tarikmenarik

Sedikit bercerita tentang sesuatu yang saya coba abstraksikan di sini. Mau merasa bagaimana di hari mendatang? Ketika datang sesuatu yang sebenarnya bisa membuat diri senang dan lega, sebuah seremoni atau orang atau kiriman yang bisa membuat diri bersemangat, lalu malam tiba dan meniupkan suara ke daun telinga, "Apa rasanya?"  

Termangu sendiri dalam kesibukan yang tak tentu, atau cuma mengaku sibuk, terserahlah. Pertanyaan itu terus datang dan seolah meminta kepastian serta konsistensi dari perasaan, "Senang atau sedih?" "Pilih satu dong!" Terus begitu, menuntut, merengek, memaksa, dan tidak mau mendengar kata "Terserah," Oh, jangan katakan hal itu, karena indera perasa akan terus-terusan membuntuti kemanapun pikiran melambung.   Kombinasi yang setara antara dua perasaan yang saling bertolak-belakang mengakibatkan bias rasa. Ketika ada yang bertanya, saya malah bertanya pada diri sendiri untuk menentukan jawaban dari 'yang mana' tersebut. Kali ini, tidak ada yang bisa ditonjolkan. Mungkin sedih sudah lama menjelang, bahkan ia sudah memberi peringatan  bahwa cepat atau lambat, akan tiba momennya. Tapi rasa tahu bahwa kesedihan itu akan mendapat kompensasi yang berlawanan, yaitu kesenangan. 

Adilkah? Sudah adil jika dipikir dengan asas sama rata alias impas. Sedih dan senang mendapat porsinya masing-masing. Namun, bagaimana saya bisa mengombinasikannya dalam waktu yang bersamaan?   Mau merasa bagaimana di hari mendatang berdiri sebagai tanda bahwa esok pun adalah hari mendatang. Mungkin ada yang kau nanti di hari esok, tapi itu berarti ada yang harus rela kau lewati tentang kemarin. Sekali kemarin berlalu, maka kau tidak akan bisa menengok selain di ingatan saja, songsonglah esok. Mudah bukan? Jelas! Sulit adalah ketika kau harus mengombinasikan dan mencampur-adukkan dua perasaan yang bertolak belakang dalam satu waktu dan di dalam satu organ.   


Ini kali kedua, di mana lalu dan kini menarik saya ke arah yang berlawanan dengan esok.  Esok saya, adalah keadaan di mana tidak ada lagi jejak yang tersisa dari kemarin, melainkan hanya menyisakan saya yang seperti ini. Selebihnya, bagaimana perjalanan saya bisa menjadi seperti ini, hanya saya yang tahu. Tentu saja mereka juga. Namun, sayangnya mereka tidak bisa mengiringi saya ke hari esok. Pun debu, hujan, pohon, udara, yang kini saya hirup.   

Terlalu dini untuk berbicara mengenai masa depan, tapi terlambat untuk meratapi semuanya. Keadaan yang tidak memaksa ini memang akan datang, sayangnya, sekali lagi, hanya tersisa: saya seorang. Tanpa embel-embel kamu, mereka, dan tempat manapun yang saya pikir akan lama menemani.   Sepertinya ini saja sedikit cerita saya malam ini, tentang bagaimana saya susah untuk melepas sisa-sisa kemarin untuk hidup saya esok. Harapan boleh dipelihara, tapi kenyataan tidak bisa dielakkan. Semoga kalian dan debu-debu yang membentuk saya seperti ini masih boleh saya bawa kepada dia. Entahlah..


Bandung, 21 Februari 2011

Comments

  1. kita seringkali merasa dipaksa oleh sesuatu yang pada dasarnya tidak memaksa kita. karena pilihan itu tersaji dalam rupa yang terlampau beragam. tapi kenyataan bahwa keresahan akan sebuah masa yaitu masa depan tidak akan meninggalkan kita setidaknya dalam waktu dekat ini.
    saya, kamu dan mereka melampaui proses bersama. yang akhirnya dengan sendirinya menanggalkan embel-embel yang sebelumnya menyatukan kita.
    tapi saya yakin, hari esok akan selalu cerah untukmu, dan untuk kita semua.
    carpe diem, seize the day :)

    ps: terima kasih sudah mengisi memori saya. terima kasih telah meninggalkan jejak dalam ingatan saya. beribu-ribu terimakasih.

    (untuk seseorang yang dihadapannya saya tak malu untuk menanggalkan segala atribut bahkan menelanjangi diri saya sendiri)

    ReplyDelete
  2. the second chapter of self crisis, being almost in the mid of 20's...skr gw yg lagi ga kebayang kalo berada jauh dari pulau ini :p

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar