Kemelut Keraton

Prihatin.
Kata ini sungguh tepat untuk menggambarkan pandangan saya terhadap apa yang terjadi di tubuh Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Konflik internal keraton sudah menjadi konsumsi publik dalam hitungan tahun, dan malah makin runcing belakangan ini. Saya pikir rekonsiliasi yang sudah terjadi antara "raja kembar" beberapa waktu silam merupakan penyelesaian dari pertarungan kuasa di dalamnya. Tapi nyatanya tidak.

Runyam. 
Tidak bisa dipungkiri kalau eksistensi Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak bisa disejajarkan dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang masih berlaku sebagai pemerintah DIY. Namun, satu hal yang tidak bisa dihindari oleh keraton pewaris takhta Mataram ini adalah: perannya sebagai pusat pengetahuan dan keberlangsungan budaya Jawa. Sebagai cagar budaya, warisan kebudayaan, dan satu wujud pengetahuan yang harus dilestarikan. Ini yang menjadi keprihatinan nomor satu saya.

Lupakan peran politik keraton yang sudah lama tidak berlaku sejak berdirinya NKRI (kecuali Keraton Yogyakarta). Lupakan keraton sebatas bangunan fisik. Tapi tolong, jangan lupakan hasil kebudayaan yang turun-temurun tercipta dan dilakukan di dalamnya. Pengetahuan inilah yang tak tergantikan dan bagi saya memiliki nilai yang luar biasa berharga soal kehidupan.

Jujur saja, saya tidak peduli jika suatu hari nanti bangunan fisik keraton tidak eksis lagi, atau tidak ada lagi raja beserta keluarga bangsawan yang bisa dijadikan panutan. Tapi yang paling menyesakkan bagi saya adalah ketika untuk seterusnya, saya harus belajar soal tatanan kehidupan dan pengetahuan tentang (serta hasil karya) nenek moyang saya sendiri dari bangsa lain. Contoh: Serat Centhini karya PB V yang kini lebih diketahui masyarakat luas berkat hasil jerih payah Elizabeth Inandiak dari Prancis (yang menurut keterangan ayah saya lebih dikenal dengan panggilan Mbak Lies oleh warga dalam benteng, dulu), atau Nancy K. Florida, seorang peneliti dari Amerika yang menghabiskan puluhan tahun hidupnya untuk meneliti dan menulis buku-buku berisi tatanan kehidupan dan nilai pengetahuan dari Kraton Kasunanan Surakarta. 

Untuk apa orang-orang dari negara maju alias modern alias kiblat gaya hidup negara berkembang (a.k.a kita) itu rela menghabiskan hidupnya dengan menekuni hal-hal yang sebenarnya tidak ada manfaat & hubungan langsung dalam kehidupan mereka? Asumsi saya, karena mereka sadar betul akan nilai pengetahuan yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Sedangkan kita (kebanyakan) tidak mau tahu. Malah, sosok-sosok yang didambakan menjadi panutan untuk membagi pengetahuan itu kini sedang compang-camping akibat kekuasaan. 

Padahal, pepatah klasik pun populer berbunyi, "Knowledge is power." 
Ironis.  ***




Surakarta, 
4 November 2013
Saat kirab keraton (bau-baunya) batal.





Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar