Bahwa Aku Lelah Berantakan

Opera hidup yang tiada habisnya. Mungkin, untuk saat ini, itulah yang aku rasakan. Setiap kisah romantis yang terjalin semakin terasa picisan ketika aku menjalaninya. Nalar ini memberitahu pada hati bahwa masih ada yang terus ingin aku cari, masih ada lainnya yang menanti untuk menyampul satu demi satu lembaran yang selama ini tercecer di pojokan-pojokan terselubung. Entah bagaimana aku ini berpikir dengan otak yang kupunya hingga akhirnya aku berdiri di sudut ini. Tiada habisnya aku mengeluh akan kekuasaan rasa.

Memang, manusia seringkali menanyakan perihal rasa, tak jarang mengemis untuk mengecap manis madunya. Ketika lembaran yang tadinya kupikir telah kutemukan, muncul robekan sampul lainnya yang menodai keyakinan ini. Terlalu lemah? Atau terlalu manusia? Ah, atas nama diri manusia, semuanya sah. Tidak ada yang bercela atau tak berimbang. Manusia menjadikan ketidaksempurnaannya sebagai sesuatu yang sempurna. Sayangnya, itulah aku detik ini.

“Tidak ada sesal di dalam sini. Sungguh.” Ujarku ringkas. Ia hendak bergegas pergi begitu saja, membawa raut wajahnya yang bingung dan enggan untuk berkata lebih banyak. Untuk beberapa menit ia terpaku di sana, menatap penuh dengan pinta akan penjelasan. 
“Baiklah, biarkan aku memberi rangkuman dari semua tatapan bingungmu,” ujarku. 
“Aku lelah akan komitmen yang mengikat. Oh, tidak! Aku bukan lelah. Aku hanya tidak ingin.” Lanjutku.
“Tidak ingin?” ia bertanya.
“Ya, tidak ingin. Ada yang salah dengan itu?” aku balik bertanya.
“Bagaimana mungkin? Kau kerap berkata cinta,” ia masih bertanya.
“Aku kerap berkata cinta, bagiku itu memang cinta. Tapi aku tidak pernah berkata ingin bersamamu.” Kataku.
Ia mendesah. Menurunkan kembali tas selempang yang telah ia sampingkan di bahunya. Ia mendaratkan pantatnya ke sofa depanku. Menatapku masih, penuh dengan raut yang sungguh tidak bisa merayuku untuk meyakinkannya agar tinggal.

“Lalu, untuk apa semua ini?” tanyanya.
“Kau bertanya tentang benar dan salah. Kau bertanya tentang makna, arti. Kau bertanya tentang sebab akibat.” Aku yakin kalimatku ini tidak menjawab pertanyaannya.
“Ya, tentu saja aku bertanya mengenai semua hal yang kau sebutkan. Tidak ada yang lain. Oh, ada! Aku bertanya tentang hatimu!” ujarnya.

“Tentang hatiku. Tentang semuanya. Kau ingin tahu jawabku, begitu?” pertanyaanku kedengaran menyebalkan baginya. Itu semua tampak dari ekspresi wajahnya yang melongo dan menaikkan alis, tanda tidak habis pikir aku masih mampu untuk balik bertanya, meminta pembenaran.

“Tentang semuanya. Ini tidak ada kaitannya dengan benar atau salah bagiku. Ini berkaitan dengan makna apa yang kujalani bagi diriku sendiri. Aku mencari, dan aku merasa belum menemukan. Kau bertanya tentang sebab akibat. Aku menjalankan ini karena aku merasa perlu, dan rasaku mengatakan untuk menjalaninya. Kau bertanya tentang akibat dari yang aku jalankan. Aku merasa pada akhirnya, akibat dari semua ini adalah aku semakin yakin, aku hanya tidak menginginkanmu. Bukan kamu.” Jawabku panjang lebar.

“Tentang hati,” aku melanjutkan. “Hatiku masih di sini, menunggu seseorang yang mengerti bahwa aku lelah berantakan. Dan ia adalah orang yang akan mencintai Aku.” 

Lagi, kulihat ekspresi tak berdayanya. Mungkin, baginya, saat ini, aku adalah sesosok iblis bertanduk manusia yang meminta terlalu banyak. Aku tak perduli, sayangnya demikian. Aku sungguh tak perduli.

“Menurutmu aku tidak mencintaimu?” ia bertanya pelan. Tertunduk diam tidak diiringi kekuatan apapun.

“Sebab dari semua jawabanku adalah, kamu tidak mencintaiku sayang. Kamu tidak melihatku di depan dunia, kamu tidak melihatku dalam kehidupan ini. Kamu hanya melihatku sebagai aksesoris yang harus kau perlakukan penuh cinta dalam hidupmu. Ingat itu, dalam hidupmu, bukan dalam hidupku dan hidupmu, bukan dalam hidup kita.” Ujarku.
Berdiri aku, memberikan senyuman terakhir untuknya.
“This isn’t about right or wrong. This isn’t about heart and all feelings it gives. It’s just about, destiny.”

**

Terakhir kali aku menyadari, ternyata aku berbicara mengenai destiny. Satu istilah yang bahkan tak sanggup untuk aku terjemahkan menjadi takdir, karena ternyata, aku benar memikirkan ‘takdir’ untuk kali ini. Sampul-sampul yang masih terus kucari ini akan menutup sekian celah yang pernah ada dalam sekian perjalanan. Sekali lagi aku merasa kecut sekaligus kecil, bahwa menyakiti hati orang lain ternyata membutuhkan keberanian luar biasa untuk dianggap pecundang. Ya, ternyata aku harus menjadi pecundang agar bisa mendengar apa yang dikatakan oleh diriku sendiri.

Menyakitkan, luar biasa. Oh, kini aku harus peduli dengan menyakiti orang lain? Di mana mereka saat menyakitiku untuk merasa hidup kembali? Aku rasa, aku hanya membayar diriku selama ini, aku ingin membuatnya kembali rapih. ‘Nya’, yang tak lain adalah aku. Lembaran ini kututup sekali lagi, dengan tidak menjadi naif untuk menafikan itu, takdir.

Ia menghela nafas, panjang. Raut wajahnya masih belum berubah. Berdiri ia, menatapku lama, lalu tersenyum miris.

“Kau tahu? Kau salah. Bukan perkataanmu yang salah. Tapi kau salah.” Ujarnya.
“Mengapa demikian?” tanyaku.

Ia tampak ragu mengatakannya, hingga akhirnya, keluarlah tusukan tajam yang hanya mampu membuatku terdiam, beku.

“Kau bukannya mencari. Kau menunggu, kau patah. Kau tidak berhasil mendapatkan ia yang selama ini kau pikir adalah jawabanmu. Ini yang kau lakukan. Tidak akan pernah ada kisah yang berhasil bagimu, karena kau sudah mematri ia sebagai takdirmu. Namun, kau tahu ia tidak akan pernah datang. Maafkan aku, sayang. Aku tidak bisa membantumu untuk hal itu,” ujarnya lalu pergi.

-end-

Bandung, 21 Mei 2009
23:13

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar