Dialog Tua yang Tak Usang
Dimuat di Femina, Edisi F35/September/2013
Aku
menatap sofa merah tua di sudut ruangan putih ini. Aku masih ingat betapa ia
menyayangi sofa itu, dan betapa ia bisa tenang sambil terpejam melemaskan seluruh
badannya di atas bantalan lembut itu. Bahkan, aku masih bisa menggambar dengan
jelas geraian rambut cokelat tuanya yang ia lampirkan dengan lemah lembut di
bagian kepala sofa itu. Setiap pulang sekolah, atau setiap aku baru pulang dari
kegiatan ekstrakulikuler, aku sering melihat ia berdiam diri di sana dan wajahnya
terlihat tenteram. Jika ia sudah merasa cukup, ia akan bangkit dari sofa lalu
menyapa dan memeluk tubuhku yang bau matahari. Namun, bau matahari yang panas
itu mampu diredam oleh kehangatan tubuhnya. Aku sering menduduki sofa itu kala
merindukannya, tiap ia pergi ke luar kota untuk urusan kerjaan, misalnya. Harum
tubuh dan wangi parfumnya sudah melekat tak mau lepas dari permukaan beludru
sofa merah tua yang sudah lekat dengan aroma tubuhnya, dan tak akan pernah bisa
dihilangkan.
Teringat setiap langkah yang aku lalui bersamanya, juga setiap
waktu yang ia selalu sediakan untukku. Walaupun terkadang jauh, tapi aku bisa
merasa ia selalu bersamaku walau hanya mendengar suaranya lewat telepon atau
pesan-pesan singkat di layanan messenger.
Jika aku sedang resah karena segala masalah yang menimpa, ia selalu bisa
menenangkanku dengan berbagai caranya berkomunikasi. Ia mampu membuatku diam
merasa bersalah karena telah membentaknya dan menganggapnya egois, hanya dengan
mengucapkan tiap kata yang aku yakin tak pernah diucap orang lain padaku, atau
pada kepunyaan mereka. Ia bukan orang yang otoriter, aku pun mengenal dan
memahami makna demokrasi bukan dari sistem negara ini melainkan lewat didikan
yang ia terapkan padaku. Ia tidak pernah ragu untuk mendengar dan sungguh merupakan
pantangan baginya untuk menilaiku berdasarkan predikat yang aku miliki. Ia
telah menerapkan segala nilai yang aku makin syukuri telah peroleh ketika
usiaku beranjak dewasa.
*
Siang ini, aku kembali mengenang sosoknya. Aku minum teh
dari cangkir kesayangannya, aku merelaksasi segala kepenatan dengan melakukan
apa yang dulu ia lakukan di sofa merah tua itu, dan aku menghitung segala
langkah yang dulu biasa kupijakkan dari kamarku menuju kamarnya kala aku
ketakutan di tengah malam. Kutekan berulang-ulang tuts piano yang sudah ia
kenalkan padaku sejak aku masih belum bisa membaca aksara apapun di dunia ini.
Aku memaksanya hadir di hariku, tentu saja karena aku belum bisa mengganti
sosok ia dengan siapapun untuk membuatku tenang. Hari ini, terpaksa aku harus
sanggup menghirup udara yang masih menyelimuti rumah ini. Rumah yang telah
menjadi saksi mati aku tumbuh menjadi manusia seperti sekarang. Memang,
beberapa tahun telah ia lewati untuk menjadi saksi mati pertumbuhanku menjadi
manusia, karena aku harus rela untuk keluar dari sini dan berpisah dengannya
demi belajar tentang dunia dan hidupku secara nyata.
Langkahku terhenti di satu sisi dinding. Permukaan datar
itu berisi gambar-gambar aku dan dia, penuh dengan senyum, bahkan tak sedikit
yang berisi pose tolol kami berdua. Masing-masing gambar menunjukkan perubahan
wajahku dari masa ke masa. Saat aku masih balita, saat aku menjadi anak-anak,
remaja, hingga yang terakhir memampang wajahku tiga tahun yang lalu. Tentu saja
dalam tiga tahun banyak yang telah berubah dari penampilanku, tapi foto itu
paling mendekati gambaran sosok aku yang sekarang. Otomatis, segala perkataan
yang pernah ia ujar kepadaku sepanjang masa itu kembali terngiang di kepalaku.
*
“Ingatlah, sayang. Aku memiliki tugas, yaitu melihatmu
sebagai anugerah yang harus kubesarkan dan kudidik,” katanya saat aku hendak
pergi dari rumah ini, “namun itu bukanlah hasil akhir, itu semua hanya bekal
yang mau tidak mau akan kau bawa seumur hidup,” ia menambahkan. Usiaku 18 tahun
waktu itu dan hendak melanglang buana demi memeroleh pendidikan, yang juga, telah
mendapat restu darinya.
“Selama ini anak telah terdogma untuk mematuhi peraturan
orangtua mereka,” ujarnya saat aku usai beradu pendapat dengannya di satu
waktu, “namun, orangtua lupa bahwa akan ada masanya saat anak-anak mereka tidak
bisa lagi sepaham dengan mereka. Orangtua seringkali lupa bahwa anak, jika
saatnya tiba, berhak untuk hidup dengan pikiran mereka sendiri.” Usiaku masih
belia dan tengah merayap dari remaja menuju dewasa muda.
“Kamu, anakku, bukanlah beban,” katanya tegas lalu
menambahkan, “kamu, anakku, tidak memiliki utang apapun terhadap orangtuamu,
karena kamu, anakku, tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia ini. Kami,
orangtuamu, yang telah berkehendak untuk memilikimu atas hubungan suami istri
yang kami lakukan.” Ujarannya itu muncul ketika aku sedang pulang ke rumah di
masa kuliah semester akhir dan sedang bingung menentukan tujuan kerja selepas
aku menjadi seorang sarjana. Waktu itu aku sedang meminta pertimbangannya tentang
apa yang sebaiknya aku lakukan. Alasan utama aku melakukan itu adalah karena takut
apa yang aku kehendaki tidak akan sesuai dengan kehendaknya.
“Nilai bukanlah yang tercantum di angka pada raportmu,
Sayang,” tegasnya dengan lembut ketika aku menangis akibat gagal meraih
peringkat satu di kelas. Ia menghela napas lalu melanjutkan petuahnya, “kau
boleh bangga ketika memeroleh angka tertinggi di kelas, tapi nanti, kelak, kau
akan sadar bahwa kualitasmu tidak melulu bergantung pada angka. Ingatlah,
sayang, proses belajar bukan berarti hanya membaca buku pelajaran ketika kau
akan menghadapi ujian esok hari. Kualitasmu sebagai seorang manusia tidak bisa
dihargai dengan angka atau nilai yang memiliki batas 10 atau 100, atau A, atau
berapapun tingginya. Semua manusia, tidak sepantasnya dinilai semutlak itu.”
Bangku kelas 2 SMP sedang kududuki kala itu. Ia tidak pernah marah seperti
orangtua teman-temanku yang lainnya ketika anaknya mengalami kegagalan akademis
di sekolah. Kadang aku malah heran dibuatnya.
“Dengar, tidak ada gunanya jika kamu ingin menjadi juara kelas karena
takut Ibu memarahimu ketika gagal. Karena ketika kamu gagal, Ibu akan selalu
ada untuk memotivasimu,” katanya lagi sambil mengecup lembut keningku yang
basah oleh peluh sehabis menangis hingga lelah.
Aku masih ingat benar fase yang pernah kulalui sebagai
anak SMA yang merasa tahu segalanya. Momen itu adalah tahapan paling labil yang
bisa seorang manusia lalui, dan aku pun merasa paling tahu tentang diriku pada
waktu itu. Perdebatan dengan dia pun tak terelakkan lagi. “Bagaimanapun kamu di
luar sana, semua orang akan menilaimu,” ucapnya sambil membuatkan secangkir teh
untukku di suatu sore. “Tanpa kau sadari, semua penilaian selalu melibatkan
rumah asalmu, karena rumah, karena keluarga, adalah yang paling menentukan
derajat intelektualmu ke hadapan rimba kehidupan, anakku,” tambahnya menutupi
deras hujan yang memagari rumah kami. Pernah juga aku kelepasan membentaknya
hanya karena alasan sepele: ia bertanya mengapa aku tampak uring-uringan dan
aku yang baru putus dari cinta monyetku pun kesal oleh pertanyaannya yang
kuanggap sebagai sinyal “terlalu ingin tahu” itu. Dengan sorot mata tajam, ia
langsung berujar tegas, “Selama ini, dunia telah membuat pola dan ikon
bagaimana orangtua yang ideal. Penilaian itu lalu akan membuat anak menjadi
subjek yang selalu disalahkan jika terjadi perselisihan dengan orangtua mereka,”
katanya. “Tapi, percayalah, Nak, orangtua adalah manusia yang seharusnya
menjadi sahabat anak mereka. Kami bukan presiden yang berada dalam tataran
hierarki paling tinggi hingga semua yang di bawah mereka harus menurut tanpa
kompromi. Orangtua seharusnya menjadi sahabat yang paling bisa kau percaya,
karena kami hanya manusia yang harus mencoba mengerti,” lanjutnya lalu jalan
berbalik meninggalkanku yang terdiam di pojokan ruang keluarga.
Lima tahun silam, aku memutuskan untuk menikah.
Malam-malam panjang mewarnai hari-hariku bersamanya. Sesi obrolan saling
bertukar pikiran pun tak terelakkan dan aku masih ingat benar petuahnya
kepadaku. “Ketika kamu menjadi orangtua kelak, ingatlah, jangan pernah berpikir
bahwa anak lebih pintar dari orangtua membuatmu memaklumi kekurangan
intelektualmu di depan anak-anak,” katanya seraya membetulkan poniku lalu
menambahkan, “tidak ada alasan manusia untuk berhenti belajar, termasuk belajar
memahami anak-anakmu. Dengan kebijaksanaan dan kepintaranmu, ibu yakin kau akan
jadi orangtua yang sangat disayangi anak-anakmu. Karena nilai, adalah yang bisa
kau bagi dengan mereka. Nilaimu, sebagai orangtua mereka.”
Ketika rambut putih mulai memenuhi kepalanya yang selama
ini diselimuti batang-batang rambut hitam lebat, ia tak pernah henti
membekaliku dengan kata-kata bijaknya. “Jangan pernah kau hakimi anakmu dan
jangan pernah kau sakiti mereka hanya karena kekesalanmu terhadap hidup yang
semakin lama semakin membenani,” tuturnya sembari mengelus-elus perutku yang
makin membesar. “Anak bukan matras yang bisa kau jadikan pelampiasan emosimu,
Sayang,” ujar sosok yang makin tua itu sembari duduk rapat di sebelahku. Kala
itu aku sedang mengandung buah cintaku dengan suami, empat bulan usia janinku.
Hari berganti dan ia terus menua, namun ia tak pernah
absen di hari-hari pentingku. Sedih rasanya melihat sosok tempat aku selama ini
berlindung makin renta dan senja. “Anakku, ketika suatu waktu anakmu kecewa terhadapmu,
jangan kau usir mereka,” kata perempuan cantik itu kepadaku lalu melanjutkan,
“karena bisa jadi kau memang telah membuat mereka kecewa dan sakit hati.
Cegahlah itu, sayang. Ingatlah, kita bisa kecewa terhadap orang lain dan
memutuskan hidup tanpa mereka. Tapi, ketika kita kecewa terhadap orangtua kita
sendiri, oh, anakku, tidak ada yang lebih menyakitkan untuk merasakan itu.
Dengarlah Ibu, sayang, jangan pernah kau buat anakmu kecewa, bagaimanapun
caranya kau mencegah dan mengatasi itu.” Celotehnya bijak sambil menimang bayi
perempuanku yang mungil tepat sehabis aku melahirkan.
*
Oh, Ibu, sungguh aku merindukan sosokmu. Saat ini aku
sedang merasakan betapa beratnya kehidupan yang memaksaku untuk terus bergelut
dan terus mengenyahkan perkara yang semakin memelihara angkara. Sosokmu, satu
dan tunggal sebagai Ibu, telah berhasil membuatku merasa lebih dari cukup
dibandingkan mereka yang memiliki sepasang orangtua, Ibu dan Ayah. Dirimu, Ibu,
yang mampu membuatku tak pernah menyesal walau tak pernah tahu siapa ayahku,
dan tak pernah menganggap kita hidup dalam kekurangan. Aku membutuhkan nasehat
dan ujaran lain darimu yang bisa menenangkan aku saat ini.
Kuseka air mata yang membasahi blazer hitamku. Bagian
penopang lengan sofa merah tua ini tak henti aku elus sambil berusaha
mencari-cari wangi tubuhmu yang mungkin masih tersisa di seluruh lipatan dan
sela-sela sofa kesayanganmu ini. Aku mengesahkan isakan pedihku karena
kehilanganmu begitu cepat. Kehilanganmu dengan sangat di saat aku masih
membutuhkanmu, di saat aku tahu bahwa memang semua perkataanmu benar, bahwa
hanya kau yang bisa aku percaya. Aku membutuhkanmu, Ibu, walau aku telah
menjadi ibu, yang semakin takut jika nantinya aku melupakan segala nilai darimu
yang hari ini masih bisa kuingat. Segala perkataan indah dan nilai bijaksana
yang selama ini selalu kau dongengkan di telinga dan merasuki sukmaku berlarian
bolak-balik di laci memoriku yang terdalam mengenai sosokmu.
Berselang beberapa menit, aku akhirnya memutuskan untuk pergi.
Tak sanggup lagi aku melayangkan pandang ke seluruh rumah ini, rumahmu, rumah
kita, saksi matiku yang harus rela ikut mati sejalan dengan kepergianmu yang
telah ditutup oleh tanah basah pagi tadi. Segala ingatanku tentang sosok ibu
dan masa kecil yang terlukis di sisi-sisi dinding rumah ini bisa membuatku
makin terjepit oleh pusara kedukaan yang meraung makin lepas kendali. Tak lama
kudapati diriku sudah berdiri di balik pintu utama rumah ini dan pedih yang
mendalam masih menjalari dadaku hingga sesak. Kini akhirnya aku menyadari bahwa
aku hanyalah sesosok manusia yang diijinkan menjalani giliranmu dahulu, sebagai
seorang ibu. Namun, aku tetaplah manusia yang tak luput dari segala kesalahan.
Aku adalah seorang Ibu, yang tak luput dari segala kesalahan.
***
Sarijadi, Bandung,
12 Maret 2010
kaaaannnn,,, gw sediihhh bacanya. jadi inget nyokap gw, karena jarak gw makin kangen sama nyokap. Brilliant kan!!! aku tunggu buku mu yaa...LOVE IT!! You really deserved it!!
ReplyDeleteEhh udh baca dianya :D
DeleteAmin Pet... Aminnnnn... Huhuhuhu...
Thanks for reading ya :*
Sukaaaa.. terharu bacanya kan :')
ReplyDeleteReviiii... Tenkyu uda baca :D hehehehehee
Delete