Posts

Showing posts from February, 2011

Kali Pertama Aku Mengantar Kamu

Image
Bandara Soekarno Hatta biasanya menciptakan makna ‘pergi’ bagi saya. Kebanyakan waktu saya berlaku sendiri saja, menjelang keberangkatan yang kebanyakan waktu tanpa pengantar. Sore ini saya menjejakkan kaki di sana tanpa bagasi, bukan dengan menumpangi kendaraan umum yang biasa mengantar saya dari Bandung ke bandar udara, karena kali ini saya tidak melakukan ‘pergi’ yang biasa itu. Pukul lima sore, 27 Februari 2011, saya berlaku sebagai pengantar, mengantarkan dia sampai ke pintu masuk terminal 2F yang dalam hitungan waktu setelah baggage scan akan membuat saya dan dia kembali berada di dua tempat yang terpisah, Balikpapan-Bandung, Kalimantan-Jawa, demikianlah. Pacar saya kembali ke tempat ia berkutat dengan kalkulator besarnya dan mencari nafkah di Balikpapan setelah menghabiskan lima setengah hari bersama saya di Bandung. Ia akhirnya melakukan kunjungan pertamanya untuk saya ke Bandung dalam rangka turut menghadiri selebrasi pelantikan saya sebagai seorang sarjana Rabu lalu. Lima

tarikmenarik

Sedikit bercerita tentang sesuatu yang saya coba abstraksikan di sini. Mau merasa bagaimana di hari mendatang? Ketika datang sesuatu yang sebenarnya bisa membuat diri senang dan lega, sebuah seremoni atau orang atau kiriman yang bisa membuat diri bersemangat, lalu malam tiba dan meniupkan suara ke daun telinga, "Apa rasanya?"   Termangu sendiri dalam kesibukan yang tak tentu, atau cuma mengaku sibuk, terserahlah. Pertanyaan itu terus datang dan seolah meminta kepastian serta konsistensi dari perasaan, "Senang atau sedih?" "Pilih satu dong!" Terus begitu, menuntut, merengek, memaksa, dan tidak mau mendengar kata "Terserah," Oh, jangan katakan hal itu, karena indera perasa akan terus-terusan membuntuti kemanapun pikiran melambung.   Kombinasi yang setara antara dua perasaan yang saling bertolak-belakang mengakibatkan bias rasa. Ketika ada yang bertanya, saya malah bertanya pada diri sendiri untuk menentukan jawaban dari 'yang mana' tersebu

D 1373 FZ

Image
Pertama kali saya mendapat kuasa sepenuhnya untuk duduk di balik kemudinya sekitar nyaris lima tahun yang lalu. Pertengahan 2006 kalau tidak salah, mobil hijau ini setia menemaniku menyusuri jalanan kota ini hingga kota lainnya. Bukan hanya kota malah, tapi hampir setengah sudut-sudut Jawa Barat yang pernah kujamah. Jatinangor dan Bandung telah menjadi rumahnya, ia telah menjadi rumahku, dan tanpa keangkuhan, ia telah menjadi tuan rumah bagi siapa saja yang menumpang dan membawa saya dan mereka setiap berpetualang. Bukan saja barang-barangku yang setia berdiam di dalamnya, tapi juga barang-barang banyak orang yang terkadang lupa atau memang sengaja ditinggalkan. Sepertinya ia sabar-sabar saja menampung semua barang maupun sampah yang membuat dia sering dikasihani orang-orang karena terlihat kumuh. Jahat juga rasanya, saya jarang memandikannya, sehingga ia sering tampak tidak segar ketika bertarung di jalan. Bagaimanapun, saya selalu percaya dengan ket

Berkorban

“Harus ada yang dikorbankan,” katamu. Dua bola mata itu menatapku tajam, menemukan celah keresahan yang kau tahu selalu menghantui. Terkadang aku takut untuk mengutarakan kepadamu, tapi pada akhirnya aku akan selalu bilang, walaupun kata-kata yang keluar tidak sepenuhnya seperti yang telah kurancang dalam otak. “Lima tahun berjalan, masalah ini masih belum menemukan titik temu,” katamu sambil menenggak bir dari botol hijau yang dingin itu. Aku mendesah, “Iya, aku pun tahu itu,” kataku sambil membetulkan posisi duduk. Kamu mengangguk, menggenggam tanganku, “Kamu tahu aku tidak pernah berkeinginan untuk menghambat apapun dalam hidupmu, ya kan?” Menelusuri kedua binar matamu yang terang itu selalu membuatku larut sekaligus segan. Aku tahu benar kamu adalah orang paling suportif yang aku miliki lima tahun terakhir ini, sampai pada jenjang yang menjadi pertanda hidup baru kita, nanti. Sudah banyak naik turun yang kita lalui, sudah beribu diskus

Serakah

Lama tak bersua, aku sedikit lupa dengan udara sore di sini. Cukup dua jam menikmatinya sendiri di ruang terbuka seluas 2x1,5 meter persegi, sedikit-sedikit aku bisa ingat dan merasa akrab dengannya lagi. Baunya segar dan dingin, campuran aroma tanah dan rumput yang basah, suaranya timbul dari libasan kendaraan bermotor di aspal yang tergenang, menciprati siapa yang tak siaga di pinggir jalan. Warnanya hijau tua, cokelat kusam dan keriput, abu tua mengkilap, serta kelabu yang membuat kabut di ruang udara yang menggantung dan mengawang. Hujan yang rakus telah merenggut energi untuk bergerak lalu mengubahnya jadi renungan yang diam. Semua orang malas beranjak kala hujan, mata malas melihat, otak malas memikirkan yang rumit, dan aku malas mengontak salah satu atau dua dari mereka untuk menemaniku di sini. Bukannya apa, aku yakin mereka malas untuk bepergian di kala cuaca seperti ini. ‘Mager’ alias malas gerak adalah satu kondisi yang paling sukses di