Berkorban

“Harus ada yang dikorbankan,” katamu. Dua bola mata itu menatapku tajam, menemukan celah keresahan yang kau tahu selalu menghantui. Terkadang aku takut untuk mengutarakan kepadamu, tapi pada akhirnya aku akan selalu bilang, walaupun kata-kata yang keluar tidak sepenuhnya seperti yang telah kurancang dalam otak.
“Lima tahun berjalan, masalah ini masih belum menemukan titik temu,” katamu sambil menenggak bir dari botol hijau yang dingin itu.

Aku mendesah, “Iya, aku pun tahu itu,” kataku sambil membetulkan posisi duduk.
Kamu mengangguk, menggenggam tanganku, “Kamu tahu aku tidak pernah berkeinginan untuk menghambat apapun dalam hidupmu, ya kan?”
Menelusuri kedua binar matamu yang terang itu selalu membuatku larut sekaligus segan. Aku tahu benar kamu adalah orang paling suportif yang aku miliki lima tahun terakhir ini, sampai pada jenjang yang menjadi pertanda hidup baru kita, nanti. Sudah banyak naik turun yang kita lalui, sudah beribu diskusi mencari solusi kita lakukan. Semua demi memecahkan permasalahan ini, masalah jarak.

“Okay,” aku membuka percakapan lebih lanjut,
“Ada satu hal yang belum aku ceritakan ke kamu, dan sepertinya aku harus memberitahumu, bahkan jauh hari sebelum hari ini,” kataku, setengah berat karena aku tidak ingin penuturanku selanjutnya akan memberatkanmu, dalam artian membuatmu merasa bersalah.
Kamu memasang sikap siap mendengar, genggaman kamu lepas dari tanganku. Aku kembali mendesah, seperti ada batu yang menggantung di lidahku, seperti ada suara-suara yang beradu dalam otakku yang bergantian berseru ‘Jangan cerita!’ dan ‘Ceritakanlah, ia calon tunanganmu. Ia patut tahu,’. Aku mual dibuatnya, untuk menjadi jujur ternyata sungguh membawa pergumulan yang tak sepele!

“Lima bulan lalu,” ujarku, “Aku ditawari untuk mengajar kursus tari Indonesia,”
Kamu mengangguk. Lanjutku, “Di Prancis, selama enam bulan,” tersendat-sendat aku mencoba menyusun alur yang sewajarnya. “Untuk kursus singkat yang dimulai bulan depan. Lalu, aku menolak tawaran itu.” Selesai! Kutelan ludah dan tak berani aku menerka bagaimana kamu mencerna cerita serta merangkai jalinan logika dan sebab akibat ceritaku. Kamu diam, menatap wajahku tak lepas, mencoba mendalami ekspresiku, aku bahkan tak bisa menebak seperti apa ekspresiku kini.


“Why?” tanyamu. Itu saja, sepenggal kata tanya yang membuat mualku berlanjut. Oh, sayang! Tidak tahukah kamu bahwa aku kini sedang susah payah untuk menyusun kalimat jawaban atas ‘mengapa’ yang kau lontarkan. Menarik nafas agar tenang, aku melarikan bola mataku ke arah botol-botol saus di tengah meja, lepas dari pupilmu. “Mengapa? Tentu saja karena aku memikirkan kamu, kita...” jelasku tanggung. Kembali kutatap bola matamu, kucari jawaban atas pertanyaanku sendiri, apakah kau benar bertanya karena tak tahu atau karena hanya ingin mendengarku menyuarakan alasan yang sudah menari di otakmu. Kamu masih menunggu, dan aku tak habis pikir dibuatnya.

“Sayang, tentu saja kamu tahu bahwa lima bulan mendatang sudah berganti tahun,” kudengar intonasi bicaraku meninggi. “Kamu tentu ingat benar bahwa lima bulan mendatang adalah Januari bukan? Bulan yang kamu rencanakan untuk melamarku?” tanyaku diakhiri dengan nada ragu. Kamu diam dengan ekspresi paham lalu mengangguk beberapa detik berselang. “Kenapa kamu nggak cerita waktu tawaran itu datang?” tanyamu. Aku menghela napas, lagi. “Karena kalaupun aku menyanggupi tawaran itu, aku masih harus berada di Yogya sampai tahun depan,” kataku, “Saat tugasku itu usai, sanggar tari yang rencananya aku latih akan bertandang ke Indonesia untuk mengikuti pagelaran internasional di Yogya pada bulan Maret.” Ceritaku.
“Artinya kamu belum bisa ada di luar Pulau Jawa hingga Maret,” kamu menyimpulkan. “Maret yang kita rencanakan untuk menikah,” tambahku. Kamu mengangguk, kembali menatapku. Diam saja, kamu tidak, atau belum, menanggapi lebih lanjut mengenai perkara kejujuranku. Perkara yang membebaniku selama lima bulan terakhir. Perkara yang dilematis, dan selalu membuatku terngiang akan sloganmu, “Harus ada yang dikorbankan,” yang selalu menghantui tiap aku berpikir untuk melangkah, menyusun, memilih, dan memutuskan pilihan yang perlu kulakukan dalam rangka mewujudkan mimpi. Mimpi yang baru kurintis setahun dan baru saja menemukan relnya untuk siap diantar menuju stasiun-stasiunku menuju kesuksesan.

Semua kembali pada komitmen yang telah terjaga dan terikat, bahwa ini bukan lagi tentang aku, atau kamu. Ini telah lama menjadi ‘kita’ dan terperosok dalam jurang pemisah yang tak bisa dihindari dan belum menemukan jembatan penghubungnya. Jurang yang tak pernah mengenal kompromi mengenai waktu dan tempat: jarak.

Keegoisan cinta dan hubungan telah melahap habis harmonisasi pribadi menjadi sebuah sikap mengalah yang tunduk pada sesuatu yang tak teraba dan kini menimbulkan ragu dalam pikiranku,
“Benarkah kamu ingin menikah denganku?” tanyaku padamu, mengais keyakinan yang selama ini kau gores melalui diskusi dan kata, tapi tak pernah kutahu fondasimu. Fondasi yang mendasarimu hingga begitu kaku untuk menerima bahwa pulau ini masih berusaha menempaku beberapa lama, agar aku siap untuk nantinya kau bawa dan membangun apa yang aku pelajari di sini untuk kubagi di sana.
“Ya, aku akan menikahimu.” Ujarmu.
“Dan pilihanmu tepat untuk menolak tawaran itu. Sudah cukup aku beda benua denganmu setahun terakhir. Tidak lagi untuk kali ini,” ujarmu, mengejutkanku dengan sangat!
“Kamu akan tetap berada di sana bersamaku, tahun depan,” kamu mengetuk palu tanda vonis telah dijatuhkan. Perkataanmu menutup diskusi, dengan sebuah perintah, dengan sebuah putusan mutlak seolah itulah yang benar.
Aku termangu, menarik kembali persepsiku tentang kamu yang paling suportif dalam hidupku.
Cinta memang benar serakah adanya. Tidak akan pernah ada yang adil dalam sebuah hubungan.
Tertunduk, aku menahan tangis seraya berujar dalam hati, “Harus selalu aku yang berkorban.”

***

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra