Musim Memanggil Kembali
Kelabu dan basah.
Aku mengusap tangan yang basah ke permukaan celana jeansku yang menganga di bagian lutut. Siang tidak bersahabat dalam sebulan terakhir dan aku harus rela merasa terbatas oleh guyuran hujan yang membanjur mentari hingga Ia redup. Sekujur badanku lembab, entah aku merasa nyaman atau tidak dengan kelembaban ini. Aku tidak menemukan permukaan yang kering hingga membuatku merasa aman untuk mengusap kulitku di sana, hanya agar kulitku menjadi licin dan kesat kembali.
Cipratan air hujan di pinggir jalan pasrah kuresapi dan kutampung. Langit selalu kelam, terutama ketika hari beranjak sore. Aku mencium bau hujan, aku mencium bau rumput basah, aku mencium bau tanah yang menjadi lumpur seperti kopi susu namun menjijikkan. Aku diselimuti oleh udara lembab yang dingin menusuk setiap siang, menyisakan sedikit ruang dalam relung jiwaku untuk berpikir banyak. Ya, hanya menyisakan sedikit ruang, menghapus segala gelora yang harusnya aku miliki.
Maka di sinilah aku berakhir, membenci hujan, membenci musim ini.
Aku mungkin merasa agak tolol untuk merasa benci terhadap hujan atau musimnya, hanya tidak masuk akal jika kau pikir. Bisa-bisa aku dikira terlalu sentimentil atau cengeng. Ah, biarkan orang berpersepsi, toh, mereka tidak merasakan yang aku rasa. Aku tidak layak untuk menghasut mereka mengenai betapa busuknya aura musim hujan bagiku, dan mungkin aku terlihat seperti orang lain yang menikmati hujan kala siang adalah waktu yang tepat untuk beristirahat, atau bermalas-malasan.
Entahlah, aku benci mendapati titik air hujan menerpa kaca mobilku. Atau mungkin, aku benci menemukan diriku harus bersiap di kala orang lain bermalas-malasan di balik selimut dan menghayati indahnya udara seperti ini?
“Hujan lagi, hujan lagi!” seru Nanda mengomeli hujan siang ini. Aku duduk merapat di sebelahnya, menghindari cipratan air hujan di sepanjang koridor ini.
“Bikin males ngapa-ngapain,” aku menimpali. Dia hanya meng’he-eh’ lalu menyalakan sebatang rokok yang disugestikan bisa menghangatkan tubuh kala dingin seperti ini. Sugesti yang aneh, batinku. Bodohnya, aku pun berpikiran sama bahwa merokok di kala hujan seolah menghangatkan tubuh. Ya baiklah, aku mengakui ketololan hipotesis kami berdua.
“Aku benci musim hujan.” Ujarku.
“Iya, jadi ga semangat ngerjain tugas.” Timpal Nanda.
Aku tersenyum meringis sesaat. “Aku benci musim hujan. Auranya buruk. Membangkitkan memori yang buruk.” Aku seolah memperjelas pernyataan benciku terhadap musim hujan.
Nanda menoleh, “Ha?”
Aku menghirup batang rokok yang sudah aku nyalakan. “Aku benci memori itu. Memori itu bangkit melalui semua yang dapat aku inderakan di musim ini. Bau tanah, suara air hujan, udara lembab. Semua persis sama.” Ujarku.
“Ya, masa musim hujan gejalanya beda-beda?” Nanda menertawai ujaranku. Aku tidak balik tertawa, melainkan menyaksikan titik-titik air hujan yang jatuh di depan kami.
“Setahun yang lalu. Persis. Makanya aku benci musim hujan kali ini. Aku benci ketika mendapati memori mengenai diriku setahun yang lalu dan aku mendapati suasana yang persis sama sekarang, terlebih di tempat ini.” celotehku panjang lebar.
Nanda mengangguk-angguk. “Ya, ya. I got it.”
Aku tertawa miris. “Bodoh. Buat apa juga aku mengingat-ingat semua itu,” ujarku menggantung. “Tidak tidak. Aku tidak mengingat itu semua. Tiba-tiba muncul saja, semua karena suasana dan atmosfer yang musim ini antarkan padaku.” Aku lalu membantah pernyataanku barusan.
Tidak sakit mengingat itu semua. Hanya menyiksa. Lagi-lagi pernyataan yang tidak konsisten dari diriku terhadap batin yang mencoba berperang mengalahkan atmosfer hujan. Bagaimana mungkin aku berkata bahwa ini tidak sakit? Tapi sungguh, tidak sakit. Hanya menyiksa. Bagaimana aku harus menjelaskan kedua kalimat yang kontradiktif itu? Tidak harus aku jelaskan, bukan?
Toh, aku memang bernapas dengan memori itu dan tidak lagi meratapinya. Benarkah itu? Ya, anggap saja begitu. Toh, ini semua telah menjadi masalahku sendiri, bukan lagi masalah yang plural. Lupakan saja, dan ternyata aku harus meluapkannya.
Atau, luapkan sehingga lupa? Sudahlah, aku tidak meminta penjelasan. Aku tidak ingin menjawabnya, hidup saja dengan segala luapan dan lupa yang pernah merasukiku. Bagaimanapun, aku membutuhkannya.
Nanda banyak diam. Ia menikmati batang racun itu sambil sesekali merapatkan jaketnya agar ia merasa lebih hangat. Ia seolah memikirkan sesuatu, lalu menoleh kepadaku,
“Sudah setahun, ya?” tanyanya.
Aku mengangguk, tatapanku tidak pasti, tidak fokus, hanya selintas lalu menatap apa yang ada di depanku.
“Ya, sudah setahun.”
Undergo, underwent, walking through to fill one space for clarity...
Bandung, 4 November 2008
Comments
Post a Comment