D 1373 FZ

Pertama kali saya mendapat kuasa sepenuhnya untuk duduk di balik kemudinya sekitar nyaris lima tahun yang lalu. Pertengahan 2006 kalau tidak salah, mobil hijau ini setia menemaniku menyusuri jalanan kota ini hingga kota lainnya. Bukan hanya kota malah, tapi hampir setengah sudut-sudut Jawa Barat yang pernah kujamah. Jatinangor dan Bandung telah menjadi rumahnya, ia telah menjadi rumahku, dan tanpa keangkuhan, ia telah menjadi tuan rumah bagi siapa saja yang menumpang dan membawa saya dan mereka setiap berpetualang.

Bukan saja barang-barangku yang setia berdiam di dalamnya, tapi juga barang-barang banyak orang yang terkadang lupa atau memang sengaja ditinggalkan. Sepertinya ia sabar-sabar saja menampung semua barang maupun sampah yang membuat dia sering dikasihani orang-orang karena terlihat kumuh. Jahat juga rasanya, saya jarang memandikannya, sehingga ia sering tampak tidak segar ketika bertarung di jalan. Bagaimanapun, saya selalu percaya dengan ketangguhan dan kekuatannya untuk menemaniku melintasi ratusan ribu kilometer di pulau ini.

Salah seorang sahabat, Boti, pernah memberikan dia hadiah kecil berupa bantal dengan warna yang serupa dengan kulit kalengnya. Satu waktu, bantal itu menginap di rumah lain, bantal yang sudah kotor dan hijaunya tidak sesegar dengan dulu waktu Boti memberikannya pada saya agar siapa yang duduk di jok belakang merasa nyaman sedikit. Maaf ya, Bot, ternyata sekarang gw rindu bantal dari lo. 



Rasanya dia adalah mobil yang termasuk beruntung karena sering kuajak berlibur ke beragam pantai, melewati gunung dan dataran tinggi, menjelajah jalanan gelap tak berpenghuni pun bercahaya, hingga mampir di rumahku di Yogyakarta. Hebatnya, dia tangguh. Walaupun makin ke sini dia makin sering sakit, tapi sungguh dia mobil yang tangguh! Batu Karas, Pangandaran, Kabupaten Bogor, Cipatujah, Santolo, Sambolo, Yogyakarta, Pameungpeuk, adalah sederet dari sekian petualangan yang pernah saya bawa dia ke sana. Tanpa mengeluh, tanpa peluh, dan rela diisi siapa saja beserta tumpukan barang yang tak sedikit, dia ikut menikmati kami yang girang berpetualang.

Tidak hanya sampai situ cerita si Ijul, mobil soluna hijau kesayangan saya. Setiap momen yang saya lewati baik senang maupun sedih, setiap kisah cinta dan sakit hati, cerita persahabatan dan omongan buruk mengenai orang lain, serta caci maki dan pujian berisik, pernah tertumpah di dalamnya. Ia saksi bisu dan mati namun bergerak dalam kisah hidup saya sejak lima tahun silam. Rasanya sulit ketika saya ingin lepas dari memori namun Ijul masih setia menemani saya. Tiap sudutnya, tiap sampah dan barang tak penting yang ada di dalamnya, di sanalah orang-orang meninggalkan jejak mereka untuk terus mengikuti saya kemanapun.

Orang-orang datang dan pergi, silih berganti, naik turun ke dan dari mobil itu. Tiap pintu yang mereka buka, tiap pegangan pintu yang pernah patah hingga kini sempurna, tiap wangi yang pernah mengisi udara di dalamnya, dan setiap lagu yang mengingatkan orang-orang akan Ijul dan saya, semuanya akan kembali seperti ini, seperti sore tadi: hanya saya dan dia. Kembali kami berdua, menyusuri jalanan yang sama, tanjakan berliku yang serupa, tiupan angin yang meniup abu rokok saya pecah di udara, kembali kami berdua saja.
Orang-orang datang dan pergi, silih berganti duduk di balik kemudinya, kadang sekali, tak jarang hampir tiap hari. Majikan sementara yang ia patuhi, namun pada akhirnya akan selalu kembali aku dan dia. Entah sampai kapan, tapi bersamanya, saya melakukan memori dan melibas kisah yang harus terganti. Tapi bersamanya, saya selalu melakukan memori dan gagal melibas jejak.

Terkadang ia merengek untuk mengulang serangkai perjalanan, mencapai tempat-tempat kala itu, dan meminta orang-orang yang pernah menumpanginya untuk kembali. Sore ini, saya yakinkan dia, bahwa memang sudah begini jalannya: hanya aku dan dia. Saya bilang padanya, bahwa saya juga merindukan petualangan serupa dengan orang-orang yang sama, tapi waktu sudah berkata bahwa memang begini adanya. Perlahan-lahan orang akan lupa dan merasa tidak ada keinginan untuk menumpangimu, bisa jadi perlahan orang bahkan lupa kamu ada, atau akan susah bagi mereka untuk menyisihkan waktu untukmu. Aku sama sepertimu, Ijul, rindu wajah-wajah itu. Tapi, relakan...

Relakan, jangan menangis, hijau...


**

Bandung, 21 Februari 2011

Comments

  1. ijul bukan hanya menjadi perekam memori bagi si empunya. tapi juga kami yang keluar masuk dan merepotkan ijul. hehe. bahkan gw yang bukan pemiliknya aja punya perasaan mendalam sama ijul. hiks.

    ReplyDelete
  2. hiiiiiiikkkkkkkksssssssssssssssssssssssssssssssssss........................

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar