Aku Rindu Romantisme Hujan



Tergiring rasa rindu di hati. 
Rindu yang mengiris-iris sekat kalbu kala mendung menjemput, kala petir menyambar, dan kilat mengejutkan penglihatan sedetik. Rindu ini begitu sederhana hingga aku tak kuasa untuk utarakan, rindu ini amarah, sedikit marah.

Tercium hawa ironi dalam kecap rasa. 
Namun ternyata aku memang merindu, tak mampu pelak membaca sejuta kisah romantis yang sejukkan jiwa saat siang menjelang sore, saat hendak menjemput lembayung langit senja.

Sejuta kisah kubaca dan kuresapi, dan ternyata aku mencinta keajaibannya. Di kala bumi sejenak menjadi tempat yang syahdu, teriring merdu rintikan mengurung kalbu dan raga di dalam sini. Hanya di dalam sini, sekat pelindung dari segala riuh gemericik bumi di luar sana.

Oh, Tuhan, sungguh aku merindunya!
Romansa hujan berpeluh senyum dan senyap nafas yang terpatri manis dalam hembusan embun esok.
Terkadang melankoli yang dikhayalkan, mengesahkan luka untuk menjadi semakin perih kala memandang ke luar jendela, namun nikmat, ya Tuhan!
Tak jarang inspirasi yang ia bawa dan kucurkan sejajar dengan metafora berkat dari-Mu yang bukan untuk disesali atau rutuki, ya Tuhan!

Terlalu banyak kisah cinta terjalin manis dalam balutan hikmat Sang Hujan,
Terlalu rindu aku mengecap romantisme hujan,
Terlalu nista aku untuk mengutuk hujan,
Terlalu tega aku balik memarahi tangisan Sang Ibu, ya Tuhan!

Segala kisah teduh yang ia buat jadi nyata, segala inspirasi kehangatan yang muncul karenanya, aku begitu mencintai hujan, ya Tuhan...
Bejatlah diriku kudapat kala ini, tersungkur memohon pada-Mu agar sekali ini saja ia mati dari segala fiksi yang membuaiku dan sejuta umat yang memujanya pada tiap tulisan, tiap kisah, tiap lirik, tiap senandung merdu nada-nada cinta, tiap nafas berhembus embun...

Kupaksa tutup lembaran ke sekian puluh novel kesukaanku, tentang hujan dan cinta.
Kugeletakkan sekenanya, di sampingku, merapat ke tanah, dekat dengan kelembaban yang menadahi terlalu banyak airmata Ibu Pertiwi, murka dalam gumpalan lumpur.
Tak ada romansa kali ini, tak ada romantisme hujan kali ini,
Hanya aku, dan mereka, 
Bersatu diatapi tenda hijau, dialasi tikar cokelat, dilatari suara bayi menangis dan komando sana-sini tim penyelamat yang sibuk mendistribusikan bahan bantuan dari mereka yang peduli.
Aku berharap musim hujan usai kala fajar.






*untuk para korban musibah banjir yang melanda Kabupaten Bandung, Kecamatan Dayeuh Kolot yang mungkin kini merindu romantisme hujan. Terima kasih atas inspirasi ini. Kini, di kala hujan, yang ada dalam benak saya adalah rekaman pemandangan di sana, Dayeuh Kolot yang menaungi sekian kelurahan, desa, kampung, yang menjadi cokelat tak romantis seperti cokelat Valentine's Day, melainkan cokelat akibat lumpur yang menyesaki udara dan jalanan. Hanya ini yang bisa saya berikan untuk kalian...



Kania Laksita Raras, 
Bandung, 22 Februari 2010

Comments

  1. *untuk mereka yang telah menjadi korban para mahluk2 berdasi yang haus akan harta dan kekuasaan. Terus saja muluskan jalan untuk membangun tempat tinggal mewah dengan pemandangan gunung2 dan hawa sejuknya, tak usah pedulikan mereka yang harus bersiap diri menghadapi banjir ketika hujan akan turun.

    (jigana mah mun Gedung Sate geus kakeueum ku cai,karak tah kalaluar.Bah!)

    ReplyDelete
  2. hahahaa, iya akang reja. seperti yang sudah saya tuturkan pjg lebar pake rumus segitiga, susah ngomongin dimensi masalahnya. luas skali.. :(

    ReplyDelete
  3. me too! I miss the rain romanticism. I hate rain so much today! :O

    ReplyDelete
  4. Bandung cerah bgt hari ini Jil. Gw cuma bisa berdoa musim hujan cepat usai. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar