D.A.R.L.I.N.G


Kamu tidak tahu saja, kalau aku bersembunyi selama ini. Mungkin yang ada di pikiranmu aku sudah melancong ke planet lain dan hidup bahagia di sana dengan pekerjaan yang membuatku stres sewajarnya dan suami yang bisa melipur laraku juga mencintaiku sepenuh akalnya. Atau bisa jadi kamu berpikir aku sedang sibuk menyusui bayiku yang baru mampu merengek dan menangis jejeritan tanda lapar. 

Bagaimana kalau ternyata kamu justru membayangkan aku sebagai perempuan dewasa yang super sibuk dan begitu padat hari-hariku dengan segala kegiatan dan pertemuan-pertemuan baik penting ataupun tidak dengan segenap rekan?

Tapi ternyata aku berpikir bahwa kamu tidak berpikir apa-apa tentang aku.
Kamu tidak tahu saja, kalau aku selalu menanti langit kelam tanpa bintang. Karena bagiku, langit dengan bintang berarti harapan bagi seluruh manusia yang hidup dan bernafas di bumi ini. Karena bagiku, langit bertabur bintang memberi senyum dan romansa akan manisnya kasih sayang bertabur belaian juga udara yang menggetarkan untuk dihirup. Aku menanti purnama, tanpa langit berawan pun bintang. Karena saat itu dunia kelam, rumahmu pun kelam.

Aku bisa leluasa berkeliaran di sekeliling pagar rumahmu, sewaktu-waktu berjingkat melompat ke balik pohon kala kulihat tirai gordenmu bergoyang genit. Atau saat mobilmu datang, masuk ke garasi dan pulang ke pelukan istrimu. Kamu tidak akan sempat mengecek sekeliling halaman dan pagar rumahmu jika saja ada maling. Tapi tenang, karena aku bukan maling yang ingin mencuri kepunyaanmu. Justru hidup yang menjadi maling karena mencuri kamu dari aku, satu waktu. Makanya aku membenci hidup yang menganggap takdir adalah penguasa, makanya aku menciptakan takdir, tidak menunggunya.

Keadaan aman, pekarangan kosong, pagar masih tegak berdiri. Aku melakukan ritualku, berjalan mengitari pagar rumahmu, tangan kananku membawa sebotol air yang sudah aku racik sendiri, tangan kiriku membawa sabut kelapa yang diikatkan dengan beberapa kuntum bunga kenanga, tak ada bawang putih karena aku bukan Buffy The Vampire Slayer. Sabut kelapa di tangan kiriku disimpul menyerupai batang atau tongkat, digantungi oleh beberapa liontin kepunyaanku yang selalu membuat mantraku ampuh.

Berjingkat aku, berjalan dengan langkah yang kuatur temponya, mendongak wajahku, komat-kamit bibirku mengucap doa-doa yang kubuat sendiri. Kukibas sabut kelapa di bagian ujung yang berbentuk seperti sapu tipis, percikan air suciku menempel di seluruh daun dan tanaman, dan kayu, dan rumput, dan permukaan yang mengitari pagar rumahmu. Ini sudah langkah ke enam puluh enam dan kalimat mantra ke enam, setengah lagi malam ini akan tuntas. Malam ke lima puluh lima aku melakukan ritualku di rumahmu, tanpa pernah kamu tahu.
Ini adalah malam terakhir.
Purnama makin cerah, tidak ada satu awan pun yang berani menutupinya. Empat langkah lagi aku selesai mengucapkan dua penggal mantra terakhir. Jejak terakhir aku tapakkan di segumpal tanaman, pijakan kakiku di atasnya menimbulkan suara membelesak kejam. Aku menyelesaikan mantraku, mendongak ke atas, purnama tepat berada di atas kepalaku. Aku memejamkan mata sesaat, menghirup udara untuk menghela nafas sesaat, dan kurasakan udara di sekitarku membentuk pusaran yang terpusat memasuki celah hidungku, segar dan penuh aura dendam. Tajam.

Empat detik lagi,

Sudah datang empat detik itu,

Kudengar jeritan dari dalam rumah yang kupastikan istrimu, suara perempuan menjerit kesakitan sambil menangis. Perih, aku memicingkan mata tanda perih yang hadir dari suara istrimu. Ia menangis, menjerit tak keruan, berteriak minta tolong, lalu senyap.

Aku diam mematung, mata masih memicing, telingaku peka akan suara gelombang frekuensi di mana aku berada, udara bahkan terdengar seperti musik hingar-bingar di diskotik.

Sebuah janji bukan hadir untuk diucap, aku hanya ingin melagukannya, untukmu,
Karena rasa ini lebih dari apapun yang aku tahu, sama seperti kamu yang aku rasa lebih dari apapun yang aku tahu, kamu adalah yang pertama dalam hidupku.
Aku tidak ingin kehilangan kamu hanya karena masalah ini saja, tolonglah. Aku bukan para bangsat yang melumpuhkanmu agar bisa kugendong lalu kubuang di tempat pembuangan sampah masyarakat, hingga nantinya kamu akan terbakar dengan bau busuk di sana.
Kamu tidak pantas untuk itu, karena kamu adalah nafasku.
Tapi takdir berkata lain, sayang.
Percayalah, jika kita memang ditakdirkan bersama, kita akan bertemu lagi. 

Penggalan kalimat awal dan terakhirmu menjadi senandung lagu sunyi langkahku yang membawa tubuh ini menghilang di balik kegelapan. Aku ingat kamu berkata tidak mungkin akan menjadi si bangsat atau si brengsek yang mencampakkanku di liang terdalam, tapi kamu melakukannya.

Langit hitam, purnama telah selesai menuntaskan pekerjaannya malam ini, malam terakhirku mengucap mantra di sekeliling rumahmu. Aku membenci takdir yang terus menghadirkan mantramu di dalam nafas, otak, hati, rasa, dan segala keberadaanku sebagai manusia yang percaya takdir, dahulu. Karena kamu tidak tahu sebesar apa mantramu telah menghancurkan hidupku, kamu tidak pernah mau tahu.

Petir menggelegar, dalam hitungan satu detik langit berputar mengerikan. Seperti slide show yang menunjukkan pergantian awan makin gelap, petir makin gila. Kabut kelabu akan terus menyelimuti rumahmu, hingga empat puluh hari ke depan, atau hingga selama apapun rumah itu mampu berdiri, menyiksa seluruh kerabat terutama istrimu yang tak henti menangisi dan meratapi kematianmu malam ini.


Bandung, 19 November 2009
“Pick apart the past, you’re not going back.”-Gila by Beach House
But I will do anything to kill the past.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra