Posts

Showing posts from 2013

Menghapus Bayang-Bayang

Image
Cerita Pendek Image source: here Menapakkan kaki di Jakarta ternyata menciptakan dilema bagiku. Di satu sisi, jengah dan sesak oleh pertarungan di jalan raya yang membunuh waktu dan merampas momen berharga yang bisa terjadi. Namun di sisi lain, kota ini menggantungkan harapan yang selalu bikin orang berlomba-lomba untuk menggapainya. Harapan itu berujung pada nama kelayakan dan bertengger di tepi-tepi deretan gedung yang tak henti mencakar langit. Kian tinggi dan kian padat. Aku sudah menetap di ibukota selama delapan tahun, terhitung semenjak kuliah. Sepanjang satu dasawarsa itu pula aku rutin mengunjungi kota asalku, biasanya dua kali dalam setahun. Dalam kurun waktu itu pula, setiap kembali ke ibukota dan menyaksikan pemandangan di pinggir jalan, aku masih berpikiran sama: wajah kota ini tak akan pernah luntur selain menjadi makin mewah. Seiring dengan gaya hidup yang menuntutnya, seiring dengan tuntutan hidup yang mendesak di dalamnya, dan seiring dengan keinginanku unt

Cobaan

Tiba-tiba terlintas gagasan asmun ("asal muncul", temennya "asbun-asal bunyi") dalam benak saya, yaitu: mungkin saya harus kembali menggunakan mesin tik. Di bayangan saya, mengerjakan komposisi tulisan dengan perangkat kuno tersebut pastilah bebas gangguan. Mesin tik cuma tentang si pengetik dan kertas. Tidak ada tampilan layar lain selain kertas yang bakal diisi dengan jalinan kata, buah pemikiran dan imajinasi si pengetik. Tidak ada jaringan internet, maka otomatis laman situs juga nihil. Bagi saya, ini artinya: tidak ada pengalih perhatian  -selain tidur, makan, mandi, ke kamar mandi- yang bisa membuyarkan konsentrasi dan menggoyahkan "iman" tiap detik, saat pikiran harusnya sedang berkonsentrasi penuh untuk bertutur.  Tapi, setelah dipikir-pikir, jalan pikiran saya yang terbalik. Simpelnya sih , jangan mau digoda oleh jaringan internet, karena yang mengaktifkan segala laman situs itu, kan, jari-jari saya sendiri! Ya ampun, lemah. Pfftt.

Birthday

Image
What could possibly be the most precious thing that God offers to human? Watching and hearing some news about the births and the deaths lately have brought me to a conclusion: that it is a life. And revised, it is not an offer, but a gift. God doesn’t negotiate, He decides whether a soul lives or dies. He gives a life and at once, He also takes a life. Yin and Yang. A balance that only by Him can be done. Once in a year, we commemorate the day when God brought us to this world, we celebrate our birthdays. Cultures have created all those symbols and rituals linked to a celebration of everyone’s birthday through greetings, parties, wishes, presents, etc. I humbly believe that it is all to express how blissful we are to be allowed to have and given a life—manifested through the ages—until the present. But, is this what we really feel about those festivities? Do we really think about the greater gift above the party, the sincere and lovely greetings, the presents, the gifts, the surpris

Teruntuk Pria 4 Desember

Image
Tiga tahun terakhir, menjelang tanggal ini biasanya aku selalu dipenuhi dengan rencana. Isi rencana itu sebenarnya mempunyai motif yang solutif; bagaimana caranya supaya aku bisa menghabiskan tanggal ini di sebelah kamu? Untungnya, semenjak 2010 hingga 2012, kondisi selalu berpihak kepada kita yang waktu itu sedang menjalani hubungan jarak jauh. Ada saja kesempatan yang membuat kita bisa menghabiskan tanggal 4 Desember bersama-sama. Lalu, beberapa hari menjelang 4 Desember di tahun ini, tiba-tiba aku teringat peristiwa yang terjadi tepat satu dekade lalu. Sebenarnya, kamu yang menceritakan ulang tentang hari itu, karena jujur saja, aku sepenuhnya lupa. Sepuluh tahun yang lalu, kamu merayakan hari jadi ke-17. Hari jadi yang penting bagi kebanyakan remaja, karena di usia ini, katanya kita sudah dianggap dewasa; sudah punya KTP, sudah punya SIM dan otomatis boleh mengendarai kendaraan sendiri, dan hak-hak istimewa khas orang "yang sudah besar" lainnya. Waktu itu, kamu mengun

Dialog Tua yang Tak Usang

Dimuat di Femina, Edisi F35/September/2013 Aku menatap sofa merah tua di sudut ruangan putih ini. Aku masih ingat betapa ia menyayangi sofa itu, dan betapa ia bisa tenang sambil terpejam melemaskan seluruh badannya di atas bantalan lembut itu. Bahkan, aku masih bisa menggambar dengan jelas geraian rambut cokelat tuanya yang ia lampirkan dengan lemah lembut di bagian kepala sofa itu. Setiap pulang sekolah, atau setiap aku baru pulang dari kegiatan ekstrakulikuler, aku sering melihat ia berdiam diri di sana dan wajahnya terlihat tenteram. Jika ia sudah merasa cukup, ia akan bangkit dari sofa lalu menyapa dan memeluk tubuhku yang bau matahari. Namun, bau matahari yang panas itu mampu diredam oleh kehangatan tubuhnya. Aku sering menduduki sofa itu kala merindukannya, tiap ia pergi ke luar kota untuk urusan kerjaan, misalnya. Harum tubuh dan wangi parfumnya sudah melekat tak mau lepas dari permukaan beludru sofa merah tua yang sudah lekat dengan aroma tubuhnya, dan tak akan pernah bisa

[Ulasan Tempat] Klinik Kopi, Secangkir Terapi

Image
Setiap kata "ngopi" muncul, maka yang tersirat di benak kita adalah duduk bersama teman di sebuah kedai kopi sembari berbincang. Tapi kali ini, pengalaman saya menyesap kopi berbeda. Bagaikan pasien, saya harus membuat janji dan mengantre untuk bisa menikmati secangkir kopi di Klinik Kopi. Berawal dari keinginan kakak saya untuk membeli biji kopi khas Jawa, kami berdua lalu mencari tahu soal tempat yang menjual biji kopi di Yogyakarta. Dari beberapa pilihan informasi yang kami peroleh melalui internet dan rekomendasi teman saya, Kartika Pratiwi, maka Klinik Kopi langsung menjadi destinasi utama kami. Hal ini tak lain karena tempat tersebut memiliki informasi terlengkap seputar biji kopi di antara pilihan tempat lain yang kami dapatkan. Selain itu, jujur saja, judul "klinik" berhasil memancing rasa ingin tahu kami lebih dalam soal konsep tempat ini. Melalui informasi yang tertera di laman resminya ( www.sindorogreenbean.com dan www.klinikkopi.wordpress.com ), k

Kemelut Keraton

Prihatin. Kata ini sungguh tepat untuk menggambarkan pandangan saya terhadap apa yang terjadi di tubuh Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Konflik internal keraton sudah menjadi konsumsi publik dalam hitungan tahun, dan malah makin runcing belakangan ini. Saya pikir rekonsiliasi yang sudah terjadi antara "raja kembar" beberapa waktu silam merupakan penyelesaian dari pertarungan kuasa di dalamnya. Tapi nyatanya tidak. Runyam.  Tidak bisa dipungkiri kalau eksistensi Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak bisa disejajarkan dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang masih berlaku sebagai pemerintah DIY. Namun, satu hal yang tidak bisa dihindari oleh keraton pewaris takhta Mataram ini adalah: perannya sebagai pusat pengetahuan dan keberlangsungan budaya Jawa. Sebagai cagar budaya, warisan kebudayaan, dan satu wujud pengetahuan yang harus dilestarikan. Ini yang menjadi keprihatinan nomor satu saya. Lupakan peran politik keraton yang sudah lama tidak berlaku

Generasi Transisi

Kemarin, saya pergi ke Solo bersama kedua orang tua saya. Kami berangkat dari Yogya sekitar pukul 11.00 dan saya, seperti biasa, berlaku sebagai sopir. Ketika sudah memasuki Kabupaten Boyolali, saya melihat satu rumah warga yang berdiri di pinggir jalan dan terapit sawah di sekelilingnya, tidak ada rumah lain. Ayah lalu berkomentar soal alasan rumah-rumah di pinggir jalan itu miring, alias tidak menyiku 90 derajat dari jalanan (wajarnya, wajah rumah tampak rata jika kita lihat dari depan jalan), hingga ayah bernostalgia soal lahan sawah yang makin terkikis. "Bayangin, suatu hari nanti sawah-sawah di sini akan lenyap oleh bangunan," katanya. "Ayah dulu masih merasakan kehidupan desa, tanpa listrik. Masih ingat betul bagaimana alam itu (dalam benak ayah)," katanya lagi. "Kasihan, ya, generasi kamu tidak mengenal alam," ujar ayah yang langsung saya potong, "Aku masih, dong, Yah. Generasi setelah aku baru bisa jadi tidak mengenal alam lagi," korek

[Ulasan Hotel] Pasti Ingin Kembali

Image
Ada jejak memori tentang kenyamanan, kepuasan, dan keengganan meninggalkan Kota Kembang selama lima malam saya menginap di akomodasi unik ini. Bagi saya, Cottonwood Bed & Breakfast memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi penghuni sementara Bandung, lebih dari sebatas turis. Perjalanan saya pada akhir September 2013 ke Bandung sebenarnya tidak sepenuhnya memiliki tujuan utama untuk liburan. Ada beberapa urusan yang mengharuskan saya pergi bersama suami selama enam hari ke sana. Namun, ini adalah pertama kali saya bertandang ke kota tersebut tanpa penginapan gratis, alias rumah atau kos-kosan teman. Saya teringat informasi dari seorang teman yang menyebutkan fasilitas akomodasi baru nan unik di Bandung, yaitu Cottonwood Bed & Breakfast. Nah, tentu saja ini adalah momen yang tepat untuk langsung mencoba menginap di sana! Lokasi penginapan ini terbilang mudah untuk ditemukan, apalagi letaknya berada dekat dari Tol Pasteur, tepatnya tak lebih dari lima menit b

Ganti Nama

Tumben, hari ini saya merasa ada yang "ribet" dari blog ini. Ternyata hanya persoalan nama atau judul blog. Dari awal membuat blog di Wordpress hingga hijrah ke Blogger, saya memutuskan "Universe of 42" sebagai judul blog. Alasannya memang agak romantis: angka 42 kerap menyertai dan menghantui kehidupan saya. Jika ditanya contohnya apa saja, sudah terlalu banyak dan dulu pernah saya bahas di blog Multiply. Intinya adalah angka 42 pernah begitu sering mampir dalam kejadian-kejadian sepele sepanjang hidup saya dan cenderung menunjukkan pertanda yang membuat saya menelaah maknanya. Akhirnya saya putuskan menggunakan "Universe of 42" sebagai cerminan salah satu makna angka ini (dari sebuah sumber): antara Tuhan yang muncul lewat simbol 777 dan iblis 666 (42 adalah hasil perkalian 6 & 7, ceunah ). Lalu, saya percaya bahwa segala yang tertuang di blog pribadi saya merupakan wujud ide, imajinasi, pengalaman, serta harapan yang serba kontradiktif. Ada nilai k

Perlahan

Image
"All we need is just a little patience" -Guns N' Roses Perlahan-lahan, saya rasa begitulah segala sesuatu harus dimulai. Seperti anak kecil yang baru lahir, ia butuh waktu untuk mampu duduk, tengkurap, merayap, merangkak, hingga tertatih-tatih melangkah. Lalu saya muncul dengan bantahan, "Itu, kan, anak kecil yang memang belum tahu apa-apa di dunia ini! Beda dengan saya!" kira-kira begitu. Tapi ternyata, ada yang harus saya tiru dari proses belajar si makhluk mungil ini. Adalah kesabaran dan kepasrahan seorang bayi yang baru lahir dengan segala keterbatasannya untuk menyambut level baru sebagai manusia; manusia utuh yang mampu menggunakan seluruh organnya untuk bergerak dan berpikir. Di usia saya yang sudah genap seperempat abad ini, ada satu hal yang saya sadari telah terkikis: kemampuan untuk bersabar. Jika ditelaah dengan mendalam, penyebab dari gejala ini tidak bisa ditarik secara mutlak ke dalam satu simpulan sebab. Saya bisa bilang kemajuan teknol

Rindu Konvensional

Image
Generasi cyber , mungkin ada tepatnya kita dikategorikan ini. Era kehidupan sekarang secara cepat menyeret manusia untuk hidup dengan otak dan hati eksternal, seperti smartphone , gadget mutakhir, atau Google. Hal-hal yang dilahirkan oleh teknologi di masa sekarang memang sudah seperti “organ tubuh” tambahan bagi manusia yang membuat kita sulit membayangkan hidup tanpa semua produk teknologi (termasuk curahan virtual seperti ini yang dulu hanya mengendap di buku harian :p).  Tapi saya merasa beruntung karena masih sempat mengalami kehidupan yang “apa adanya”. Misalnya, saat dulu hidup saya dan sekitar masih belum difasilitasi oleh smartphone atau peranti penghibur lainnya, jika saya mengingat pekerjaan “menunggu” rasanya sungguh membosankan karena tidak ada peranti yang bisa mengisi waktu luang itu dengan kemewahan games atau media sosial. Saya juga masih ingat zaman saat pengetahuan terasa mahal karena belum ada search engine yang bisa memberikan jawaban dalam hitungan detik. A

Monolog Lejar

Image
Biasanya tidak begini. Sekujur betis, tulang kering, dan tulang panggulku mulai nyeri. Kesemutan seperti aku belum pernah melakukan pose ini. Biji-biji keringat mulai menggelinding dengan deras, dari pori-pori kulit kepala, jatuh ke batang hidung, membuat asin tersesap selewat di bibirku, dan seluruh tubuhku basah. 20 detik lagi... 15... 10... 5... "Fyuuuhhh!" desahku berat bersamaan dengan tumpuanku yang langsung jatuh berpegangan pada tiang kayu yang melintang di sepanjang tepi kaca ruangan ini. Aku menghirup napas dengan rakus, dalam namun pendek-pendek dan terengah-engah. Lima belas menit hanya aku habiskan dengan melakukan posisi mendak.  Pose ini adalah gerakan yang mendominasi tubuh seorang penari Jawa saat berlaga; berdiri dengan posisi kedua tungkai kaki ditekuk sehingga menciptakan bentuk seperti ketupat jika dilihat dari depan dan belakang, dan kedua telapak kaki menghadap berlawanan ke sisi luar. Sepanjang tarian, seorang penari Jawa pasti melakukan posis

Ulasan Musik: London Grammar

Image
Awal mula pertemuan saya dengan grup musik asal Inggris ini memang agak abstrak. Rasanya saya sudah pernah melihat nama band London Grammar di salah satu situs berita musik indie luar. Sepertinya itu beberapa bulan lalu. Sore ini, ketika saya baru duduk manis di depan laptop  dan memasuki laman jejaring sosial musik ternama berlogo warna jeruk itu, single baru trio ini muncul di halaman utama. Baru mendengarkan bagian intro-nya saja, saya sudah yakin akan menyukainya. Benar saja, lagu Strong milik London Grammar pun tidak henti saya putar. Ki-Ka: Dot Major, Hannah Reid, Dan Rothman Grup musik beranggotakan Hannah Reid (vokalis), Dan Rothman (gitaris), dan Dot Major (instrumentalis) mencuri perhatian para  blogger musik   saat single "Hey Now" dirilis pada laman SoundCloud band tersebut, akhir 2012 lalu. Media musik indie berbasis di Chicago, Pitchfork  mengatakan single tersebut indah ( exquisite ) dan disusul juga dengan ulasan yang tetap menimbulkan kesan baik untu