Perlahan

"All we need is just a little patience" -Guns N' Roses

Perlahan-lahan, saya rasa begitulah segala sesuatu harus dimulai.
Seperti anak kecil yang baru lahir, ia butuh waktu untuk mampu duduk, tengkurap, merayap, merangkak, hingga tertatih-tatih melangkah. Lalu saya muncul dengan bantahan, "Itu, kan, anak kecil yang memang belum tahu apa-apa di dunia ini! Beda dengan saya!" kira-kira begitu.
Tapi ternyata, ada yang harus saya tiru dari proses belajar si makhluk mungil ini. Adalah kesabaran dan kepasrahan seorang bayi yang baru lahir dengan segala keterbatasannya untuk menyambut level baru sebagai manusia; manusia utuh yang mampu menggunakan seluruh organnya untuk bergerak dan berpikir.

Di usia saya yang sudah genap seperempat abad ini, ada satu hal yang saya sadari telah terkikis: kemampuan untuk bersabar. Jika ditelaah dengan mendalam, penyebab dari gejala ini tidak bisa ditarik secara mutlak ke dalam satu simpulan sebab. Saya bisa bilang kemajuan teknologi yang menjadikan segala sesuatu berlangsung dan terpenuhi secara instan, atau iklim persaingan di usia produktif yang makin menjadi-jadi alias gengsi, atau juga pembuktian diri yang jatuhnya sama dengan gengsi (pride) untuk menunjukkan bahwa kita (per individu) telah berhasil mencapai jalan hidup yang berbeda namun sama-sama sukses, seperti apa yang dipaparkan oleh hukum alam, bahwa kesuksesan adalah sebuah tujuan.

Perjalanan hidup selama sekian puluh tahun tentu saja membuat kita sebagai individu tidak bisa dibandingkan dengan seorang bayi yang baru lahir di dunia. Namun, bagi saya, terlepas dari tingkat pengalaman mengarungi kehidupan, kesabaran adalah satu kata benda yang merujuk pada hal yang sama. Apa yang membuat kedua kondisi di atas berbeda adalah tingkatan kebutuhan manusia yang melakukannya. Bagi seorang bayi, kebutuhannya bisa dibilang tidak berlapis-lapis seperti yang dimiliki oleh orang dewasa (baca: saya). Asumsi prematur saya menghasilkan analogi berikut: anak bayi tidak memiliki desakan-desakan seperti orang dewasa, seperti desakan mendapatkan pemasukan demi bertahan hidup, desakan pengakuan sosial atas pencapaian diri, atau desakan berupa sekadar lepas dari pertanyaan "kapan menikah?", "kapan punya anak?", "kapan, kapan, kapan?", dan lainnya. Desakan seorang bayi (lagi-lagi asumsi prematur saya) bisa jadi berupa seputar ingin bergerak seperti apa yang ia saksikan kedua orangtuanya lakukan (berjalan, berbincang, dsb.). Lagi-lagi, saya menganggap beragam desakan yang dimiliki oleh seseorang sejalan dengan kedewasaannya turut mempengaruhi kapabilitas orang itu untuk bersabar. Terutama di zaman serba "instan dan ada" ini. Tak bisa dipungkiri, kondisi kemajuan zaman ini punya andil untuk membuat manusia terlena dalam pola pikir bahwa segala sesuatu bisa didapatkan secara mudah. Selain itu, ukuran "lama", "cukup", dan "singkat", alias takaran waktu dalam melalui sebuah proses juga kini bergeser. Contoh sederhana yang dekat dengan lingkungan saya adalah, ketika dulu seorang wartawan bisa dibilang "berpengalaman" atau "senior" jika sudah menjalani profesi tersebut di atas 5 atau 10 tahun, kini seorang reporter atau penulis bisa diangkat menjadi editor hanya dalam jangka waktu dua tahun, atau malah kurang. Masih banyak contoh lain di sekitar yang bisa kita ambil, dan saya mulai merasa ngeri dengan segala keinstanan yang malah membuat saya mudah lupa tentang banyak hal mendasar dalam kehidupan.

Seperti yang sudah saya akui di atas, bahwa secara pribadi, saya mengalami kesulitan untuk benar-benar bisa bersabar. Tidak usah jauh-jauh terhadap apapun yang ada di sekeliling, tapi begitu pula saya terhadap diri sendiri.  Entah apakah hal ini dialami oleh orang lain di sekitar saya atau tidak, yang jelas saya jadi lupa dengan semboyan klasik "alon-alon waton kelakon" yang bermakna sebaiknya mengerjakan sesuatu dengan perlahan; disertai dengan pemahaman penuh soal pekerjaan tersebut demi mencapai tujuan yang dimaksud. Jika memang kita memiliki keyakinan untuk mengerjakan sesuatu dengan alasan tertentu, maka perlahan bukanlah hal yang salah. Lebih jauh lagi, bagi saya pribadi, perlahan menawarkan banyak hal yang (mungkin) belum kita sadari atau raih selama ini. Perlahan memberikan waktu untuk terus belajar, perlahan menyadarkan kita untuk terus belajar, perlahan memberikan kita kesempatan untuk menemukan potensi diri secara jujur, perlahan juga menciptakan ruang bagi kita untuk merenung dan mengulik kekurangan yang telah kita lakukan.

Kira-kira, inilah yang ingin saya tempuh untuk sekarang. Perlahan, saya ingin menulis dengan "nyawa", setelah sekian tahun saya terus mengeluh bahwa tulisan saya sudah tumpul, tidak berkarakter, tidak bernyawa, tidak menggigit, tidak bermakna, melainkan hanya sebuah tulisan dari sebuah mesin bernama Kania LR. Seperti anak bayi yang baru menguasai cara menangis saat dilahirkan, saya tidak bisa ngoyo bakal sanggup berlari bulan depan.***


Jakarta, 30 September 2013

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar