Episode Terakhir

Malam ini sungguh ramai, dan aku senang untuk berada di antara mereka semua. Aku bahkan tidak tahu ada acara apa atau momen apa hingga kita semua berpesta dan tertawa di sini. Sudah lama aku tidak bertemu dengan mereka, cukup lama untuk kukatakan bahwa aku tidak lagi mengenal wajah satu per satu milik mereka. Perubahan itu ada, namun tetap, aku masih mengingat wajah mereka.

Tidak ada dekorasi khusus dalam rumah ini, hanya kita yang menghabiskan waktu untuk menambal lubang menganga setelah sekian lama tidak menghabiskan waktu bersama. Aku bahkan tidak mampu menghitung berapa jam telah kita habiskan, semua tanpa beban. Mereka tampak lepas dan menyenangi malam ini. Senyum ini sungguh tersungging begitu nyata.

“Ah, Res, apa kabar sih lo?” tanya Gina, telah lama kita tidak bercakap sedekat ini dan terkungkung dalam satu momen khusus. 

Aku tersenyum bergairah. “Baiiik! Sungguh gw baik-baik saja. Udah lama ya ga ketemu?” ujarku. Ia tergelak lalu meneguk segelas bir. Tubuhnya yang kecil kuramalkan cukup kuat untuk menampung tenggukan air soda itu begitu banyak dalam sekali teguk. 

“Iya! Kemana aja sih lo, ga pernah bareng?” ujarnya.

Aku tertawa. Miris. Bagaimana mungkin aku dapat menghabiskan waktu bersama kalian? Batinku dalam hati. Aku memandang sekeliling, mengamati satu per satu wajah yang menikmati malam ini sesuka hati mereka. Menunduk sesaat setelah meneguk bir yang sedari tadi kucicipi perlahan.

“Hahhaa. Yah, gimana? Yang penting sekarang gw bisa sama lo semua lagi. Malam ini,” jawabku singkat. Ia mengangguk-ngangguk, lalu kakinya bergoyang, mengikuti irama musik yang diputar dengan volume luar biasa keras. Untung saja rumah ini jauh dari rumah lainnya, dan bukan terletak di satu permukiman. Bisa-bisa satpam yang patroli keliling malam hari menggedor lalu menghentikan pesta malam ini.

Tidak lama kemudian, sosok satu itu tiba. Aku baru sadar, dari tadi aku tidak melihatmu. Entah kamu habis beraktivitas seperti biasa atau memang terlalu sibuk dengan kesibukanmu yang tidak bisa diprediksi. Ya, aku sangat mengenal ritme itu. Kamu datang, menyapa dengan senyuman murah meriah itu lalu ikut menikmati pesta malam ini.

Ternyata aku pun tidak tahan akan ajakan mereka untuk berdansa, bergoyang bersama di ruang tengah. Ruangan itu sudah penuh dengan berbelas-belas badan yang bergoyang, berjingkat, berlompatan sambil mengeluarkan seruan-seruan liar, namun diwarnai dengan gelak tawa begitu bahagia. Aku melebur malam itu, bersama dengan musik, mereka, dan dengan memori jauh yang mampu mengaitkan aku pada malam ini. Biarlah, semua aura di sini menjadi penuh kebahagiaan dan gelora. Toh, aku menikmatinya.

Lelah menerpaku. Keringat sudah menetes, berbulir-bulir sedari tadi. Nafas sudah tidak mampu aku atur, karena tawa juga perbincangan dan perasaan geli akan kebodohan-kebodohan yang terjadi saling bertabrakan. Aku terengah-engah, menyeka keringat yang mengeluarkan hawa panas dari tubuhku. Sekujur tubuhku basah, pun mereka juga. Perutku kencang karena lelah akan tawa. Aku menghempaskan badan ke atas sofa, tempat tadi aku dan Gina berbincang. 

Masih mengatur nafas, aku terkikik mengamati semua tingkah orang-orang di ruangan itu. Sejenak, aku memejamkan mata sambil menengadahkan kepalaku, mencoba menstabilkan lagi nafas yang masih menderu-deru, energi ini seperti terkuras untuk menggerakkan seluruh badanku juga melepaskan penat dalam kepala.

Aku membuka mata. Sosok itu ada di depanku, berdiri, mengamati. Ya, kamu. Kamu tertawa melihatku kelelahan. Aku tersenyum menyambutmu. Hempasan badanmu terasa menggetarkan sofa ini. Kamu mengusap kepalaku, sambil menanyakan kabar.

“Apa kabar, Res?” tanyamu.

Aku mengangguk, sambil mendengarkan sisa-sisa nafas yang belum teratur dengan baik. “Baik….baik banget.” Jawabku. Aku mengipas-ngipas mencoba meraup udara. Kamu tertawa melihat tingkah laku teman-temannya. “Orang-orang goblog!” kamu berseru lalu tertawa. Aku ikut tertawa, ya, malam ini penuh dengan ria. Tidak ada yang bersedih.

Lama aku dan kamu menghabiskan waktu di sofa itu, mengamati apa yang bisa kita amati di depan, berbasa-basi melemparkan komentar tidak penting, juga berbasa-basi mencoba membangkitkan obrolan demi obrolan. Hingga kamu terdiam, menunduk, segelas soda tergenggam di kedua tanganmu. 

“Res, boleh ngomong sebentar?” tanyamu sambil menatapku.

Aku hanya mengangguk, berpikir ia hanya ingin berdiskusi. “Boleh boleh,” ujarku.

“Gak di sini.” Ujarmu lalu menoleh pada pintu menuju teras di samping rumah. “Keluar aja, biar ga berisik.” Kamu beranjak berdiri dan memberi tanda padaku untuk mengikutimu, dengan anggukan kecil itu. Aku terdiam. Merasakan ada yang aneh, sedikit takut untuk menghadapi perbincangan dengamu. Aneh, karena telah lama aku tidak berbincang dengan kamu.

“Yuk,” jawabku singkat. Toh, tidak ada alasan untuk tidak ingin berbicara denganmu.

Ah, udara luar sungguh segar. Di atas ketinggian kota ini, kita kini di bukit yang jauh dari pusat kota, tentunya udara sejuk menyajikan kemanjaan bagi kita berdua yang bersimbah peluh. Pepohonan masih terlihat hijaunya, walau gelap, ditutupi oleh warna langit malam. Bintang tidak berkehendak untuk menaburkan pesonanya di langit malam itu. Maka, kelam. Dan sejuk, ya, aku merasa sungguh lega di luar. Menghirup udara segar sejenak dan lepas dari sesak dan api yang menggelora dari jiwa-jiwa muda di dalam sana.

“Ada apaan?” tanyaku.

Kamu lama terdiam. Aku perlahan merasakan getar aneh di dalam sini. Aura ini tidak mengenakkan. Entah mengapa, aku takut dan ingin lari karena diammu itu.
Kamu berdiri di depanku, matamu menatap mataku. Ada yang baru di sana, entahlah, tapi aku seperti baru melihat sorot mata itu. Atau mungkin aku sudah lupa dengan sorot matamu, huh?

“Beri aku kesempatan lagi,” ujarmu lugas. Aku terhenyak. Aku terhenyak dan melihat kamu, entah bagaimana aku tahu ada sebuncah emosi yang ingin kamu ucapkan lalu tersaring menjadi empat kata itu saja.

“Kembali lagi bersamaku. Aku memintamu untuk itu.” Ujarmu.

Suara-suara itu meredam, gelak tawa itu memelan, dalam pendengaranku. Aku berputar dalam pusaraku sendiri. Segala hal di sekitarku berputar, melintas laju di atas rel yang tidak kumengerti bentuknya. Pendengaranku seolah tertutup oleh lapisan kedap suara. Hanya kamu yang tampak fokus. Apa ini? Entah apa ini.


Satu sosok keluar dari rumah itu. Dia tidak melihatku maupun melihat sosok di depanku. Dia menghisap rokok yang terjepit di kedua jarinya. Sisa tawa dan peluh itu masih ada di wajahnya. Seketika, wajahnya berubah datar. Tubuhnya menghadap arah lain, bukan kepadaku, bukan kepada sosok di depanku. Ia mengulurkan tangannya sambil membelakangiku, masih menghisap rokoknya.

“Res, ayo pulang!” ujarnya.

Beberapa detik aku terpaku. Semakin banyak sosok yang keluar dari rumah itu. Salah satu dari mereka menepuk pundakmu, namun kamu masih terpaku pada diriku yang bengong, diam, membisu. Beberapa detik itu berlalu, aku merasakan tanganku menyambut uluran tangannya. Aku menggenggam tangan itu, semakin erat, badanku masih menatapmu, sembari mengikuti langkah tubuh yang menghangatkan tanganku yang beku.

Dalam tatapan ini, aku tampak kosong, dan tertohok. Namun, dalam tatapan kosong itu, aku menyampaikan pesan ini padamu. “Sudah, itu semua sudah berlalu. Kini, aku bersamanya.” Itulah perkataan mataku kepadamu yang masih berdiri di sana. Entahlah, semuanya membeku, berhenti, hanya aku dan dia yang bergerak. Terus bergerak, hingga semua berputar begitu cepat dan berhenti. Hilang,

*

Terbangun aku dari tidur panjang ini. Tidak pernah kudapati mimpi yang begitu jelas akhirnya, mimpi tentangmu. Aku seolah belum bersatu dengan jiwaku yang telah sadar, dan dalam emosi yang sarat pertanyaan tentang dirimu, aku terbangun. Inilah episode akhirku, selama satu setengah tahun lamanya kamu tayang terus menerus dalam alam bawah sadar tanpa pernah kupikir atau kupinta. Namun, jiwa dan pikiranku dalam waktu sedetik mampu menyimpulkannya, untuk hari ini. Inilah episode akhirku, tentangmu.

Dalam episodeku yang nyata, aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Mungkin aku tersiksa, siksa yang lama-lama menjadi nafasku setiap detik. Terima kasih ini untuk segalanya, untuk memberiku jawaban hari ini, bahwa aku selesai denganmu. Bahwa aku selesai dengan diriku, yang tahu, hari ini akan tiba. Aku harus berjalan darimu, alam bawah sadarku harus berjalan darimu. Terima kasih untuk segalanya….
Aku, selesai……

Jatinangor, 21 Maret 2009
Dimana rangkaian mimpi itu telah bertemu pada episode akhirnya, final.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar