Serakah


Lama tak bersua, aku sedikit lupa dengan udara sore di sini. Cukup dua jam menikmatinya sendiri di ruang terbuka seluas 2x1,5 meter persegi, sedikit-sedikit aku bisa ingat dan merasa akrab dengannya lagi. Baunya segar dan dingin, campuran aroma tanah dan rumput yang basah, suaranya timbul dari libasan kendaraan bermotor di aspal yang tergenang, menciprati siapa yang tak siaga di pinggir jalan. Warnanya hijau tua, cokelat kusam dan keriput, abu tua mengkilap, serta kelabu yang membuat kabut di ruang udara yang menggantung dan mengawang.

Hujan yang rakus telah merenggut energi untuk bergerak lalu mengubahnya jadi renungan yang diam. Semua orang malas beranjak kala hujan, mata malas melihat, otak malas memikirkan yang rumit, dan aku malas mengontak salah satu atau dua dari mereka untuk menemaniku di sini. Bukannya apa, aku yakin mereka malas untuk bepergian di kala cuaca seperti ini. ‘Mager’ alias malas gerak adalah satu kondisi yang paling sukses diciptakan hujan dan udara dinginnya. Aku juga malas untuk berbicara dengan suara, karena paling enak adalah berbincang dengan imajinasi sendiri pada saat-saat seperti ini.

Sejujurnya, sore ini aku merasa serakah terhadap waktu. Keputusanku untuk tidak menghubungi salah satu dari teman-temanku ternyata membuatku merasa serakah karena merampas waktu yang belum tentu masih banyak untuk bercengkrama dengan mereka. Tapi, ah tak apalah satu sore saja. Setelah aku pikir-pikir lagi, bukan cuma aku yang serakah, malahan, apa dan siapa yang tidak serakah dalam hidup ini? Hujan sudah kukatakan rakus, lalu aku pun serakah terhadap waktu. Tapi, waktupun serakah terhadap roda kehidupan makhluk hidup! Ia tidak memberi jeda, ia tidak mengijinkan manusia untuk mundur. Waktu memaksa manusia terus resah dalam menanti sedetik yang akan datang. Bagaimana dengan manusia? Ah, tak usah ditanya lagi bagaimana serakahnya manusia. Manusialah penggagas istilah ‘serakah’ dengan kesadaran bahwa mereka memiliki sifat dasar tersebut. Manusia serakah akan dunia dan isinya, manusia serakah akan segala yang berwujud dan tak berwujud, akan segala yang terlihat dan terasa. Manusia bahkan serakah akan Tuhan dengan mencoba menghakimi yang benar dan salah, mereka mencoba memenangkan cara menyembah mana yang paling benar.




Rrrrttt... telepon selularku bergetar, ada pesan singkat masuk.

Maaf y Num, kemaren gw sibuk bgt. Besok baru bs ktmuan, ngopi di tempat biasa? Sori y br ngbrn..hehe.

Pesan dari Amelia, kemarin aku mengajaknya untuk bertemu tapi tidak ada balasan. Sudah lama aku tidak bertemu dia, kini dia tengah sibuk mempersiapkan pernikahan kakaknya.

It’s okay, Mel! Besok berkbr lg yak! 
Aku tekan tombol ‘send’ dan kembali larut dalam lamunan soreku. Sedikit tersenyum geli, ternyata kata maaf tidak mengenal skala besar dan kecil. Seberat dan seringan apapun permasalahannya, ‘maaf’ adalah kunci untuk memperbaiki keadaan yang berjalan tidak semestinya. Satu kata yang tiba-tiba membuatku ingat sebuah luka, luka yang menganga lama hanya karena aku menunggu satu kata ‘maaf’ itu diucap. Kata yang terkubur entah di mana sehingga membuat aku dengki dalam jangka waktu yang berkepanjangan. Satu kata yang hanya tersusun dari empat huruf tapi bisa membuat seseorang lega karena mengucap dan menerima ucapannya. Bagaimanapun, satu kata kunci itu tidak akan membuat keadaan berubah, karena apa yang terjadi memang harus diterima dan maaf harus diterima dengan ikhlas.

Maaf, yang tidak mengobati dengki dalam hati siapapun. Rasa ternyata tak kalah serakah. Rasa apapun: dengki, nafsu, perih, bahkan apa yang mereka sebut dengan cinta. Bagiku, cinta adalah serakah yang paling disucikan di muka bumi ini. Katanya, cinta adalah perasaan paling murni yang pernah ada. Tapi, bagiku cinta adalah nafsu dan ego. Cinta hadir ketika aku ingin memiliki seseorang, cinta terasa ketika aku sedang bercinta dengan pasanganku, cinta hadir ketika orgasme, cinta hadir ketika aku membuat laki-laki tunduk padaku, cinta hadir ketika amarah tumpah di tengah dua manusia yang mencoba menyelaraskan rasa dan pikiran mereka agar bersatu dan menemukan jalan tengah yang adil. Cinta serakah karena menuntut dua manusia berbeda agar merasa cocok atau sepadan. Cinta serakah karena memaksa manusia untuk melakukan dan mengorbankan apa yang tadinya tidak ada dalam otak dan hati mereka. Cinta serakah karena membuat manusia menghalalkan segala sesuatu atas namanya, atas nama cinta.

Angin berhembus kencang melewati balkonku, menciptakan suara daun-daun yang bergesek lembut, menggerakkan ranting pohon di depan ke kanan dan ke kiri. Hari sudah semakin gelap, suara kayu dan besi saling bergesekan, pintu geser di belakangku terbuka.
“Sayang, jam berapa pacarmu datang?” wajah oval licin berkepala botak itu memelukku dari belakang.
“Sejam lagi dia tiba di sini,” jawabku sambil mengelus tangannya yang melingkar di perutku. “Sebaiknya kamu pulang,” kataku lagi. Ia mengecup rambutku dan diam sebentar, “Hmmm...seandainya kamu akan memilih,” ujarnya.
“Dan kamu tahu siapa yang akan aku pilih?” tanyaku sambil tergelak.
“Setidaknya semua akan bebas,” balasnya.
“Ini adalah bebas bagiku,” kataku. “Pulang saja dulu,”

Ia bergerak menuju dalam kamar. Aku dengar suara barang-barang yang dibereskan, lalu ia berseru, “Sampai ketemu lagi saat ia pulang ke kotanya! Bye, baby!”
“Hari Jumat dia pergi dari sini!” seruku, “Bye, baby!” aku balas berseru.

Masih berdiri di balkon, aku tersenyum, serakah dan dengki terbalut dalam senyum tulus atas bahagiaku. Cinta yang tak satu akan terus melengkapi hidupku, walau sudah kudengar maaf darimu.***

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar