Generasi Transisi

Kemarin, saya pergi ke Solo bersama kedua orang tua saya. Kami berangkat dari Yogya sekitar pukul 11.00 dan saya, seperti biasa, berlaku sebagai sopir. Ketika sudah memasuki Kabupaten Boyolali, saya melihat satu rumah warga yang berdiri di pinggir jalan dan terapit sawah di sekelilingnya, tidak ada rumah lain. Ayah lalu berkomentar soal alasan rumah-rumah di pinggir jalan itu miring, alias tidak menyiku 90 derajat dari jalanan (wajarnya, wajah rumah tampak rata jika kita lihat dari depan jalan), hingga ayah bernostalgia soal lahan sawah yang makin terkikis.

"Bayangin, suatu hari nanti sawah-sawah di sini akan lenyap oleh bangunan," katanya.
"Ayah dulu masih merasakan kehidupan desa, tanpa listrik. Masih ingat betul bagaimana alam itu (dalam benak ayah)," katanya lagi. "Kasihan, ya, generasi kamu tidak mengenal alam," ujar ayah yang langsung saya potong, "Aku masih, dong, Yah. Generasi setelah aku baru bisa jadi tidak mengenal alam lagi," koreksi saya. Saya bercerita soal pengalaman-pengalaman kehidupan; saat-saat di mana saya masih bisa mencicipi alam yang polos, sebelum ia disulap menjadi kawasan urban. Tak usah repot-repot, saya jelaskan contoh kondisi kota Balikpapan ketika saya masih kecil dengan kota itu di masa sekarang. Setelah itu saya berujar, "Generasiku, kan, generasi transisi," yang langsung disetujui oleh beliau. "Iya, memang. Kamu ini generasi transisi," ujarnya.

Pembicaraan sepele dengan ayah di atas membuat saya merenung sendiri. Benar bahwa saya, atau generasi saya, merupakan generasi yang berada di zaman peralihan. Hal ini sudah pernah dan sering saya perbincangkan dengan teman-teman semasa kuliah dulu. Contohnya ada banyak, seperti: kami mengalami transisi kurikulum pendidikan era Orde Baru dan Reformasi, kami masih mengalami era analog (kamera dan segala gadget) dan tahu betul lahirnya gadget-gadget canggih serta segala bentuk digitalisasi dari apa yang tadinya membutuhkan usaha manual. Intinya, kami hidup di era peralihan yang memberikan kami pengetahuan lebih soal bentuk kehidupan "konvensional" (atau canggih pada masanya) sekaligus era teknologi kini. Masih banyak contoh lain yang tidak melulu mencakup teknologi, tapi seperti hiburan dan gaya hidup, yang kini berubah justru karena pengaruh teknologi.

Jujur saja, saya merasa beruntung terlahir dan termasuk dalam generasi transisi. Saya membayangkan seperti apa rasanya menjadi generasi yang lahir, atau paling tidak, tumbuh di era jauh ke depan. Saya masih ingat betul akan kehidupan sebelum era digital seperti sekarang, yang bagi saya adalah era "manusiawi". Ya, saya bisa bilang begitu karena di era sebelum ini, semua yang kita lakukan dan indrai adalah hasil langsung dari daya manusia. Berbeda dengan sekarang, yaitu ketika semua daya cipta kita diambil alih oleh peranti eksternal yang makin mengecil berupa sebuah smartphone. 

Ini juga turut mempengaruhi pemaknaan kita soal alam. Kembali pada pembicaraan saya dan ayah tadi, bahwa alam bebas kini makin menyempit dan makin dimaknai sebagai pajangan atau aksesoris dari gaya hidup. Pemandangan sawah atau laut adalah hal yang mewah, padahal dulu tidak. Bepergian atau berlibur adalah tren, padahal dulu adalah sebuah kebutuhan. Saya tidak bilang bahwa liburan kini seratus persen menjadi tren atau dilakukan bukan atas dasar kebutuhan lagi. Tapi fenomena yang terjadi kini memang mengonstruksi ide traveling sebagai sebuah gejala massa yang mewah dan tak jarang menjadi tolak ukur dari gaya hidup seseorang. Berbicara kaitannya dengan konteks anak generasi mendatang, yang tumbuh dan bersosialisasi di tengah pemaknaan seperti itu, rasanya agak menakutkan jika anak muda nanti memaknai alam tidak secara natural, melainkan secara eksternal; bagaimana orang lain sudah melihat alam itu.

Jika memang begitu adanya, lalu bagaimana mereka bisa peduli? Soalnya begini, bagi saya kepedulian adalah hal yang tumbuh secara alami dan terbentuk lewat pengalaman manusia dalam "merasa", bukan karena diberitahu orang lain. Ketika seorang anak lahir tanpa pernah melihat pohon, lalu ketika besar tiba-tiba ia mendapatkan pengetahuan bahwa ada makhluk hidup bernama pohon, bagaimana ia bisa peduli jika seumur hidupnya ia tak pernah tahu dan memiliki pengalaman soal pohon itu? Rasa-rasanya sulit.

Akhirnya, saya malah menyadari bahwa memang saya sendiri harus peduli. Dan pemikiran ini lalu mengerucut pada satu kosakata: melestarikan. Saya rasa tak muluk, tapi saya harus lebih peduli untuk melestarikan pengetahuan yang ada kini untuk disampaikan dan ditransfer kepada anak cucu nantinya, sebagai generasi transisi yang masih punya kemewahan untuk merasakan masa ini. Pengetahuan yang saya bicarakan tak melulu soal alam, tapi apapun yang ada dan turut berkontribusi membentuk saya hingga menjadi pribadi seperti ini. Cakupannya luas, bahkan cenderung holistik: saya sebagai individu yang lahir dan besar di lingkungan dulu, kini, juga ke depannya. Bisa bicara soal alam, budaya, sejarah, sosial, lingkungan, atau apapun. Karena saya percaya bahwa alam semesta selalu eksis di tiap jiwa yang hidup.
Ngerinya, "peduli" kini merupakan hal yang langka. Tapi, tak ada salahnya juga untuk merenungkan kalimat populer ini: You've never known what you've got til it's gone. Bagaimana jika suatu hari nanti semua yang pernah kita alami punah dan tidak sempat diketahui oleh anak dan cucu kita?***


01 November 2013,
Griya Kania Kaliurang, DIY

Comments

  1. Suka banget sama tulisan-tulisanmu nia... Hmmm... Tugas berat buat generasi transisi untuk mendidik anak-anaknya akibat teknologi yang semakin canggih. Semoga anak cucu masih dapat menikmati alam yg sesungguhnya ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. mama mika, terimakasyong udh mampir :D
      Iyaaa... tugas kitalah yang mendidik generasi berikutnya yah!

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra