Menghapus Bayang-Bayang
Cerita Pendek
Cabang tol mulai terlihat dan pengemudi taksi biru inipun melambatkan laju kendaraannya seraya berbelok menuju jalan tol dalam kota. Sepertinya ia kini merasa sedikit santai dan langsung membuka percakapan, “Mbak, saya rasa-rasanya pernah melihat wajah situ,” katanya lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, “tapi di mana, ya?” Dari jok penumpang di belakang, aku bisa melihat kedua bola matanya menatapku lewat spion tengah. Aku tersenyum simpul lalu membalas, “Di mana, Pak?” tanyaku sopan. Pria yang berusia kira-kira 30 akhir mendekati 40 itu mengernyitkan dahinya lalu berkata, “Saya juga lupa, Mbak.” Beberapa detik kemudian, ia berseru, “Di televisi, Mbak! Ya…ya… Benar di televisi! Mbak ini artis ya? Atau model?” cecarnya. Entah bagaimana aku harus meresponsnya. Aku sendiri juga bingung tiap ada yang bertanya apakah aku ini model atau artis? Memang, pernah aku ikuti satu ajang kecantikan di negeri ini, serta beberapa kali menjadi model untuk proyek kenalan-kenalan. Ajang kecantikan itu juga memberikan aku kesempatan untuk muncul di televisi dan bertemu para pelaku industri hiburan di Indonesia. Tapi sampai situ saja. Setelah kuingat-ingat, fase itu berlangsung lima tahun yang lalu.
Image source: here |
Menapakkan kaki
di Jakarta ternyata menciptakan dilema bagiku. Di satu sisi, jengah dan sesak
oleh pertarungan di jalan raya yang membunuh waktu dan merampas momen berharga
yang bisa terjadi. Namun di sisi lain, kota ini menggantungkan harapan yang
selalu bikin orang berlomba-lomba untuk menggapainya. Harapan itu berujung pada
nama kelayakan dan bertengger di tepi-tepi deretan gedung yang tak henti
mencakar langit. Kian tinggi dan kian padat.
Aku sudah
menetap di ibukota selama delapan tahun, terhitung semenjak kuliah. Sepanjang satu
dasawarsa itu pula aku rutin mengunjungi kota asalku, biasanya dua kali dalam
setahun. Dalam kurun waktu itu pula, setiap kembali ke ibukota dan
menyaksikan pemandangan di pinggir jalan, aku masih berpikiran sama: wajah kota
ini tak akan pernah luntur selain menjadi makin mewah. Seiring dengan gaya
hidup yang menuntutnya, seiring dengan tuntutan hidup yang mendesak di
dalamnya, dan seiring dengan keinginanku untuk terus menaklukkan segala yang
ada di atas tanahnya, dengan cara apapun.
Begitulah caraku
untuk menepis dilema yang kerap menghampiri tiap hari. Aku harus menaklukkan
apapun yang ada di sini, karena aku kini adalah satu berlian yang berhasil
tumbuh subur di salah satu lapak tanahnya. Toh, setiap orang yang memutuskan
mengadu nasib di sini hanya terdiri dari dua pilihan kategori: mereka yang memang
terpaksa mendamparkan diri dan menerima apa yang ada di Jakarta, atau mereka
yang bekerja keras untuk menjadi pantas diakui sebagai bagian di dalamnya. Aku?
Tentu saja yang kedua! Usiaku belum sampai 30, namun bisa dibilang aku sudah bisa melihat
jalan mulus di depanku. Parasku cantik bagai wanita Korea yang kini tengah
digila-gilai sejuta umat, tubuhku molek bagai boneka Barbie, latar belakang pendidikan lulusan manajemen di
salah satu universitas swasta bergengsi ibukota, dan berotak cerdas. Jika aku tidak
cerdas, tak mungkin kini aku bisa menjadi asisten manajer di salah satu
perusahaan retail ternama yang
membawa segambreng merek fesyen top dari luar negeri.
Cabang tol mulai terlihat dan pengemudi taksi biru inipun melambatkan laju kendaraannya seraya berbelok menuju jalan tol dalam kota. Sepertinya ia kini merasa sedikit santai dan langsung membuka percakapan, “Mbak, saya rasa-rasanya pernah melihat wajah situ,” katanya lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, “tapi di mana, ya?” Dari jok penumpang di belakang, aku bisa melihat kedua bola matanya menatapku lewat spion tengah. Aku tersenyum simpul lalu membalas, “Di mana, Pak?” tanyaku sopan. Pria yang berusia kira-kira 30 akhir mendekati 40 itu mengernyitkan dahinya lalu berkata, “Saya juga lupa, Mbak.” Beberapa detik kemudian, ia berseru, “Di televisi, Mbak! Ya…ya… Benar di televisi! Mbak ini artis ya? Atau model?” cecarnya. Entah bagaimana aku harus meresponsnya. Aku sendiri juga bingung tiap ada yang bertanya apakah aku ini model atau artis? Memang, pernah aku ikuti satu ajang kecantikan di negeri ini, serta beberapa kali menjadi model untuk proyek kenalan-kenalan. Ajang kecantikan itu juga memberikan aku kesempatan untuk muncul di televisi dan bertemu para pelaku industri hiburan di Indonesia. Tapi sampai situ saja. Setelah kuingat-ingat, fase itu berlangsung lima tahun yang lalu.
Bapak sopir itu
tampaknya masih menanti respons dariku. Tersenyum geli, aku angkat suara,
“Memang pernah, Pak, saya masuk televisi,” sembari kupandangi jalan tol yang
ramai lancar lalu melanjutkan, “tapi rasanya hanya sekali itu saja saya nampang
di televisi.” Ia senyum sambil manggut-manggut. Pria berkulit cokelat itu
terlihat puas karena mendapati dugaannya tak meleset. “Lalu, kenapa tidak
dilanjutkan saja, Mbak?” tanyanya lagi. “Dilanjutkan apanya, Pak?” balasku.
“Yaa… Jadi artis. Kan, enak, banyak uang, terkenal, bisa pergi ke luar negeri
kapanpun,” lanjut si bapak dengan polosnya. Lagi-lagi aku terkikik geli dalam
hati.
Kenapa tidak aku lanjutkan saja karier di
dunia hiburan? Batinku
bertanya mengulang pertanyaan bapak itu. Aku jadi teringat masa remajaku di
kota asal, sebuah kota kecil di pulau seberang. Kota yang begitu damai dan
penuh dengan keriaan serta orang-orang yang bisa dibilang modern namun rendah
hati. Jauh sekali dari karakter masyarakat ibukota yang haus pengakuan di
segala aspek kehidupannya. Aku tumbuh dengan penuh kebahagiaan sekaligus
ambisi. Sebagai anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya perempuan, rasa
kompetitif tercipta begitu tinggi dalam diriku. Bukan terhadap ketiga
saudariku, melainkan terhadap perempuan lain di luar keluarga. Aku begitu
menyayangi seluruh keluargaku, terutama ibu yang sudah berhasil membesarkan
empat anak perempuannya dengan penuh kesabaran dan keteguhan. Ibu pula yang
dari dulu mencekoki nilai “Jangan mau diremehkan sebagai perempuan” ke dalam
sistem nilai pribadiku.
Jangan tanya
soal figur ayah, aku tak punya. Beliau telah meninggal saat aku masih
menginjak bangku TK, dan ibu tak pernah menjalin hubungan spesial dengan pria
manapun sejak itu. Bisa dibilang keluarga kami yang sepenuhnya dihuni oleh kaum
hawa ini hidup dalam kecukupan. Kami tak kekurangan, tapi juga sama sekali tak
berlebih. Sementara, pergaulanku saat beranjak dewasa menunjukkan betapa banyak
orang berlebih di sekitarku. Secara harta, aku memang tak dikaruniai keluarga
yang berlimpah. Tapi Tuhan memang adil, karena ia menganugerahi paras yang istimewa
bagiku dan ketiga saudariku juga. Walau, bisa kubilang bahwa aku adalah yang
paling menonjol di antara mereka. Ini jelas terlihat dari deretan kawan-kawan
sekolah dan sepermainan yang mengantre ingin dekat denganku. Harus aku syukuri,
bukan?
Fisik yang bisa
dibilang di atas rata-rata ketimbang siswi-siswi lain di sekolahku itu
(ditambah lagi dengan pengakuan dari penghuni sekolah-sekolah lain yang banyak
menanyai siapa namaku tiap aku menghadiri acara antarsekolah)
bikin aku sadar bahwa potensi ini tak boleh disia-siakan. Terlebih, di kota kecil
ini tentu tak banyak sainganku untuk bisa menjadi figur remaja perempuan yang
menonjol. Jalur modeling adalah jawabannya! Ya, saat baru lulus SMP, aku
memutuskan mengikuti agensi model ternama di kota itu dan mulai mengikuti
kontes-kontes kecantikan yang digelar bagi para remaja di sana. Gayung
bersambut, dan makin tenarlah aku di sana sebagai model lokal. Pergaulanku di
bangku SMA pun makin luas. Walaupun aku tak masuk ke SMA unggulan di kota itu,
namun statusku sebagai model cukup mengantarkan aku ke ajang sosial yang luas
di sana. Beberapa kisah percintaan remaja dan cinta monyet mulai terjalin,
malahan kisah-kisah tersebut terjalin bersama remaja laki-laki dari berbagai
sekolah ternama setempat. Tak cuma itu, mereka juga rata-rata bernaung di
sebuah kelompok sosial yang bergengsi, misalnya: anak-anak klub mobil,
anak-anak klub biliar, atau anak-anak klub tongkrongan lainnya.
Pada masa itu, aku
sadar sepenuhnya soal betapa pentingnya penampilan dan paras seorang perempuan. Namun, di satu sisi aku juga sadar kalau pengakuan sosial terhadap diri perempuan
tidak akan sepenuhnya positif jika hanya berangkat dari penilaian fisik. Perempuan
cantik, tok, akan mendapatkan apa? Tidak ada apa-apa lagi. Penilaian berhenti
di situ. Itulah yang membuatku gigih berjuang agar bisa lanjut kuliah di
ibukota. Kakakku tidak melakukan itu. Ia melanjutkan studi tingginya di kampung
halaman kami. Baiklah, keluarga kami juga kurang menanamkan nilai edukasi yang
saklek. Ibu beranggapan bahwa sudah cukup anak-anak perempuannya cantik dan
suatu saat akan ada pangeran tampan nan kaya yang menjemput kami untuk
dinikahi. Pernikahan tipe beginilah yang tampaknya menjadi cerminan dari slogan
“Jangan mau diremehkan sebagai perempuan” yang selama ini selalu ia tanamkan.
Aku baru sadar.
Tapi, kehausanku
akan kemapanan dan status sosial tinggi sekaligus membuatku tak ingin disepelekan di
segala sisi. Fisik, sosial, ekonomi, dan edukasi. Aku ingin perempuan lain
menatap iri padaku sepenuhnya. Ya, SEPENUHNYA! Berkat tabunganku sebagai model
bertahun-tahun di kota kecil itu dan pinjaman ke sanak saudara, akhirnya aku
berhasil masuk ke perguruan tinggi swasta yang terbilang unggulan di Jakarta.
Studi manajemen aku tempuh dengan harapan bahwa kelak, orang-orang yang tadinya
berpikir kami ini hanya sekeluarga perempuan yang menunggu peruntungan dari
saudagar kaya, akan menelan ludah mereka sendiri. Aku, anak ibuku, anggota
keluarga yang dianggap sebelah mata oleh segelintir orang namun dijadikan idola
berkat paras kami yang ayu semua, masih mementingkan pendidikan, jebolan
Jakarta pula!
Selanjutnya,
perkuliahan aku jalani sebagaimana mahasiswa pada umumnya. Namun, tekadku untuk
mengejar karier sebagai model atau artis masih menari-nari dengan heboh di
pikiranku. Agensiku dari kota asal memberikan beberapa rekomendasi rekan mereka
yang ada di Jakarta, maka jalurku mengejar karier di dunia hiburan pun terbuka.
Sedikit demi sedikit audisi aku ikuti, namun gagal. Pemotretan sana-sini aku
raup walau skalanya kecil. Semua yang bisa menghasilkan uang dengan potensi
fisikku ini tak ragu kusambut. Hingga satu waktu, ia datang…
“Anggun, bukan?”
sapanya penuh wibawa. Sebuah malam yang lengang sehabis aku mengikuti peragaan
busana dari salah satu merek batik di sebuah kafe baru di Jakarta, kala itu.
Sontak aku menoleh, mengamati pria itu dari atas sampai bawah. Usianya kisaran
35 tahun, penampilannya necis, semua pakaian dan aksesoris yang ia kenakan
terlihat licin dan mahal. Wajahnya tak buruk, dan yang penting, perutnya tidak
buncit. “Ya, betul. Bapak?” balasku singkat, acuh tak acuh. Ia tergelak lalu
meneguk alkohol dari gelasnya lalu meletakkannya lagi di atas bar. “Jangan
panggil bapak, tua…” protesnya. Aku tertunduk sembari tersenyum manis. Pria ini
mengulurkan tangannya, mengajak salaman. “Yudha, dan panggil saya dengan nama
saja,” ucapnya saat aku menyambut uluran tangannya itu. Lagi, aku hanya bisa
mengangguk malu.
Karisma pria ini lumayan kencang. Ya pastilah, bodoh! Maki diriku sendiri dalam hati. Ia terlihat dari keluarga kaya dan ternama.
Ah, pantas saja daritadi para sosialita perempuan tak henti antre untuk sekadar
cipika-cipiki atau mendapat balasan lambaian tangannya dari kejauhan. Aku
sibuk berasumsi sendiri. Sedangkan, ia masih terus menatapku dengan mata
berbinar. “Tinggal di mana?” tanyanya, masih belum beranjak dari sebelahku,
malah duduk manis di atas kursi depan bar. Aroma wangi semerbak tubuhnya
hinggap ke penciumanku. Hugo Boss, rasanya. “Di kos-kosan, dekat kampus, di
Benhil,” jawabku ramah. Ia memiringkan kepala sedikit, “Ah, masih kuliah tapi
sudah mencari uang sendiri,” ujarnya lalu menatapku. Tatapan Anda, sialan! Aku revisi batinku tadi: dia tidak “lumayan”,
tapi sangat karismatik! Hati dan pikiranku bergemuruh sendiri. Malam itu
berlanjut dengan perbincangan panjang dan berujung pada ia mengantarkan aku
pulang dengan selamat hingga sampai kosan. Tak lebih.
Tak lebih hingga
pada minggu keempat kami sering bertemu (berkencan tepatnya), ia mengukir malam
yang sungguh monumental bagi hidupku. Sebuah malam di satu hotel bintang lima
yang kami habiskan bersama. Ia mengajakku bermalam di sana dengan alasan ingin
merayakan sesuatu. Entah apa. Kencanku selama empat minggu dengannya memang tak pernah
biasa. Aku masih tidak tahu siapa pria ini dan bagaimana latar belakangnya. Hal yang aku pedulikan hanya ketulusan serta kesenangan yang ia bawa ke dalam hidupku saat itu. Tak banyak pertanyaan pula aku
lontarkan, soal kencan kami yang jarang ke tempat publik, soal jadwal bertemu
yang sulit diduga, soal segalanya tentang kami berdua. Aku hanya tahu dan
mensyukuri kebahagiaan jiwa yang ia bawa ke dalam diriku, ditambah lagi (tentunya) dengan
kebahagiaan material yang ia suguhkan. Mengingat pekerjaanku juga sedang sepi
tawaran casting, pemotretan atau
peragaan, tentu ini sangat membantu daya hidup mahasiswi kelas menengah di kota
ibu tiri ini.
“Kamu bersedia
tidak jadi orang spesial bagiku?” tanyanya sesaat setelah kami bercinta, saat kami tengah menikmati pemandangan gedung di area Senayan dari balik jendela yang tak
terhalang tirai di sepanjang sisinya. Aku mengangkat badanku menghadap pria itu,
selimut masih menutupi tubuhku. “Maksudmu…? Memangnya selama ini aku tidak
spesial?” aku bertanya. Ia terkekeh lalu mengelus keningku. “Kamu cantik,
cantik sekali…” ujarnya, tidak nyambung. Aku mengernyitkan alis, “Baru tahu?”
sambarku sewot. Ia tertawa, tergelak, dan aku suka tawa itu. Aku suka suara
gelakan itu. Tapi aku masih penasaran dengan maksud pertanyaan yang menyerupai
tawarannya barusan. “Jadi, apa maksud pertanyaan kamu tadi?” ujarku. Yudha
terdiam, mengusap kepalanya yang berambut superpendek. Lalu menoleh menatapku,
lekat-lekat. “Aku bisa memberikanmu apapun, apapun yang kamu butuhkan. Sebut
saja,” ujarnya membuatku makin tak tahu arah pembicaraan. “Aku menyayangimu,
aku memujamu, aku ingin selalu ada bersamamu untuk lari dari kebosanan hidupku
yang sesungguhnya. Tapi hanya seperti ini, tak lebih,” jelasnya belum jelas.
Aku diam, menanti kelanjutan penjelasannya. Ia menghela napas, berat, tapi
angkuh. Tiba-tiba air mukanya berubah ekstrem; menjadi begitu arogan dan berberat harga diri. “Aku tak bisa
menjadi kekasihmu di mata dunia,” katanya lalu membakar rokok. Aku seketika
terdiam, masih mencoba mencerna maksudnya. Apakah
ia? Eh… Jangan-jangan…? “Aku sudah berkeluarga,” ujarnya. “Beristri dari
hasil perjodohan keluarga atas nama kesuksesan bisnis turunan. Rumah tanggaku juga telah dikaruniai satu putra,” terangnya. Aku terkejut, namun herannya aku tak merasa
dikhianati. Santai saja, malah senang karena ia jujur.
“Jadi maksudmu,
kamu ingin aku menjadi simpananmu?” tanyaku gamblang. Ia terdiam sesaat lalu
berujar, “Sedikit kasar, ya, terdengarnya,” yang langsung kusambar, “Nyatanya
begitu, tapi. Maksudku, itu cara termudah untuk menggambarkannya.” Ia mengangguk
dan menatapku, mencari titik airmata yang normalnya bakal diteteskan oleh mata
perempuan jika disodorkan status “simpanan”. Tapi ia gagal menemukannya. Aku
menarik napas dalam, lalu mengembuskannya, menariknya lagi, dan tiba-tiba
terngiang perkataan ibuku, “Jangan mau diremehkan sebagai perempuan.” Ucapan itu berkali-kali berputar dalam alam pikiranku.
“Tak masalah,”
sahutku tiba-tiba. Pria superkaya itu seperti terkejut, matanya agak membelalak
kegirangan menatapku. Tapi sorot matanya juga penuh tanda tanya. Aku mengulang
ujaranku, “Tak masalah, asal…” kataku cerdik,
“seperti yang kau bilang, kau bisa memberikan apapun yang aku pinta.” Dan ia
tersenyum, seolah sudah biasa mendengar syarat seperti itu. Aku tak minta
dibuatkan candi seperti Loro Djonggrang. Aku tak minta dikawini seperti jutaan perempuan lain. Aku tak minta dikenalkan ke kedua orangtuanya demi sebuah pengakuan
bahwa hubungan ini serius. Aku hanya minta yang layak kudapatkan. Ah, lebih tepatnya, yang bisa
kudapatkan dengan potensi ini: kemakmuran dan kesempurnaan. Siapa yang
perlu tahu caranya? Tak seorangpun.
***
“Kita sudah sampai, Mbak,” suara bapak sopir itu
mengagetkanku. Aku melihat lingkungan yang familiar. Ah, sudah sampai apartemen. Kuberi lembaran uang kepada si bapak
dan beranjak turun. Sebelum turun, aku bilang kepada beliau, “Tadi bapak tanya
kenapa saya tidak lanjut jadi artis, ya, Pak?” tanyaku yang disambut oleh
gerakan kikuk si bapak. “Karena ternyata potensi saya telah menghasilkan lebih
dari seorang artis, Pak,” jawabku seraya turun dari taksi. Langkahku
ringan menuju lobi. Benar kata ibu, kita tidak boleh memperkenankan siapapun
meremehkan seorang perempuan. Dari luar, aku adalah perempuan sempurna. Cuma
itu yang mereka boleh dan bisa tahu.
***
Makassar, Jakarta
26 Juli, 5 September 2013
Comments
Post a Comment