Seperti Embun, Sementara
Seperti embun, ingin aku mengecup
Lembut bercahaya, candu mendahaga
Seperti embun, ingin aku menenun
Kilat sempurna, bening tak bercelah pun berjarak
Seperti embun, enggan aku jentik jemari
Kan memecah, pemantik ruang tanda cela
Layaknya kehidupan, manusia, dan segala yang mati pun adalah bergerak. Tidak ada yang tetap, tidak ada yang sama, tidak tentu yang paten. Aku bertumbuh, aku berubah, dan aku bahkan menetapkan perubahan itu. Aku berorgan, aku berasa, dan aku berpikir. Satu kejora hanya akan menjadi kejora pada satu waktu itu, satu kali itu. Kejora berikutnya menunjukkan hal yang berbeda, kejora yang tidak lagi sama. Karena bintang tak pernah sama pun menetap di layar hitam kelam saat malam memayungi nafas tanah yang semakin lembab, basah akan hujan yang tadinya tidak turun menjadi turun, lalu deras, lalu reda. Mengubah hari menuju langit cerah di saat tak bermentari.
Mengubah hari menuju monumen rasa yang kesekian ratus, hari itu. Aku bersemangat, aku tersenyum, aku memaki, aku kesal, dan aku mendinginkan diri, membekukan segala rasa yang berkecamuk agar cepat pergi, hingga menetapkan senang untuk menanamkan tugu yang indah pada rasa, hari itu.
Dalam dinamika nafas, beda jadi penanda, ubah berdiri mematri tugu peristiwa dan asa.
Mustahil aku rumuskan rasa cinta yang cenderung menetap. Apakah kita dikehendaki untuk menetap? Seperti apa menetapkan rasa, selamanya?
***
Jatinangor, 28 Januari 2010