Rindu Konvensional

Generasi cyber, mungkin ada tepatnya kita dikategorikan ini. Era kehidupan sekarang secara cepat menyeret manusia untuk hidup dengan otak dan hati eksternal, seperti smartphone, gadget mutakhir, atau Google. Hal-hal yang dilahirkan oleh teknologi di masa sekarang memang sudah seperti “organ tubuh” tambahan bagi manusia yang membuat kita sulit membayangkan hidup tanpa semua produk teknologi (termasuk curahan virtual seperti ini yang dulu hanya mengendap di buku harian :p). 

Tapi saya merasa beruntung karena masih sempat mengalami kehidupan yang “apa adanya”. Misalnya, saat dulu hidup saya dan sekitar masih belum difasilitasi oleh smartphone atau peranti penghibur lainnya, jika saya mengingat pekerjaan “menunggu” rasanya sungguh membosankan karena tidak ada peranti yang bisa mengisi waktu luang itu dengan kemewahan games atau media sosial. Saya juga masih ingat zaman saat pengetahuan terasa mahal karena belum ada search engine yang bisa memberikan jawaban dalam hitungan detik. Atau, bisa jadi, kamu masih ingat sebuah kehidupan yang membuat dunia ini begitu berjarak akibat perbedaan kota, pulau, dan benua. Dulu, ketika beberapa teman kecil saya harus pindah ke kota dan negara lain akibat orangtua yang berpindah dinas, saya hanya bisa mengetahui kehidupan mereka di sana lewat surat dan foto-foto yang dikirim via pos dan baru bisa saya nikmati beberapa hari setelahnya. Begitulah rasanya rindu, seingat saya. Rindu yang membuat saya sadar bahwa ada kuasa di luar jangkauan saya.

Sekarang? Batas benua bahkan bisa kita lampaui hanya dengan jentikan jari dan dalam hitungan detik. Berkat segala bentuk media sosial yang makin beragam dan penuh fungsi, kita kini mampu mengetahui seluruh fenomena sosial yang terjadi di belahan bumi manapun. Efek teknologi memang luar biasa untuk kehidupan. Ia (seolah) bisa mengatasi dan menjawab seluruh persoalan hidup sosial kita kini. Rindu yang tadinya muncul akibat ketiadaan seseorang atau sesuatu, kini dengan mudah terobati oleh kehadiran manusia duplikat di segala media sosial yang kita “tempati”.

Ujung dari kemajuan teknologi ini tidak bisa saya prediksi sampai kapan, dan apa saja hal-hal yang bakal dimungkinkan olehnya. Tapi satu yang saya rasakan kini, betapa saya rindu untuk merasakan rindu seperti dulu. Ini sesuatu yang sudah jarang saya rasakan (entah kalian). Contohnya: saya rindu menerima surat yang ditulis khusus oleh seseorang berisi kisah hidupnya di belahan dunia lain. Surat yang sifatnya sungguh personal, lengkap dengan goresan tulisan tangannya; sesuatu yang identik dan membuat saya merasakan salah satu bagian dirinya hadir saat itu. Surat penuh cerita yang khusus ia rangkai untuk saya, cerita yang ia tahu bisa mengobati rasa rindu saya terhadap ketiadaan dirinya di dekat saya. Media tersebut memang tidak membuat saya bisa menyaksikan kehadirannya per detik, sedangkan teknologi memungkinkan hal itu. Tapi ada sosok konvensional dan “asli” dari zaman kuno itu, bukan sosok “maya” yang sebatas hadir lewat foto digital di akun jejaring sosialnya. Di atas itu semua, media “usang” ini juga menghadirkan keintiman yang personal dan sesungguhnya.


Saya ingin merasakan lagi sebuah kerinduan yang kuno.***



Jakarta, 20 September 2013


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra