[Ulasan Tempat] Klinik Kopi, Secangkir Terapi
Berawal dari keinginan kakak saya untuk membeli biji kopi khas Jawa, kami berdua lalu mencari tahu soal tempat yang menjual biji kopi di Yogyakarta. Dari beberapa pilihan informasi yang kami peroleh melalui internet dan rekomendasi teman saya, Kartika Pratiwi, maka Klinik Kopi langsung menjadi destinasi utama kami. Hal ini tak lain karena tempat tersebut memiliki informasi terlengkap seputar biji kopi di antara pilihan tempat lain yang kami dapatkan. Selain itu, jujur saja, judul "klinik" berhasil memancing rasa ingin tahu kami lebih dalam soal konsep tempat ini.
Melalui informasi yang tertera di laman resminya (www.sindorogreenbean.com dan www.klinikkopi.wordpress.com), kakak sayapun langsung mengontak pihak Klinik Kopi. Keesokan harinya, Mas Pepeng, sang empunya dan pencetus Klinik Kopi langsung menelepon kakak saya untuk bikin janji. Ia menjelaskan konsep jasa yang tersedia di Klinik Kopi secara singkat dan menganjurkan kami untuk datang ke sana pada pukul 17.00. Sebenarnya, tempat itu sendiri dibuka untuk umum mulai pukul 19.00, namun karena tiap tamu harus antre untuk mendapatkan layanan dari Mas Pepeng yang akan menyajikan kopi langsung kepada tamu (yang ia sebut "pasien"), bisa-bisa kami baru dilayani pukul 22.00 jika tiba di sana setelah maghrib.
Pada hari yang sudah disepakati, kami baru tiba di lokasi sekitar pukul 17.20 dan langsung disambut oleh Mas Pepeng yang menyilakan kami untuk duduk dan menunggu. Benar-benar seperti sedang berobat atau konsultasi ke klinik kesehatan; kami harus bersabar menunggu giliran konsultasi tiba. Sebelumnya, saat baru tiba di tempat ini, saya dan kakak langsung terpukau oleh lingkungan sekitar Klinik Kopi. Tempat ini berada di kawasan Gejayan dan sebenarnya menempati bangunan milik Universitas Sanata Dharma yang berfungsi sebagai Pusat Studi Lingkungan. Pantas saja, karena desain bangunan dirancang dengan gaya eco architecture, serta dikelilingi oleh barisan pohon jati yang membuat suasana di sana begitu nyaman, sejuk, dan sunyi. Satu hal yang perlu Anda ketahui, bahwa tempat ini bukanlah sebuah coffee shop, melainkan tempat konsultasi bagi siapa saja yang ingin tahu tentang kopi lokal dan mencicipi rasanya. Jadi jangan harap akan ada pelayan yang menyilakan Anda duduk lalu memberikan menu.
Tampak depan bangunan |
Sore itu belum banyak pasien yang ada di sana. Hanya ada satu kelompok pasien yang terlihat sedang konsultasi dengan Mas Pepeng. Bangunan klinik ini menyerupai rumah panggung; lantai dasar berupa ruang kosong yang disemen dan dipenuhi tiang penyangga untuk bangunan utamanya. Di sini juga disediakan beberapa kursi dan hanya di area inilah para tamu diperkenankan untuk merokok. Lantai atas, yang merupakan ruang jasa konsultasi kopi, dibangun menggunakan material kayu dan berdinding pintu kaca dengan kusen kayu. Tidak ada kursi dan meja seperti layaknya kedai kopi, hanya ada satu meja panjang yang dipenuhi oleh toples-toples berisi biji kopi dari seluruh nusantara, serta seperangkat alat pembuat kopi. Di depan meja tersebut terdapat sekitar lima kursi yang tak lain merupakan tempat duduk bagi para pasien ketika berkonsultasi dengan Mas Pepeng. Dari balik meja itulah pria yang menyebut dirinya sebagai coffee storyteller ini akan mendongeng seputar kopi, lalu menyuguhkan secangkir untuk pasiennya.
Saya dan kakak akhirnya mendapat giliran konsultasi sekitar pukul enam. Perbincangan ringan seputar jenis biji-biji kopi yang terpampang di depan kami pun langsung mengisi sesi konsultasi. Beberapa toples kaca itu berisi biji-biji kopi temanggung, java ciwidey, kalossi, bajawa, gayo, mandailing, toraja, bali, dan masih banyak lagi. Tak lama, pria yang menekuni seluk-beluk kopi sejak 2010 itu langsung menawarkan kami kopi. Ia menanyakan kepada saya dan kakak soal frekuensi kami minum kopi dan pilihan rasa yang biasa kami minum. Kakak saya yang biasa minum kopi 2x sehari dengan jenis americano pun langsung disuguhkan java ciwidey coffee. Sedangkan saya yang dalam sehari bisa mencapai 3x minum kopi tubruk jenis bali coffee hingga kapal api, disuguhkan secangkir kopi kalossi. Rasa dari dua kopi ini sungguh jauh berbeda. Java ciwidey bagi saya dan kakak tidak memiliki aroma seperti kopi kebanyakan, cenderung beraroma rempah dan elemen alam (sulit mendeskripsikannya) seperti tanah. Rasanya pun bagi saya tidak seperti kopi, tapi lebih menyerupai ramuan yang mengandung sedikit susu. Sedangkan kopi kalossi yang saya dapatkan rasanya asam dengan after taste yang pahit. Pekat.
Melalui Klinik Kopi, memang nampak kalau Mas Pepeng memiliki tujuan utama untuk mengedukasi para pasiennya dalam menikmati secangkir kopi, secara informal tentunya. Ia juga menerapkan beberapa aturan yang terkait dengan hal ini, seperti: kopi yang disuguhkan tidak menggunakan pemanis, dilarang merokok di area lantai satu tempat konsultasi berlangsung, tidak ada fasilitas wi-fi di area tersebut (positifnya: para pasien menikmati kopi sembari berbincang), dan setiap pasien ia layani secara personal. Inilah yang membuat pengalaman ngopi di sini beda. Para pasien mendapatkan sesi privat, sehingga jelas bahwa keberadaan Klinik Kopi tidak berbasis komersial seperti coffee shop. Selain itu, para calon pembeli biji kopi juga harus membawa wadah sendiri yang terbuat dari kaca. Jumlah yang bisa dibeli pun dibatasi sebanyak 100gr saja. Mengapa? Karena memang kehadiran Klinik Kopi di sini bukan untuk memenuhi kebutuhan industri, melainkan membagi pengetahuan dalam menikmati kopi kepada para pasien. Lagipula, semua biji kopi yang tersedia di sini adalah biji kopi yang dibeli langsung oleh Mas Pepeng dari para petani kopi, maka jelas jumlahnya terbatas. Malam itu kakak saya sukses membawa 100gr biji kopi kalossi yang terkurung sempurna dalam toples kaca kecil seharga Rp25.000 saja! Jika ada yang ingin membeli kopi dalam skala besar, Mas Pepeng tak akan segan memberikan kontak orang yang menjualnya.
Setelah kami berdua mendapatkan cangkir kopi masing-masing, Mas Pepeng langsung menyilakan saya dan kakak untuk duduk lesehan di ruangan. Sesi konsultasi kami telah usai dan harus gantian dengan pasien selanjutnya. Sebelum pulang, saya dan kakak membayar kopi dengan memasukkan sejumlah uang ke tabung stainless steel yang diletakkan di atas meja praktik Mas Pepeng. Di sini tidak ada menu yang mencantumkan harga kopi, jadi lebih baik tanya langsung kepada beliau soal harga kopi yang sudah disuguhkan. Tip kami: jangan segan memberi jumlah lebih! Bayangkan, selain mendapatkan pengetahuan baru soal ragam biji kopi yang ada di Indonesia, kami berdua juga senang karena telah memperoleh pengalaman unik dalam menikmati secangkir kopi berkat suasana sederhana yang ramah lingkungan dan sejuk di antara pepohonan jati. Untuk sebuah terapi yang edukatif sekaligus rekreatif, kami merasa jumlah yang dibayar sungguh tak seberapa. Hitung-hitung sebagai wujud apresiasi kami kepada usaha individu dalam menyebarkan pengetahuan seputar kopi lokal.
Lantai atas: tempat konsultasi berlangsung |
Bagian balkon lantai atas |
***
Sumber foto: Dok. Pribadi
Klinik Kopi
Gedung Pusat Studi Lingkungan Kampus Universitas Sanata Dharma,
Jl. Gejayan, Condong Catur, DIY
Koordinat: -7° 45' 34.00", +110° 23' 47.00"
Petunjuk:
Dari arah Utara (lampu merah Condong Catur-Ring Road-Jl. Affandi (Gejayan)), berkendaralah menuju Selatan. Tak jauh dari lampu merah di sisi Jalan Affandi, Anda akan menemui toko buku Togamas di sisi kiri jalan. Setelah melewati Togamas, di sebelah kiri terdapat tukang tambal ban, di situ terdapat gang. Belok kiri dan susuri jalan sekitar 200 meter, Klinik Kopi terdapat di pojok kiri dengan pagar tembok tinggi.
Situs:
www.klinikkopi.wordpress.com
FB: Klinik Kopi
Twitter: @klinikkopi
DIY, 7 November 2013
Kania Laksita Raras
Yup, klinik kopi memang berbeda dengan suguhan kopi yang lain
ReplyDeleteIya, unik. Hehe. Makasih udah mampir Mas Ully... :D
Delete