa cantik di negara ini adalah seperti yang digambarkan dalam stereotyping perempuan Indonesia selama ini. Kulit berwarna (dalam artian bisa banyak warna : sawo matang, cokelat, kuning langsat), rambut gelap dan tebal, entah keriting atau pun lurus, lalu tubuh molek. Apa adanya … begitu indah rasanya ketika aku membayangkan perempuan di negeri ini hadir dan berjalan di segala jurusan dengan kulit mereka yang beragam. Betapa berwarnanya duniaku di sini. Rambut gelap tebal menambah kontras penampakkan kami sehingga membuat orang merasa ingin menghisap kesegaran di dekat kami. Entahlah, bagiku, perpaduan antara warna kulit beragam yang jelas berwarna dengan rambut berwarna gelap menghiasi kepala dan sudut lain di tubuh kami adalah satu bentuk keseksian tersendiri. Bagiku, itu segar, tidak pucat dan hambar seperti apa yang sekarang selalu coba diraih perempuan-perempuan di sini.
Belum lagi ketika warna pucat itu akan dipadukan dengan tubuh kurus kering kami. Apakah mereka tidak membayangkan betapa gemas melihat kesegaran yang ada dengan segala perpaduan warna ditambah tubuh sintal yang molek? Benarkah mereka mengerti keindahan itu seperti apa? Atau karena keindahan yang selama ini dicitrakan seperti itu? Hambar…
Aku bercermin. Menatap sosokku sendiri di kaca. Entahlah, aku hanya ingin menilai diriku sendiri. Baiklah, akan coba kugambarkan bagaimana bentukku.
Mulai dari rambut. Rambutku hitam, tergerai panjang, tebal, seolah menyelimuti wajah hingga pinggangku. Menciptakan sebuah aura aman tersendiri bagiku. Rambut yang selalu aku banggakan dan tidak pernah aku perkosa oleh kuasa teknologi pelurus ataupun pengeriting rambut yang sangat hip bagi perempuan-perempuan beberapa tahun ini. Wajahku? Dalam pengamatanku beberapa saat di depan cermin, wajahku tampak bulat. Kutarik seluruh rambutku ke belakang sehingga tampak jelas garis wajah yang melingkar, ya, bulat. Alisku, banyak yang mengatakan alisku bagaikan ulat bulu yang memayungi mata belok ini. Bahkan ada mengatakan bentuk mataku mengakibatkan tatapan bola mata cokelat tuaku ini tampak dalam. Entahlah, orang-orang yang mengenalku sering merasa dikuasai oleh tatapanku. Walaupun kadang aku merasa kesal dengan alis yang hampir menjembatani pangkal hidungku, tapi ternyata toh, orang-orang sering memerhatikannya. Bisakah itu kukatakan daya tarik tersendiri? Entahlah…
Dahiku, biasa saja. Tidak ada yang menarik di sana. Mungkin sejumput anak rambut yang kian berlomba tumbuh cepat panjang menghiasi bagian atas dahiku. Hidungku, tidak begitu mancung ataupun bangir karena aku toh, tidak memiliki turunan gen hidung mancung dan bangir. Bibirku? Aku akui, bibirku tidak tipis dan tidak juga tebal. Namun padat. Ah, apakah bibir ini bisa menarik keinginan pria idaman untuk menciumku dengan gemas? Tanyakan saja padanya. Siapapun dia, aku pun jengah memikirkan pertanyaan ini. Aku sedikit tertawa geli.
Tubuhku. Kini aku berputar di depan cermin sambil memerhatikan tubuhku. Sedikit gempal, untuk ukuranku. Aku bukan perempuan kurus, dan entahlah, apakah aku ingin menjadi kurus? Ibuku sering sekali tersenyum senang setiap melihatku mengenakan kebaya dalam momen-momen tertentu. Katanya, bokongku ini mencerminkan aku adalah perempuan Jawa sesungguhnya. Padat dan menonjol ketika aku dibebat oleh kain bercorak batik itu.
Kesemuanya aku bungkus dengan kulit cokelat matang ini. Entahlah, agak ragu untuk menggambarkan warna kulitku. Suatu waktu ada yang mengatakan kulitku cokelat terang, suatu saat ada yang mengatakan kulitku ini cenderung sawo matang. Namun, bersinar, kata mereka. Akupun tidak mencoba untuk mengubah warna kulitku agar tampak lebih terang. Untuk apa, ketika orang-orang sudah mengatakan aku bersinar dengan warna kulit cokelat ini? Tapi, apakah pria idamanku juga berpikir serupa, bahwa aku tampak bersinar dengan warna kulit cokelat ini?
Sering menari-nari dalam pikiranku, apa definisi untuk diriku di hadapan orang-orang? Aku tidak merasa jelek. Aku tidak merasa kurang, jika berat badan tidak dimasukkan dalam kategori ‘kurang’. Baiklah, aku toh tidak juga merasa kelebihan berat badan. Bagiku, ini adalah aku sebagaimana mestinya. Aku tidak merasa terganggu ketika harus berpakaian apapun, bahkan ketika aku telanjang. Aku masih bisa melihat lekukan tubuhku nampak jelas. Jika kamu ingin menggambarnya, maka kamu akan menggambar tubuhku dengan lekukan yang nampak, sekali lagi, tidak akan berupa garis lurus karena tubuhku tidak kurus seperti yang diimpikan oleh sebagian dari kaum kami.
Kini aku tersenyum. Terbukti, aku masih menikmati keberadaan diriku sendiri. Aku tidak merasa kurang. Aku masih bisa mengatakan dengan bangga kepada mereka bahwa aku adalah gadis yang berasal dari Jawa, ataupun aku tidak perlu bersusah payah memperkenalkan identitasku yang keturunan Jawa karena seringkali orang bertanya duluan padaku apakah aku berasal dari Jawa. Toh, mereka sudah mengenali identitasku dengan hanya melihat penampakkanku…
Apakah aku berhak mengatakan diriku ini cantik, kini? Bisakah aku tetap menjadi cantik seperti ini, seperti apa mauku di tengah-tengah serbuan bentukan cantik yang jauh berbeda dari diriku dan beberapa dari kaum kami, saat ini, di tengah bentukan itu semakin memenjara perempuan di negeri ini? Jadi, seperti apa cantik itu sebenarnya!? Ah…
***
29 September 2008
Comments
Post a Comment