Cerita Si Kopi dan Bir Sore Itu


Hanya sebotol bir dingin yang menunjukkan semangatnya menemaniku sore ini. Lautan hampa di depan mataku begitu berisik dengan deburan ombaknya yang tidak pernah sampai ke sepasang kaki berpasir ini. Sejenak lagi, langit akan berubah muram, akupun tidak memiliki kesempatan untuk menikmati hilangnya Ia di ufuk sana. Matahari telah pergi dengan perlahan sedari tadi. Meninggalkanku merenung sendiri, ditemani sebotol bir dingin dan sebungkus rokok yang hampir ludes dalam waktu beberapa jam. Sendirian, hanya sendirian, sebenarnya tidak, tapi bagiku aku sendirian!

Tidak seharusnya ada kopi di tempat ini, karena menurutku kopi hanya tepat disajikan saat romansa malam yang dingin menyelimutiku di perbukitan yang menuntut adanya kehangatan yang kental. Itulah saat aku akan mengutamakan kopi. Sebagaimanapun aku cinta kepada kopi, aku sama sekali tidak berminat untuk menikmatinya di pantai kala sore seperti ini. Walau mendung sekalipun.

Hanya kamu yang merasa cukup waras untuk menyeruput kopi di tempat ini, kala ini, bersamaku. Kamu berpikir kopi hangat tidak boleh dimarginalkan hanya karena sekarang pantai adalah sajian alam yang utama, hanya karena pantai sedang menjadi latar utama kami beradegan.

Kutenggak bir dari botol rampingnya yang hijau dibalut label berwarna perak, kamu pun menyeruput kopi di sebelahku, seolah tidak ingin kalah melihat aku begitu menikmati cairan soda yang seringkali membuatku ingin buang air kecil terus menerus.

“Dasar aneh.” Ujarku pelan lalu bersendawa.

Angin meniup helaian rambut gondrongmu yang digerai sehingga kamu kesulitan untuk menyeruput kopi idamanmu.

“Hmmm….nikmat.” ujarmu tidak peduli dengan apa yang aku lontarkan, yang tidak lain adalah ejekan untuk tindakanmu, minum kopi di tempat ini.

Kamu menoleh, berlagak bodoh dan tidak mendengarkan apa yang tadi aku katakan.

“Apa, kamu tadi bilang sesuatu?” tanyamu dengan naifnya. Atau memang aku yang terlalu sinis menanggapi tingkahmu.

“Tidak.” Ujarku singkat. Kamu menyeruput kopi hitam itu dengan memejamkan mata. Tampaknya kamu benar-benar menikmati minuman soremu itu.

Aku mulai merasa benar-benar lengket ketika melihat cairan kental berwarna cokelat dan hangat itu. Memang, bagiku nikmat ketika aku merasa lengket karena diterpa angin laut, angin pantai, yang menghadirkan suasana menenangkan seperti biasanya, seperti setiap aku berada di pantai entah untuk keberapapuluh kali sebelumnya. Namun, bagiku, ini pertama kali aku melihat orang menikmati kopi hangat di pantai. Itu sungguh membuatku merasa lebih lengket. Belum lagi, aku jadi memandang minuman favoritku itu menjadi sesuatu yang sungguh tidak enak, dan itu semua akibat ulahmu.

“Sudahlah. Berhenti mengamatiku. Kau pun tahu kopi ini nikmat, eh?” kamu berujar datar, seolah memergoki tatapanku. Namun, kamu tidak menoleh sedikit pun padaku. Aku langsung mengalihkan pandangan dari dirimu, kembali diam menatap horison di depan sana yang segera berubah warna menjadi abu.

“Ah, kamu membuatku membenci kopi untuk sementara!” keluhku. Kamu tampak kaget dan menatap raut wajahku yang serius. “Kamu membuat aku merasa kopi tidak nikmat hanya karena ulahmu yang ngotot untuk minum kopi di tempat ini, sore ini!” semprotku.

Kamu tertawa. Tidak banyak yang kamu katakan. Kamu justru diam dan menggeleng-geleng kepala. Aku sungguh benci ketika aku menangkap raut ‘tidak habis pikir’ dari wajahmu. Aku sungguh benci raut itu.

“Hal itu penting ternyata bagimu, eh?” tanyamu datar. Masih tampak sisa-sisa tawa yang menggelitik uratmu sehingga wajahmu merah, matamu berseri-seri dan sedikit berair, bibirmu tersungging lebar. Kamu menertawakanku!

“Tentu saja!” Jawabku pendek. Aku meneguk bir lagi, bersendawa lagi, dan kembali menatap pantai. Deburan ombak makin sayup, namun terdengar stabil iramanya. Ah, syahdu sekali.

“Kamu tahu, kalau saja kamu tidak ngotot menikmati kopi, aku yakin sore ini akan menjadi indah bagi kita berdua! Kapan lagi, sih, punya kesempatan untuk menikmati sore bersama di pantai?” aku mengeluh panjang lebar kepadamu yang mendengarkan dengan serius. Namun, aku pun lagi-lagi membenci raut wajahmu yang seolah sedang melihat pada balita yang menggerutu akibat tidak dibelikan mainan oleh ibunya.

“Andai saja kamu tidak menjadikan ini masalah, aku yakin sore ini akan indah, wahai perempuanku.” Sahutmu, masih sambil melihatku yang manyun.

“Ah, bagaimana mungkin itu tidak masalah? Aku sudah bilang, akan nikmat rasanya jika kita berdua minum bir dingin bersama sambil menikmati angin ini, pasir ini, ombak ini!” ujarku ngotot sambil melebarkan kedua tanganku ke samping, aku sungguh ingin terbang menikmati imaji yang seharusnya bisa menjadi nyata kala aku berdua denganmu.

Aku seketika membuka mata, tanganku sudah berada di atas kedua paha lagi, dan aku melihat ke arahmu yang tersenyum mengamatiku. “Namun, semuanya pudar! Gara-gara secangkir kopimu itu!” gerutuku lagi. Kamu menunjukkan gerakan ‘tidak tahu harus memandang ini semua dari segi mana’ dengan kedua telapak tanganmu yang menengadah dan aku melihatmu mulai merasa jengah.

“Sungguh! Bukan kopi yang merusak sore kita, tapi kamu!” ujarmu agak keras. Aku diam. Namun, aku tidak ingin peduli. Aku hanya ingin kamu terus menganggapku seperti anak kecil yang menggerutu, ah, walaupun tadi aku bilang aku membenci raut itu.

Aku sungguh hanya ingin perhatianmu yang membuatku akan merasa bahwa kamu bisa melunturkan egomu hanya demi membuatku merasa tenang. Aku tahu pembicaraanku tidak penting, namun aku hanya ingin melihat satu sisi darimu yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya. Sisimu sebagai laki-laki yang kini bertugas sebagai guardian angel-ku, kamu yang kini berhak untuk memelukku sebagai kepunyaanmu, kamu yang kini berhak untuk membantah setiap kata yang aku ucapkan jika itu tidak benar (ya, namun, untuk sore ini aku ingin kamu tidak membantahku).

“Aku hanya ingin kita menikmati sesuatu yang berbeda ketika saat ini kita bersama. Hanya itu.” Lanjutku.

Kamu kembali menyeruput kopi itu. “Lihat, aku baru saja menyeruput kopi dan kamu baru saja meneguk bir, apakah kita tidak bersama?” kamu mencoba memberikan analogi.

Aku menggidikkan bahu. “Bukan berarti bersebelahan. Tapi aku hanya ingin kita larut dalam sebuah keseragaman, dan aku ingin mewujudkannya dengan imaji yang timbul dari bir ini!” aku menggenggam leher botol bir dan mengangkatnya ke depan wajahmu.

“Ah, sudahlah. Jangan merusak hari kita hanya karena si bir dan si kopi.” Kamu seperti sudah bosan meladeniku. Aku semakin menjadi-jadi, tapi aku diam saja. Akibatnya, kedua kakiku bergoyang-goyang tak beraturan dan menjadikan itu pengganggu. Kamu sadar adanya irama tidak menyenangkan dari ayunan kakiku.

“Hentikan.” Perintahmu.

“Huh. Sungguh, bir adalah yang paling enak untuk sore seperti ini.”

***

Matahari benar lenyap dari kedua wajah mereka. Ia tenggelam di balik horison, hendak berganti dengan sabit yang akan memicing di atas mereka. Mengamati para perempuan dan laki-laki, dan mengadukannya pada Sang Mars dan Sang Venus, betapa mereka berandil untuk menyadarkan mereka di bawah sana, bahwa, bahkan Mars dan Venus tidak berkehendak untuk merubah warna mereka hingga akan sama bagi alam raya ini.




Bandung, 23 Oktober 2008

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar