FESTIVAL MATA AIR 2009: TANAM POHON, TANGKAP AIR


Bukan gerbang mewah yang saya lalui untuk memasuki arena festival. Saya dan dua teman menanjaki tebing berpagar obor-obor yang menjadi satu-satunya alat penerang jalan menapak kami. Di sisi kanan dan kiri, tumbuhan liar dilatari paduan suara tonggeret menggiring rasa tak sabar saya untuk segera sampai di area hutan Mata Air Senjoyo. 

Selama tiga hari, tepatnya dari 9-11 Oktober, Salatiga akan diramaikan oleh Festival Mata Air 2009, sebuah festival tahunan yang diadakan oleh Komunitas TUK. Komunitas TUK yang merupakan kependekan dari Komunitas Tanam Untuk Kehidupan adalah sebuah perkumpulan anak-anak muda Salatiga yang peduli dengan permasalahan lingkungan dan menganggap seni merupakan wadah yang sesuai untuk menyampaikan pesan peduli lingkungan terhadap masyarakat. Menurut pihak TUK, Festival Mata Air tidak hanya sebagai sebuah pesta atau pagelaran seni biasa, melainkan merupakan kumpulan dari program-program kerja Komunitas TUK selama setahun yang bisa dinikmati secara serentak dalam festival ini.

Mata Air Senjoyo merupakan salah satu sumber air utama di Jawa Tengah. Tempat ini juga merupakan lokasi Festival Mata Air yang pertama diadakan. Kini, pada penyelenggaraannya yang ke-4, FMA seperti kembali ke rumahnya setelah dua kali festival sebelumnya berpindah tempat di pusat kota Salatiga. Menurut Rudy Ardianto, yang merupakan penggagas Komunitas TUK bersama istrinya, Vanessa Hyde, FMA tahun ini mengalami peningkatan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

“FMA tahun ini jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya dilihat dari partisipan & penonton. Tahun ini yang datang dua kali lipat dari tahun sebelumnya, kami perkirakan sekitar 15,000 orang,” ujar beliau. Ungkapan serupa juga saya dengar dari Titi Permata, Ketua Panitia Festival Mata Air 2009.

Jujur saja, saya belum bisa membayangkan seperti apa festival yang diadakan di salah satu kota kecil yang sejuk ini. Rasa penasaran saya terjawab ketika pijakan terakhir di tanjakan tanah yang lumayan licin itu berganti menjadi hamparan rumput dan pepohonan tinggi yang dipasangi obor di batang-batangnya. Saya mengamati sekeliling: tenda-tenda, obor, instalasi yang terbuat dari jerami dan akar yang terlihat di bawah keremangan cahaya, dan kesibukan panitia yang wara-wiri menjadi pembuka pemandangan saya malam itu. 

Udara sejuk Salatiga membalut dan menyambut menit-menit awal kedatangan saya yang sedang asyik menikmati suasana juga menanti saatnya acara dimulai. Saya dan kedua rekan tiba setengah jam lebih awal. Menurut jadwal, Festival Mata Air 2009 akan dibuka pada pukul 18.30 WIB, dan kami sudah tiba setengah jam sebelumnya hingga waktu kami untuk berkeliling lebih banyak. Pengunjung belum begitu ramai, tapi beberapa kelompok anak muda dari beragam komunitas tampak sudah menempati hunian mereka masing-masing, baik berupa tenda di area yang kosong, atau hanya gelaran tikar yang bisa diisi hingga lebih dari 10 orang. 

Mata saya langsung tertuju pada empat banjar tenda putih setengah bulat yang masing-masingnya terdiri dari tiga tenda yang berbaris. Satu tenda yang dipenuhi oleh orang-orang dengan rajah di sekujur tubuhnya langsung menarik perhatian saya. Saya mendekat, ternyata benar, tenda itu adalah stand tattoo yang tentunya menyediakan jasa pembuatan tattoo permanen atau pun yang tidak permanen. Di jajaran tenda tersebut berdiri dua tenda lainnya yang menyediakan barang beragam seperti seni origami, penjualan aksesoris yang bahan pembuatannya berasal dari sampah yang didaur ulang, stan makanan/minuman, beberapa stan yang menjual aksesoris seperti kalung, gelang, tas, yang terbuat dari hasil alam, dan karya seni lainnya.

Setelah merasa cukup untuk berkeliling area, saya berhenti di sisi kiri panggung utama dan duduk di bawah pohon untuk menghela nafas sesaat. Di depan panggung utama terdapat balon berbentuk beruang berwarna ungu putih dengan ukuran lebih dari satu meter yang digantung di atas pohon dan disorot oleh lampu tembak yang menjadikannya begitu mencolok. Celinguk kanan-kiri, berjarak 10 meter ke arah kiri belakang saya, terdapat anyaman ranting dan akar pohon yang berbentuk pelang besar. Ternyata ‘papan’ anyaman itu ditempeli oleh peta area Festival Mata Air yang sekaligus berfungsi sebagai pintu selamat datang.

Sayup-sayup saya mendengar suara musik bertempo cepat menghentak dari kejauhan. Teman saya berkata bahwa menurut brosur yang berisi informasi jadwal acara dan peta lokasi, terdapat satu area yang bernama Panggung Elektro. Wow, ternyata ada area untuk rave party juga! Gurau saya kepada kedua teman saya yang akhirnya setuju untuk melihat ke sumber suara.

Ternyata tadi tidak ada satupun dari kami yang mengenali area Panggung Elektro karena letaknya yang terpencil dan kontur tanahnya lebih rendah ketimbang area lainnya. Panggung Elektro dibatasi oleh potongan-potongan pita putih yang dililit ke tiap pohon membentuk pagar persegi dan meja untuk Disc Jockey terletak di area paling belakang, ditutupi oleh tenda putih serupa. Pintu masuk menuju panggung elektro terbuat dari jalinan akar dan ranting yang membentuk busur dan dihiasi oleh gantungan keping-keping piringan musik bekas dan pita-pita putih yang menjuntai membentuk tirai.

Beberapa warga asing saya lihat sudah asing berjoget mengikuti irama musik yang dimainkan oleh sang DJ yang bertahta di balik turntable-nya. Walaupun acara belum secara resmi dimulai, tapi ternyata satu area festival sudah diramaikan oleh hentakan musik disko dan segelintir orang yang bergoyang dengan penuh keriaan.


Saya membaca selebaran jadwal program di tangan saya untuk mendapatkan petunjuk lebih mengenai acara ini. Ternyata terdapat tiga panggung yang terbagi ke dalam dua area yang berbeda. Panggung Utama dan Panggung Elektro terdapat di area hutan Mata Air Senjoyo yang merupakan sebuah bukit dengan pepohonan berdiri menjulang yang mengingatkan saya akan Taman Ir. H. Djuanda di Bandung, kerap disebut Hutan Raya Dago. Sedangkan Panggung Air, terdapat di sisi lain, tepatnya di bawah area hutan Mata Air Senjoyo. Panggung itu saya lewati ketika baru tiba dan hendak menanjaki bukit menuju area utama FMA ini. Dari selebaran jadwal itu pula saya ketahui bahwa pagelaran-pagelaran di Panggung Air dilaksanakan dari pukul 10.00 hingga 18.00 WIB, sejak hari kedua FMA. 

Tak lama kemudian, terdengar sapaan kencang duo Master of Ceremony dari panggung utama yang menandakan Festival Mata Air 2009 akan segera dimulai. Saya kembali ke posisi awal yaitu di sisi kiri panggung. Panggung utama gelap, hanya sosok yang berdiri di panggung kecil di depan panggung utama ditembak oleh lampu sorot yang saya jamin sungguh silau di mata orang yang berdiri di tempat itu. Seperti acara lainnya, pembukaan diisi dengan sederet kata pembuka Titi Permata yang lalu saya sapa dengan panggilan khas Jawa, ‘Mbak’, hingga perwakilan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. 

Sebenarnya, rangkaian FMA sudah diawali dengan parade kostum yang berjudul Parade Jalan Kostum Sampah pada Kamis, 8 Oktober, sehari sebelum saya tiba di Salatiga. Parade itu bertempat di sepanjang jalan raya Salatiga. Sebuah hiburan yang atraktif seolah hendak mengingatkan masyarakat bahwa satu hari lagi FMA yang ke-4 akan segera dimulai.
Pentas seni malam itu dibuka oleh grup perkusi asal Jakarta, Payon. Permainan mereka yang sungguh ekspresif dan musik yang dibawakan mampu membuat penonton terbakar semangatnya hingga area depan panggung utama diisi oleh beberapa tubuh penonton yang berasal dari lingkungan sekitar bercampur dengan para kerabat dari luar negeri asyik bergoyang. Aksi para personil Payon yang atraktif dengan penonton dan cara mereka bergoyang sambil menabuh masing-masing instrumen yang tergantung di tubuh mereka mampu membawa pengunjung hingga terpusat di area panggung utama.

Festival Mata Air 2009 tidak hanya diramaikan oleh panggung musik. Sesuai dengan konsep para panitia pelaksana, seni kontemporer berbau edukasi akan memanjakan pengunjung selama tiga hari pelaksanaan festival. Pada malam pertama, selain pentas musik perkusi, terdapat juga wayang kontemporer yang bertajuk Wayang Kampung Sebelah, berasal dari Solo. Walaupun sempat mengalami kendala teknis, namun pertunjukkan wayang yang bercerita mengenai konflik politik melalui kehidupan warga desa secara singkat ini tetap berhasil dan menghibur pengunjung. Uniknya, jika kita biasa menyaksikan wayang yang ditemani oleh sinden yang melagukan tembang-tembang, pada pertunjukan Wayang Kampung Sebelah, sempat beberapa kali sang sinden melagukan lagu-lagu rock jaman sekarang dengan gaya tetap menyinden yang menjadikan penonton beberapa kali bertepuk tangan mengapresiasi racikan wayang kontemporer tersebut.

Setiap paginya, selama tiga hari, Festival Mata Air menyediakan wahana pelatihan Yoga. Selain itu, banyak sesi-sesi workshop lainnya yang dapat diikuti berbagai kalangan, mulai anak-anak hingga dewasa, seperti: pembuatan patung dari sampah untuk anak-anak, mozaic, guitar clinic, pembuatan lampion, mural painting, pembuatan barang-barang dari sampah daur ulang, hingga pelatihan film pendek dan pelatihan menulis. Semuanya dapat diikuti secara gratis di arena workshop dengan jadwal yang dapat dilihat di selebaran program yang juga dapat diperoleh setiap pengunjung dengan cuma-cuma. 

Hari kedua saya mengunjungi festival ini, setiba saya di lokasi saat hari masih pagi, baru saya dapat melihat jelas bagaimana bentuk area festival ini juga menikmati beragam instalasi yang dipasang. Terdapat beberapa patung yang dibuat dari sampah berisi pesan singkat tentang lingkungan, replika pensil setinggi dua kali tubuh anak-anak yang memagari area pembuangan sampah, anyaman akar dan jerami yang dibentuk menjadi sepeda lalu digantung di salah satu pohon, hingga yang paling menarik perhatian saya adalah sangkar burung yang terbuat dari akar dan ranting juga jerami menjadi tempat favorit pengunjung untuk mengambil gambar diri mereka. 

Tadi malam saya juga tidak sempat mengamati karung-karung besar yang digantung di beberapa pohon yang ternyata berfungsi sebagai tempat sampah. Saya perhatikan sekeliling, ternyata saya tidak menemukan sampah berserakan di area festival, padahal besar kemungkinannya untuk melihat selembar bungkus makanan yang teronggok begitu saja pada acara sebesar ini. 

Mbak Titi yang sempat berbincang dengan saya seusai acara juga bercerita tentang betapa senang ia mengamati anak-anak kecil yang tertib membuang sampah pada tempatnya.
“Bahkan ada ibu-ibu yang diceletuki oleh anak band karena ia membuang sampah sembarangan, lho,” ujarnya dengan semangat.

Saya sempat menghabiskan waktu yang cukup lama di area workshop pembuatan patung dari sampah untuk anak-anak. Di sana, saya duduk bersama rekan mengamati anak-anak kecil begitu semangat memilih dan memilah sampah mana yang hendak mereka karyakan, lalu mengecat ulang dengan warna pilihan mereka hingga lalu jadilah patung yang nantinya akan ditusuk ke dalam batang bambu bersama dengan karya anak-anak lain. Instalasi itu mengingatkan saya akan makanan sate, hanya saja ini tidak terdiri dari daging ayam atau kambing melainkan kaleng-kaleng cat atau kemasan kaleng produk makanan/minuman yang sudah dirangkai dan diwarnai ulang oleh anak-anak. Mas Didik yang menjadi koordinator workshop anak-anak pun begitu antusias untuk bercerita mengenai pengalamannya bergelut di bidang ini selama ia bergabung dengan Komunitas TUK dan menjadi bagian dari penyelenggara FMA.

“Bagi saya, perlu cara lain selain pendidikan formal kepada anak-anak mengenai pentingnya peduli lingkungan,” ujarnya sambil sibuk memberi pengarahan kepada anak-anak yang sedang asyik berkarya. Sesekali ia mengambil karya yang sudah jadi untuk lalu dipajang di ‘tusuk sate’ yang menanti karya terbaru ditusukkan. 

Saya asyik berdiskusi dengan Mas Didik mengenai bagaimana penerapan tentang isu peduli lingkungan dengan cara kreatif dapat dikenai kepada anak-anak sekarang sambil terus menyaksikan anak-anak usia sekolah dasar di sekeliling saya itu asyik sendiri dengan pekerjaannya. Komunitas TUK sudah menyediakan edukasi terhadap anak-anak dalam program kerja mereka. Saya menangkap bahwa TUK memiliki pandangan sendiri, sederhana namun begitu konkrit, tentang peduli terhadap lingkungan. Setelah FMA ini usai, program lanjutan mereka adalah menanam bibit pohon di lereng Gunung Merbabu, yang rencananya akan dilaksanakan pada Desember 2009. 

Di sebelah kiri saya yang tengah menikmati anak-anak kecil serius berkarya tampak beberapa pengunjung yang kebanyakan anak kecil sedang asyik menggoyangkan pinggulnya, mereka bermain hoola hoop bersama Maya, seorang perempuan asal Australia yang sedang memandu anak-anak itu terus bergoyang dengan lingkaran bambu yang mengitari tubuh mereka. Jika suasana di tempat saya ini sedang khusyuk, maka di sisi sana begitu riuh dan ramai. Tak lama saya beranjak menuju area Sirkus & Hoola Hoop dan ternyata orang dewasa tak luput dari perhatian Maya dan temannya. Mereka beberapa kali menghampiri teman saya untuk memaksanya bermain hoola hoop yang disambut dengan gerakan cepat teman saya yang lain untuk mengabadikan momen itu dengan kameranya. 

Siang beranjak terik, namun pepohonan yang meneduhi hutan Senjoyo membuat kami semua yang ada di sana tetap merasa sejuk. Saya menengadahkan kepala dan menyaksikan sinar matahari yang menyusup di antara ranting pohon jadi teringat slogan utama acara ini, “Tanam Pohon-Tangkap Air.” Walaupun sudah bisa mencernanya sendiri, tapi saya baru menemui kalimat lugas yang tepat untuk menjelaskan maksud slogan mereka ketika berbincang dengan Mbak Titi, 

“Lingkungan ibarat sebuah pohon. Sebatang pohon merupakan sumber kehidupan kita, karena fungsinya untuk menyerap air. Sesederhana itu untuk dimengerti, hanya saja ungkapan ini ada dalam skala yang jauh lebih sederhana,” ujar beliau.

Saya berpikir, ternyata apa yang saya maknai dari awal saya membaca slogan itu tidak meleset. Melalui slogan itu, Komunitas TUK ingin menyampaikan betapa pentingnya satu batang pohon bagi kehidupan manusia. Tanpa keberadaan pohon di dunia ini, manusia tidak akan mampu mengecap air yang merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan. Pesan singkat itu jugalah yang sering luput dari pikiran manusia, dan melalui perkataan Mbak Titi, ia mencoba membuat isu lingkungan yang selama ini mungkin terkesan terlampau global menjadi terdengar sederhana dan menyampaikannya melalui FMA. Ada elemen yang lebih kecil dari isu global itu yang bahkan manusia sendiri lupa untuk pahami. Lapisan itulah yang coba disentuh oleh Komunitas TUK melalui sederet rangkaian program kerja mereka hingga menemui puncak tahunannya pada FMA.

Selama acara berlangsung, terdengar orasi dari MC bahwa gelaran FMA tahun ini merupakan yang terakhir. Saya masih belum mengerti mengapa harus dipatok tahun 2009 merupakan Festival Mata Air yang terakhir hingga acara usai, saya berbincang singkat dengan Mas Rudy yang menjelaskan,
“Kami ingin mundur sejenak untuk menyusun amunisi yang lebih kuat lagi ke depannya. Setelah empat tahun berturut-turut festival ini diselenggarakan, kami rasa ada baiknya untuk rehat namun bukan dalam artian berhenti, melainkan untuk menyusun kekuatan baru demi program TUK selanjutnya,” jelasnya. 

Beliau juga mengatakan bahwa Komunitas TUK tidak menutup kemungkinan adanya kerjasama dengan pihak manapun yang ingin menyelenggarakan acara serupa di lokasi luar Salatiga. Jika memungkinkan, menurut pihak TUK, kerjasama itu akan membentuk jaringan baru untuk kerjasama yang lebih baik ke depannya.

Saya sempat heran dengan daftar Friends & Networking yang nyaris menunjukkan institusi-institusi luar negeri (Australia) dan komunitas-komunitas bersifat non-pemerintah dari dalam negeri. Dari Mas Rudy akhirnya saya mengetahui kepedulian yang berujung pada tindak supporting dari AVI (Australian Volunteer International), institusi dimana beliau dan Vanessa bekerja. Ketika TUK terbentuk, sepasang suami istri yang memutuskan pindah ke Salatiga setelah lama tinggal di Negeri Kangguru itu mendapat bantuan dari AVI. Tidak tanggung-tanggung, pihak AVI juga mengirimkan sejumlah sukarelawan dari Australia untuk membantu terlaksananya FMA. Dari sana juga, jaringan Mas Rudy dan Vanessa yang memang aktif dalam kegiatan seni bersifat ‘grass rooted activism’ di Sydney, menjadi bertambah. 

Ditanya mengenai kepedulian pemerintah setempat terhadap program kerja TUK dan FMA sendiri, pihak TUK mengakui bahwa mereka masih prihatin dengan sikap pemerintah kota yang kurang responsif untuk bekerjasama. Untungnya, pemerintah propinsi lebih sigap dalam menyikapi program kerja TUK, hal ini terlihat dari tindak lanjut mereka untuk mengetahui program penanaman bibit pohon di Lereng Merbabu yang merupakan kelanjutan dari kegiatan Komunitas TUK setelah Festival Mata Air di 2009. 

Jika selama ini saya kerap menyaksikan pagelaran seni di Bandung atau Jakarta, merupakan pengalaman yang pertama saya menikmati tampilan-tampilan seni yang variatif dari anak-anak Jawa Tengah. Walaupun ada juga partisipan yang berasal dari Ibukota, namun FMA banyak menggaet komunitas-komunitas seni ataupun seniman individualis (demikian pihak TUK menyebutnya dalam selebaran program) dari Yogyakarta, Solo, Ungaran, Salatiga, dan seputar Jawa Tengah. Pihak TUK senang menyebut gerakan mereka dan teman-teman partisipan sebagai komunitas ‘grass rooted’. 

Dalam FMA, saya dapat menikmati beragam bentuk seni dalam satu tempat: musik, lukisan, seni rajah, teater-teater, kuda lumping, wayang, mural, hingga komunitas bikers yang sempat adu pamer di sana. Ada pula satu stan yang diisi oleh seniwati asal Australia bernama ‘Risk Depot’. Ia hanya bermodalkan lembaran kertas kosong dan satu pohon yang meneduhinya untuk menarik pengunjung yang datang. Di sana, tiap pengunjung yang ingin berpartisipasi diminta untuk menulis resiko atau ketakutan-ketakutan mereka dalam hidup di dalam lembaran kertas yang dibagikan. Nantinya, seniwati ini akan membuat sebuah karya seni berdasarkan apa yang pengunjung tulis di kertas tersebut. Hasilnya akan dipamerkan di portal pribadinya dan masing-masing partisipan mendapat nomor identitas untuk dapat melihat kemajuan karya atas ‘petisi’ mereka masing-masing. 

Pada hari kedua, penampilan yang menurut saya sungguh menohok dan menakjubkan adalah penampilan teatrikal dari YPMJ Jepara, bertajuk Teater Perang Obor. Area depan panggung utama dikosongkan malam itu, para pengunjung dipersilahkan mengambil tempat di luar batas panggung yang dibatasi oleh sekitar delapan obor yang menancap tanah. Dialog yang menggunakan bahasa Jawa membuat saya kurang mengerti isi dari pementasan malam itu, namun saya sungguh menikmati adegan dimana para pemain mulai melakukan aksi perang obor. Sebelum adegan tersebut mengejutkan saya, terlebih dahulu para pemain yang terdiri dari belasan laki-laki berusia sekitar belasan hingga dua puluh tahun melumuri sekujur tubuh mereka dengan lumpur.

Sesaat setelah itu, mereka melakonkan adegan perang dimana masing-masing pemain itu memanggul jalinan jerami seukuran dua kali tubuh mereka lalu menyulut api dari tiap obor yang sudah menyala di tiap sudut. Adegan itu dilanjutkan dengan masing-masing dari mereka menggebuk tubuh pemain yang lain dengan batang jerami itu hingga pendaran api menyala di tubuh pemain lainnya. Perang obor ini berlanjut hingga semua pemain berjatuhan, seolah menandakan kekalahan dan batang jerami itu telah habis dilalap api.

Tak pelak, penampilan teater yang satu ini mengundang banyak decak kagum dan ketakutan dari penonton yang ‘ngeri’ menyaksikan bara api mencambuk sekujur tubuh setengah telanjang mereka.


Setiap malam ketika panggung utama sudah lelah untuk diisi oleh pengisi acara, pengunjung diberikan waktu rehat sambil menanti pojok Panggung Elektro menguasai malam dengan hentakan musik diskonya. Ramai orang berbondong-bondong akan segera terpusat di arena tersebut untuk merayakan kesenangan mereka selama sehari dengan berjoget bebas dan menghabiskan malam di sana. Untuk menanti pagi, sambil tak lupa terhadap kesan yang didapat melalui sajian Festival Mata Air sehari hingga tiga hari penuh.

Pada penutupan, terdapat pawai lampion yang merupakan hasil karya workshop pembuatan lampion selama tiga hari. Area dekat Panggung Air, tepatnya sungai di mana aliran mata air mengalir leluasa dipenuhi oleh temaram cahaya warna-warni dari lampion-lampion sederhana. Pelepasan origami berupa kupu-kupu pun menghiasi malam penutupan FMA, menutup keriaan selama tiga hari dan menoreh harapan baru bahwa lingkungan pun mampu membuat manusia terhibur, dengan seni dan segala pesan sederhana yang mampu membuat siapa saja tersenyum ketika meresapinya. 

Festival Mata Air menyisakan satu kesan yang tak kalah unik bagi saya. Di sana, saya menemui berbagai komunitas yang bergaya ala falsafah hidup mereka, seperti komunitas punk yang datang dengan dandanan mohawk dan segala emblem di kemeja jeans mereka dan sepatu ala Doc Martin yang membalut skinny jeans belel mereka. Pun komunitas metal/hardcore yang identik dengan kostum hitam dan celana army. Segala sesuatu yang bagi saya ‘nyentrik’ dan jarang ditemui dalam satu event sekaligus dapat saya temui di sana, melakukan apa yang mereka lakukan, menikmati Festival Mata Air, menikmati keteduhan pohon yang menghalangi terik kejam matahari di siang hari, berkumpul bersama rekan lama atau baru. Dan yang terpenting, berpikir betapa tidak layaknya kita untuk kejam terhadap lingkungan yang telah meneduhi kami semua di sana selama tiga hari yang intim dengan alam.***

Teks : Kania Laksita Raras
Foto : Fikri Azali (Komeng)

Originally posted on Wordpress and Multiply : 13 December 2009

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra