Menghapus Bayang-Bayang

Cerita Pendek
Image source: here

Menapakkan kaki di Jakarta ternyata menciptakan dilema bagiku. Di satu sisi, jengah dan sesak oleh pertarungan di jalan raya yang membunuh waktu dan merampas momen berharga yang bisa terjadi. Namun di sisi lain, kota ini menggantungkan harapan yang selalu bikin orang berlomba-lomba untuk menggapainya. Harapan itu berujung pada nama kelayakan dan bertengger di tepi-tepi deretan gedung yang tak henti mencakar langit. Kian tinggi dan kian padat.

Aku sudah menetap di ibukota selama delapan tahun, terhitung semenjak kuliah. Sepanjang satu dasawarsa itu pula aku rutin mengunjungi kota asalku, biasanya dua kali dalam setahun. Dalam kurun waktu itu pula, setiap kembali ke ibukota dan menyaksikan pemandangan di pinggir jalan, aku masih berpikiran sama: wajah kota ini tak akan pernah luntur selain menjadi makin mewah. Seiring dengan gaya hidup yang menuntutnya, seiring dengan tuntutan hidup yang mendesak di dalamnya, dan seiring dengan keinginanku untuk terus menaklukkan segala yang ada di atas tanahnya, dengan cara apapun.

Begitulah caraku untuk menepis dilema yang kerap menghampiri tiap hari. Aku harus menaklukkan apapun yang ada di sini, karena aku kini adalah satu berlian yang berhasil tumbuh subur di salah satu lapak tanahnya. Toh, setiap orang yang memutuskan mengadu nasib di sini hanya terdiri dari dua pilihan kategori: mereka yang memang terpaksa mendamparkan diri dan menerima apa yang ada di Jakarta, atau mereka yang bekerja keras untuk menjadi pantas diakui sebagai bagian di dalamnya. Aku? Tentu saja yang kedua! Usiaku belum sampai 30, namun bisa dibilang aku sudah bisa melihat jalan mulus di depanku. Parasku cantik bagai wanita Korea yang kini tengah digila-gilai sejuta umat, tubuhku molek bagai boneka Barbie, latar belakang pendidikan lulusan manajemen di salah satu universitas swasta bergengsi ibukota, dan berotak cerdas. Jika aku tidak cerdas, tak mungkin kini aku bisa menjadi asisten manajer di salah satu perusahaan retail ternama yang membawa segambreng merek fesyen top dari luar negeri.


Cabang tol mulai terlihat dan pengemudi taksi biru inipun melambatkan laju kendaraannya seraya berbelok menuju jalan tol dalam kota. Sepertinya ia kini merasa sedikit santai dan langsung membuka percakapan, “Mbak, saya rasa-rasanya pernah melihat wajah situ,” katanya lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, “tapi di mana, ya?” Dari jok penumpang di belakang, aku bisa melihat kedua bola matanya menatapku lewat spion tengah. Aku tersenyum simpul lalu membalas, “Di mana, Pak?” tanyaku sopan. Pria yang berusia kira-kira 30 akhir mendekati 40 itu mengernyitkan dahinya lalu berkata, “Saya juga lupa, Mbak.” Beberapa detik kemudian, ia berseru, “Di televisi, Mbak! Ya…ya… Benar di televisi! Mbak ini artis ya? Atau model?” cecarnya. Entah bagaimana aku harus meresponsnya. Aku sendiri juga bingung tiap ada yang bertanya apakah aku ini model atau artis? Memang, pernah aku ikuti satu ajang kecantikan di negeri ini, serta beberapa kali menjadi model untuk proyek kenalan-kenalan. Ajang kecantikan itu juga memberikan aku kesempatan untuk muncul di televisi dan bertemu para pelaku industri hiburan di Indonesia. Tapi sampai situ saja. Setelah kuingat-ingat, fase itu berlangsung lima tahun yang lalu.

Bapak sopir itu tampaknya masih menanti respons dariku. Tersenyum geli, aku angkat suara, “Memang pernah, Pak, saya masuk televisi,” sembari kupandangi jalan tol yang ramai lancar lalu melanjutkan, “tapi rasanya hanya sekali itu saja saya nampang di televisi.” Ia senyum sambil manggut-manggut. Pria berkulit cokelat itu terlihat puas karena mendapati dugaannya tak meleset. “Lalu, kenapa tidak dilanjutkan saja, Mbak?” tanyanya lagi. “Dilanjutkan apanya, Pak?” balasku. “Yaa… Jadi artis. Kan, enak, banyak uang, terkenal, bisa pergi ke luar negeri kapanpun,” lanjut si bapak dengan polosnya. Lagi-lagi aku terkikik geli dalam hati. 

Kenapa tidak aku lanjutkan saja karier di dunia hiburan? Batinku bertanya mengulang pertanyaan bapak itu. Aku jadi teringat masa remajaku di kota asal, sebuah kota kecil di pulau seberang. Kota yang begitu damai dan penuh dengan keriaan serta orang-orang yang bisa dibilang modern namun rendah hati. Jauh sekali dari karakter masyarakat ibukota yang haus pengakuan di segala aspek kehidupannya. Aku tumbuh dengan penuh kebahagiaan sekaligus ambisi. Sebagai anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya perempuan, rasa kompetitif tercipta begitu tinggi dalam diriku. Bukan terhadap ketiga saudariku, melainkan terhadap perempuan lain di luar keluarga. Aku begitu menyayangi seluruh keluargaku, terutama ibu yang sudah berhasil membesarkan empat anak perempuannya dengan penuh kesabaran dan keteguhan. Ibu pula yang dari dulu mencekoki nilai “Jangan mau diremehkan sebagai perempuan” ke dalam sistem nilai pribadiku. 

Jangan tanya soal figur ayah, aku tak punya. Beliau telah meninggal saat aku masih menginjak bangku TK, dan ibu tak pernah menjalin hubungan spesial dengan pria manapun sejak itu. Bisa dibilang keluarga kami yang sepenuhnya dihuni oleh kaum hawa ini hidup dalam kecukupan. Kami tak kekurangan, tapi juga sama sekali tak berlebih. Sementara, pergaulanku saat beranjak dewasa menunjukkan betapa banyak orang berlebih di sekitarku. Secara harta, aku memang tak dikaruniai keluarga yang berlimpah. Tapi Tuhan memang adil, karena ia menganugerahi paras yang istimewa bagiku dan ketiga saudariku juga. Walau, bisa kubilang bahwa aku adalah yang paling menonjol di antara mereka. Ini jelas terlihat dari deretan kawan-kawan sekolah dan sepermainan yang mengantre ingin dekat denganku. Harus aku syukuri, bukan?

Fisik yang bisa dibilang di atas rata-rata ketimbang siswi-siswi lain di sekolahku itu (ditambah lagi dengan pengakuan dari penghuni sekolah-sekolah lain yang banyak menanyai siapa namaku tiap aku menghadiri acara antarsekolah) bikin aku sadar bahwa potensi ini tak boleh disia-siakan. Terlebih, di kota kecil ini tentu tak banyak sainganku untuk bisa menjadi figur remaja perempuan yang menonjol. Jalur modeling adalah jawabannya! Ya, saat baru lulus SMP, aku memutuskan mengikuti agensi model ternama di kota itu dan mulai mengikuti kontes-kontes kecantikan yang digelar bagi para remaja di sana. Gayung bersambut, dan makin tenarlah aku di sana sebagai model lokal. Pergaulanku di bangku SMA pun makin luas. Walaupun aku tak masuk ke SMA unggulan di kota itu, namun statusku sebagai model cukup mengantarkan aku ke ajang sosial yang luas di sana. Beberapa kisah percintaan remaja dan cinta monyet mulai terjalin, malahan kisah-kisah tersebut terjalin bersama remaja laki-laki dari berbagai sekolah ternama setempat. Tak cuma itu, mereka juga rata-rata bernaung di sebuah kelompok sosial yang bergengsi, misalnya: anak-anak klub mobil, anak-anak klub biliar, atau anak-anak klub tongkrongan lainnya.

Pada masa itu, aku sadar sepenuhnya soal betapa pentingnya penampilan dan paras seorang perempuan. Namun, di satu sisi aku juga sadar kalau pengakuan sosial terhadap diri perempuan tidak akan sepenuhnya positif jika hanya berangkat dari penilaian fisik. Perempuan cantik, tok, akan mendapatkan apa? Tidak ada apa-apa lagi. Penilaian berhenti di situ. Itulah yang membuatku gigih berjuang agar bisa lanjut kuliah di ibukota. Kakakku tidak melakukan itu. Ia melanjutkan studi tingginya di kampung halaman kami. Baiklah, keluarga kami juga kurang menanamkan nilai edukasi yang saklek. Ibu beranggapan bahwa sudah cukup anak-anak perempuannya cantik dan suatu saat akan ada pangeran tampan nan kaya yang menjemput kami untuk dinikahi. Pernikahan tipe beginilah yang tampaknya menjadi cerminan dari slogan “Jangan mau diremehkan sebagai perempuan” yang selama ini selalu ia tanamkan. Aku baru sadar.

Tapi, kehausanku akan kemapanan dan status sosial tinggi sekaligus membuatku tak ingin disepelekan di segala sisi. Fisik, sosial, ekonomi, dan edukasi. Aku ingin perempuan lain menatap iri padaku sepenuhnya. Ya, SEPENUHNYA! Berkat tabunganku sebagai model bertahun-tahun di kota kecil itu dan pinjaman ke sanak saudara, akhirnya aku berhasil masuk ke perguruan tinggi swasta yang terbilang unggulan di Jakarta. Studi manajemen aku tempuh dengan harapan bahwa kelak, orang-orang yang tadinya berpikir kami ini hanya sekeluarga perempuan yang menunggu peruntungan dari saudagar kaya, akan menelan ludah mereka sendiri. Aku, anak ibuku, anggota keluarga yang dianggap sebelah mata oleh segelintir orang namun dijadikan idola berkat paras kami yang ayu semua, masih mementingkan pendidikan, jebolan Jakarta pula!

Selanjutnya, perkuliahan aku jalani sebagaimana mahasiswa pada umumnya. Namun, tekadku untuk mengejar karier sebagai model atau artis masih menari-nari dengan heboh di pikiranku. Agensiku dari kota asal memberikan beberapa rekomendasi rekan mereka yang ada di Jakarta, maka jalurku mengejar karier di dunia hiburan pun terbuka. Sedikit demi sedikit audisi aku ikuti, namun gagal. Pemotretan sana-sini aku raup walau skalanya kecil. Semua yang bisa menghasilkan uang dengan potensi fisikku ini tak ragu kusambut. Hingga satu waktu, ia datang…

“Anggun, bukan?” sapanya penuh wibawa. Sebuah malam yang lengang sehabis aku mengikuti peragaan busana dari salah satu merek batik di sebuah kafe baru di Jakarta, kala itu. Sontak aku menoleh, mengamati pria itu dari atas sampai bawah. Usianya kisaran 35 tahun, penampilannya necis, semua pakaian dan aksesoris yang ia kenakan terlihat licin dan mahal. Wajahnya tak buruk, dan yang penting, perutnya tidak buncit. “Ya, betul. Bapak?” balasku singkat, acuh tak acuh. Ia tergelak lalu meneguk alkohol dari gelasnya lalu meletakkannya lagi di atas bar. “Jangan panggil bapak, tua…” protesnya. Aku tertunduk sembari tersenyum manis. Pria ini mengulurkan tangannya, mengajak salaman. “Yudha, dan panggil saya dengan nama saja,” ucapnya saat aku menyambut uluran tangannya itu. Lagi, aku hanya bisa mengangguk malu. 

Karisma pria ini lumayan kencang. Ya pastilah, bodoh! Maki diriku sendiri dalam hati. Ia terlihat dari keluarga kaya dan ternama. Ah, pantas saja daritadi para sosialita perempuan tak henti antre untuk sekadar cipika-cipiki atau mendapat balasan lambaian tangannya dari kejauhan. Aku sibuk berasumsi sendiri. Sedangkan, ia masih terus menatapku dengan mata berbinar. “Tinggal di mana?” tanyanya, masih belum beranjak dari sebelahku, malah duduk manis di atas kursi depan bar. Aroma wangi semerbak tubuhnya hinggap ke penciumanku. Hugo Boss, rasanya. “Di kos-kosan, dekat kampus, di Benhil,” jawabku ramah. Ia memiringkan kepala sedikit, “Ah, masih kuliah tapi sudah mencari uang sendiri,” ujarnya lalu menatapku. Tatapan Anda, sialan! Aku revisi batinku tadi: dia tidak “lumayan”, tapi sangat karismatik! Hati dan pikiranku bergemuruh sendiri. Malam itu berlanjut dengan perbincangan panjang dan berujung pada ia mengantarkan aku pulang dengan selamat hingga sampai kosan. Tak lebih.

Tak lebih hingga pada minggu keempat kami sering bertemu (berkencan tepatnya), ia mengukir malam yang sungguh monumental bagi hidupku. Sebuah malam di satu hotel bintang lima yang kami habiskan bersama. Ia mengajakku bermalam di sana dengan alasan ingin merayakan sesuatu. Entah apa. Kencanku selama empat minggu dengannya memang tak pernah biasa. Aku masih tidak tahu siapa pria ini dan bagaimana latar belakangnya. Hal yang aku pedulikan hanya ketulusan serta kesenangan yang ia bawa ke dalam hidupku saat itu. Tak banyak pertanyaan pula aku lontarkan, soal kencan kami yang jarang ke tempat publik, soal jadwal bertemu yang sulit diduga, soal segalanya tentang kami berdua. Aku hanya tahu dan mensyukuri kebahagiaan jiwa yang ia bawa ke dalam diriku, ditambah lagi (tentunya) dengan kebahagiaan material yang ia suguhkan. Mengingat pekerjaanku juga sedang sepi tawaran casting, pemotretan atau peragaan, tentu ini sangat membantu daya hidup mahasiswi kelas menengah di kota ibu tiri ini.

“Kamu bersedia tidak jadi orang spesial bagiku?” tanyanya sesaat setelah kami bercinta, saat kami tengah menikmati pemandangan gedung di area Senayan dari balik jendela yang tak terhalang tirai di sepanjang sisinya. Aku mengangkat badanku menghadap pria itu, selimut masih menutupi tubuhku. “Maksudmu…? Memangnya selama ini aku tidak spesial?” aku bertanya. Ia terkekeh lalu mengelus keningku. “Kamu cantik, cantik sekali…” ujarnya, tidak nyambung. Aku mengernyitkan alis, “Baru tahu?” sambarku sewot. Ia tertawa, tergelak, dan aku suka tawa itu. Aku suka suara gelakan itu. Tapi aku masih penasaran dengan maksud pertanyaan yang menyerupai tawarannya barusan. “Jadi, apa maksud pertanyaan kamu tadi?” ujarku. Yudha terdiam, mengusap kepalanya yang berambut superpendek. Lalu menoleh menatapku, lekat-lekat. “Aku bisa memberikanmu apapun, apapun yang kamu butuhkan. Sebut saja,” ujarnya membuatku makin tak tahu arah pembicaraan. “Aku menyayangimu, aku memujamu, aku ingin selalu ada bersamamu untuk lari dari kebosanan hidupku yang sesungguhnya. Tapi hanya seperti ini, tak lebih,” jelasnya belum jelas. Aku diam, menanti kelanjutan penjelasannya. Ia menghela napas, berat, tapi angkuh. Tiba-tiba air mukanya berubah ekstrem; menjadi begitu arogan dan berberat harga diri. “Aku tak bisa menjadi kekasihmu di mata dunia,” katanya lalu membakar rokok. Aku seketika terdiam, masih mencoba mencerna maksudnya. Apakah ia? Eh… Jangan-jangan…? “Aku sudah berkeluarga,” ujarnya. “Beristri dari hasil perjodohan keluarga atas nama kesuksesan bisnis turunan. Rumah tanggaku juga telah dikaruniai satu putra,” terangnya. Aku terkejut, namun herannya aku tak merasa dikhianati. Santai saja, malah senang karena ia jujur.

“Jadi maksudmu, kamu ingin aku menjadi simpananmu?” tanyaku gamblang. Ia terdiam sesaat lalu berujar, “Sedikit kasar, ya, terdengarnya,” yang langsung kusambar, “Nyatanya begitu, tapi. Maksudku, itu cara termudah untuk menggambarkannya.” Ia mengangguk dan menatapku, mencari titik airmata yang normalnya bakal diteteskan oleh mata perempuan jika disodorkan status “simpanan”. Tapi ia gagal menemukannya. Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya, menariknya lagi, dan tiba-tiba terngiang perkataan ibuku, “Jangan mau diremehkan sebagai perempuan.” Ucapan itu berkali-kali berputar dalam alam pikiranku.

“Tak masalah,” sahutku tiba-tiba. Pria superkaya itu seperti terkejut, matanya agak membelalak kegirangan menatapku. Tapi sorot matanya juga penuh tanda tanya. Aku mengulang ujaranku, “Tak masalah, asal…” kataku cerdik, “seperti yang kau bilang, kau bisa memberikan apapun yang aku pinta.” Dan ia tersenyum, seolah sudah biasa mendengar syarat seperti itu. Aku tak minta dibuatkan candi seperti Loro Djonggrang. Aku tak minta dikawini seperti jutaan perempuan lain. Aku tak minta dikenalkan ke kedua orangtuanya demi sebuah pengakuan bahwa hubungan ini serius. Aku hanya minta yang layak kudapatkan. Ah, lebih tepatnya, yang bisa kudapatkan dengan potensi ini: kemakmuran dan kesempurnaan. Siapa yang perlu tahu caranya? Tak seorangpun.

***

“Kita sudah sampai, Mbak,” suara bapak sopir itu mengagetkanku. Aku melihat lingkungan yang familiar. Ah, sudah sampai apartemen. Kuberi lembaran uang kepada si bapak dan beranjak turun. Sebelum turun, aku bilang kepada beliau, “Tadi bapak tanya kenapa saya tidak lanjut jadi artis, ya, Pak?” tanyaku yang disambut oleh gerakan kikuk si bapak. “Karena ternyata potensi saya telah menghasilkan lebih dari seorang artis, Pak,” jawabku seraya turun dari taksi. Langkahku ringan menuju lobi. Benar kata ibu, kita tidak boleh memperkenankan siapapun meremehkan seorang perempuan. Dari luar, aku adalah perempuan sempurna. Cuma itu yang mereka boleh dan bisa tahu.

***

Makassar, Jakarta

26 Juli, 5 September 2013

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar