Benci Ini Penantianku


Dari balik kaca jendela yang dihalangi oleh tirai, aku bisa melihat langit mendung sore ini. Di luar sana mendung, namun aku tuli. Gedung ini menyekat diriku dengan udara bebas begitu tebal, sehingga aku pun tak akan tahu walau hujan menghujam bumi dengan tajam dan kejam. Secangkir kopi hangat menemani proses aku onani akan ide untuk menulis di pojokan sini, tanpa pernah, sekali lagi, aku tekankan, mengingat kamu.

Tapi kembali, kamu hadir. Tidak pernah bosan aku jika harus bercerita tentang kamu. Tidak pernah bosan aku jika harus memakimu karena bangkit lagi di alam memoriku. Dan tidak pernah bosan aku jika harus menghela nafas berat karena lelah dan berharap bayanganmu pergi. Sejauh apapun aku pinta kau pergi, kau memang sudah pergi sedari lama. Memang kau pergi sesuai dengan yang aku pinta, tidak kala itu. Aku tidak memintamu pergi, aku memintamu untuk tinggal dan membenahi semuanya bersama. Tapi, kini, di saat aku meminta bahkan hanya secuil bayanganmu untuk pergi, kau tetap tinggal.

Sebagai hantu.
Telah berjuta-juta kali kusebut dirimu sebagai hantu. Dengan sukses tanpa harus bekerja keras kamu berhasil menakut-nakuti hariku dengan bayanganmu yang bisa membuatku tersentak dan lemas seketika. Tidak sore ini, bayanganmu tidak muncul sekenanya. Aku tidak takut padamu sore ini, ada semacam kabut yang memberitahu padaku bahwa aku tidak perlu takut pada hantumu sore ini. Bahkan kabut yang harus terlebih dulu menutupi hantumu untuk memberi kesempatan padaku bersiap diri dan membentengi hati agar tak takut terhadapmu.

Sore ini tidak seharusnya hujan, tidak di bulan-bulan seperti ini. Lebih penting lagi, sore ini tidak seharusnya kamu datang.


**


‘Terima kasih untuk datang,’ singkat begitu saja. Aku bahkan lupa apakah benar kau pernah berkata demikian. Kamu menyambutku di kegelapan malam di balik gedung itu dengan satu salaman, kuat, yakin, dan mengalirkan satu energi yang bertahan hingga bertahun-tahun berikutnya ke dalam aku. Sesimpul senyum sopan kutawarkan padamu sambil menatap mata itu, yang juga menusuk retina mataku hingga tidak bisa sembuh bertahun-tahun setelahnya.

Aku tidak pernah percaya ungkapan hati yang jatuh menjadi perasaan yang menggugah pada pandangan pertama. Sebutlah mereka bilang ini cinta pada pandangan pertama, tapi bagiku tidak semurah itu. Sejak pertama kali genggaman itu terjalin antara kedua tangan kita, energimu telah tersalur ke dalam diriku dan menjadikanmu selalu ada dalam asa dan ragaku. Hingga bertahun-tahun kemudian.

**

Apalagi yang bisa aku bilang? Aku pernah bahagia. Aku pernah begitu mencinta dan berharap untuk mampu memberikan seluruh rasa ini karena aku puas dan bahagia. Tidak ada ungkapan lain selain bahagia. Itu semua tentang kamu. Kamu yang membuat aku tidak perlu dan tidak mampu berkata apa-apa lagi, terlebih aku tidak ingin meminta apa pun lagi. Karena semua dalam diriku waktu itu adalah kamu, dan kamu menjawab segalanya. Tidak pernah aku mengelaknya.

‘Aku tidak pernah punya kesempatan mengungkap cinta ini,’ ujarku pada si perempuan yang menikmati setiap seruput teh manis panas di cangkir bulat berwarna hijau dengan motif daun yang besar.

‘Pernah. Hanya saja kau sadar bahwa dulu tidak semaksimal itu, dan sekarang kau baru menyadarinya.’ Responnya singkat. Ia prihatin, dan selalu seperti itu. Ia tahu bahwa kamu selalu ada dalam aku.

‘Tahukah kau aku sudah habis?’ tanyaku padanya. Ia meletakkan cangkir pada tatakan di atas meja. Menatapku dengan diam dan bola matanya menerawangi mataku. Ia memiringkan kepalanya sambil tak melepas pandangan lekatnya terhadapku.

‘Belum, sayang. Kau belum habis, percayalah.’ Ujarnya. Aku menghela nafas. Jika aku bisa berkata payah, inilah saatnya. Di saat seperti ini yang harusnya aku bisa mensyukuri desiran angin sore dan menghikmati sejuknya. Di saat seperti ini ketika pepohonan bergoyang seirama dengan indah, menyuarakan syahdu dan menghujani jalan dengan rontokan daun-daun yang berenang di udara hingga tergeletak pasrah di atas tanah. Semua kelembutan yang ada di sekitarku tidak bisa kurasa manisnya, hanya karena sibuk meratapimu. Aku sibuk mengutuki hantumu.

‘Lalu mengapa begini jika aku memang belum habis?’ tanyaku sedikit bergumam, tak melihat wajah perempuan itu.

‘Kau masih ada, secuil pun, kau masih memiliki sesuatu untuk dibagi.’ Ia berbicara sambil mendekatkan wajahnya ke bawah hidungku, melipat kedua tangannya di atas meja dan mendorong tubuhnya condong ke depan.

**

Aku begitu menikmati setiap kau membelai lembut kepalaku, kulitku. Aku merasa nyaman dan aman. Aku begitu menikmati setiap matamu menyapu lembut pandanganku, teduh kau buatku dan tersipu. Aku tidak pernah memiliki hal seperti ini, gejolak asmara yang begitu tulus dan tanpa harus kukontrol ia terlonjak begitu saja dari seluruh pori-pori kulitku. Nafasku menghembuskan cinta. Setiap aku memanggil namamu, itu adalah ketulusan akan kasih, dan sedikit nafsu liarku untuk menyadari bahwa kamu adalah milikku, partner aku menjalani ini semua. Menjalani kita.

‘Swari.’ Hanya satu kata itu yang bisa menyihirku. 
Kamu memanggil namaku dengan lembut, kamu memanggil namaku dengan kasih, waktu itu. Mendengarmu menyebut satu nama itu untuk memanggilku, cukup mampu untuk membuatku tenang sepanjang hari. Dan aku tak sanggup mengingat kata-kata yang pernah kau lontarkan padaku. Karena segala tentang kamu, udaramu, raut wajahmu, postur tubuhmu, sorot matamu, hembusan nafasmu, derap langkahmu, jentikan jarimu dan segalanya. Kamu, adalah energi yang menyerap segala ketulusan yang aku mampu berikan kepada siapapun. Hingga habis, ketika kau pergi.

**

Sinar yang sama di sore berbeda. Bukan lagi jendela dari gedung kedap suara itu yang memisahkanku dengan udara, kali ini jendelaku sendiri. Kugenggam pucuk gorden kuning lembut dan kusingkap hingga aku leluasa memandang luar. Sinar ini sama, sayu, malu-malu, menghantar pilu untuk menutup sore. Aku tak lihat awan mendung, namun seluruh langit kelabu.

Ruangan ini seperti biasa hanya diisi oleh gelombang suara dari laptopku yang mengumandangkan lagu-lagu sendu. Secara acak, kudengarkan dari tadi, tidak ada satu pun lagu dalam playlistku yang bernada ceria atau temponya menghentak. Semua sendu, segelap sore kelabu, dan seriuh rendah desir angin perlahan yang bisa membuatku menggigil lama-kelamaan.

Namamu terpampang di layar telepon seluluarku, sebulan yang lalu, datang mengejutkan setelah hampir seperempat dekade kau dan aku terpisah begitu saja. Tanpa tujuan dan makna yang berarti, kau datang begitu saja. Aku rasa kau begitu hebat, bisa memberikan kejutan dalam hidupku dan pergi menyisakan hantu, bayangan yang akan terus mengikutiku hingga aku menghabisi energimu dalam diri ini. Yang sungguh sulit untuk kulakukan.

Aku tak peduli dengan kedatangan sesaatmu, tak lagi berbekas seberkas sinar harapan padaku. Aku sudah mengikhlaskan diri untuk diperkosa bayanganmu. Wujud hidupmu tak lagi mampu memberiku rasa apa ketika bertemu. Jejakmu ketika mati jauh lebih hebat. Inilah bagaimana aku harus menggambarkanmu untuk tahun nyaris ke empat kita berpisah, menyisakan perih luar biasa hebat dan hidup yang tak lagi penuh kasih dari dalam diriku.

Aku mengingatmu penuh benci, luka gores yang tidak pernah menutup kering bekasnya, sekaligus aku bersyukur pernah menjadi kita berdua. Kamu adalah luka yang terus menyayat tipis-tipis, tanpa cinta, tanpa benci, tanpa rasa. Kamu adalah hantu yang akan terus menjadi pihak ketiga setiap aku menjalin cinta dengan yang lain, berhasil mengoyak-ngoyak sang lelaki tanpa kau pernah berusaha membuatku lebih baik atau sembuh. Kamu adalah serpihan yang tertancap dalam mataku hingga kini, menyisakan guratan merah yang selalu dilihat orang ketika aku melirik ke manapun.

Kamu adalah rasa cinta paling tulus yang pernah aku kuras. Dan membuat tidak ada orang lain yang memiliki kesempatan merasakan cinta tulus itu kubagi. Bahkan mereka yang adalah malaikat bagiku, tak pernah mereka mencicipi aku yang penuh cinta, karena kau rakus. Sudah kau habiskan semuanya dan koyaklah! Ingat saat kau mengoyakku? Sekelibat memori yang kuingat di sini hanyalah beberapa potongan indah bersamamu. Itu adalah indahmu. Karena kamu tidak pernah berkhianat dengan hantumu. Hidupmu adalah indah bagiku, dan hantumu adalah cinta yang meluka tanpa henti-henti darahnya mengucur membasahi siapapun yang ada di dekatku. Kamu, adalah gambar yang tak pernah kuselesaikan dan selalu terpampang di dinding kamarku.

Langit semakin menggelap, lantunan lagu mengantarkanku pada dingin yang semakin menusuk tanpa bisa kuhindari. Mungkin bayanganmu ada… di ruangan ini.

“I’ve been living so long with my pictures of you
that I almost believe that the pictures are all I can feel…
Looking so long at these pictures of you
but I never hold on to your heart
looking so long for the words to be true
but always just breaking apart my pictures of you
there was nothing in the world that I ever wanted more
than to feel you deep in my heart
there was nothing in the world that I ever wanted more
than to never feel the breaking apart all my pictures of you…”

***

Jakarta, 24 Juli 2009

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra