Penangkal Jenuh


Jika kau bertanya dan aku harus menjawab, aku hanya bisa bilang,
“Entahlah,”
Jika kau bertanya dan aku harus menjelaskan, aku hanya bisa berujar,
“Tak punya alasan,”

Dan sejuta jawaban yang tidak akan pernah memuaskanmu.
Akan terus terulang hingga seterusnya. Maka dari itu, lebih baik aku tidak berujar langsung di depanmu, lebih baik aku menulis ini semua. Karena tidak ada yang tahu, ssst! Kita memang rahasia! Tidak boleh ada yang tahu, karena kita akan dicap salah oleh mereka. Tidak boleh ada yang tahu, karena itu sama saja dengan bunuh diri sosial. Dan tidak boleh ada yang tahu, karena toh, aku juga tak berani menaruh apapun di telapak tanganmu, agar kau jamin ini adalah benar adanya.

Mungkin beberapa hari ke depan kau akan membaca sekuntum surat tanpa bunga dariku ini:

Ada masanya aku mencoba untuk menahan, karena bisa jadi ini hanya gejolak sesaat. Ya, keadaan yang mungkin terlalu membosankan membuatku merasa senang ada dirimu. Di saat aku bersama kamu, semua yang aku miliki di belakang terasa runtuh, karena duniamu dan aku sungguh jauh berbeda. Hanya ada kamu dan aku, ketika aku bersamamu. Tidak ada lagi namanya ranting dari pohon besar yang menghubungkanmu dengan si anuku, anu-dari-anuku, dan anunya-anuku. Semua itu lenyap, baiklah, hanya mengabur dalam irama termasa. Irama yang hanya ada aku dan kamu.

Lalu ini semua berakhir, kembali pada kehidupan nyata bahwa kita hanyalah sesaat dan semua yang terjadi tinggal di tempat. Tidak ada jejak lanjut yang membuat aku dan kamu harus terus menjalin picisan dungu yang menghadirkan kata rindu.

Bodohnya, ternyata aku yang dungu karena mengenyahkan kata rindu itu.
Ada yang bilang, atau aku yang bilang? Bahwa aku tidak bisa berdiri pada dua kayu yang terikat oleh rantai yang lalu akan mengikat kedua kakiku, untuk dilabelkan “MILIKMU”. Sayangnya, pun aku tak ingin. Aku biarkan saja semua terjadi sesuai keinginanku dan tak perlu kupikirkan sebab-akibatnya.

Maka, di saat kita bercengkerama di latar horison oranye itu, aku menikmati tatapanmu, kamu menikmati keberadaanku yang bebas kau miliki. Kita menikmati segala birahi yang detik itu juga bebas untuk dibebaskan. Tidak ada pembatas, tidak ada penghalang. Karena aku dan kamu hanya dibatasi oleh tempat, di mana tidak ada seorang pun yang kita kenal.
Lalu ini semua berakhir, kembali pada kehidupan nyata bahwa kita hanyalah sesaat dan semua yang terjadi tinggal di tempat. Aku memutuskan bahwa ini salah, setidaknya ketika aku berada di tempat semula aku harus berada. Bahwa aku dan kamu tidak bisa menjadi Ada di tempat ini dan tempat itu sekaligus. Toh, aku sudah bilang latar kita terlalu berbeda dan akan begitu sulit untuk menyatukannya. Bukan latar berapa tebal dompetmu, bukan juga latar gedung berbentuk apa yang aku datangi untuk memenuhi kewajiban beribadah, bukan pula latar pakaian adat apa yang semestinya kita kenakan. Kita tidak mengenal itu semua sebagai penghalang.

Tapi latar aku dan kamu, KINI. Aku menemukan diriku begitu lepas ketika bersama kamu, aku tidak perlu mengingat apa pun di dekatmu. Dan aku bebas menjadi siapa saja saat aku bersamamu, karena aku tahu, kamu ternyata jatuh cinta padaku. Begitu hebat, begitu tak tertahankan, dan begitu penuh gairah. Tapi kamu tak tahu sekilas pun tentang aku kini, kamu tak tahu apa yang ada di belakangku. Sayangnya, aku tahu itu semua tentang kamu. Maka dari itu, aku bilang kita berbeda dan tak bisa dipaksakan menyatu. Lagipula, aku tidak ingin! Untuk apa? Aku menikmatimu begini, seperti kau menikmatiku begini pula.
Udara dapat menyampaikan kiriman kartu pos dalam jangka waktu beberapa hari. Tapi memori ternyata mengirimkan sinyal lebih kencang dari apapun. Seperti kau mengirimkan rindu yang selalu padaku, sampai di benakku malam ini. Aku bergetir penuh gejolak mengingatmu.

Aku merindukanmu, di kala segala keresahan ini melanda.
Aku membutuhkan waktu bersamamu, waktu yang melenyapkan segala waktu lain yang aku punya.
Aku membutuhkan kemesraan itu, yang menghapus segala penat di duniaku yang sesungguhnya.
Aku ingin bertemu kamu.
Aku tidak berniat menawarkan keabadian padamu,
Tawaranku kini hanya ini,
“Maukah kamu menjadi pelipur sementara kala aku muak dengan duniaku di sini? Bersediakah kamu menjadi penangkal jenuhku?”

Suatu malam di saat aku merindukanmu,
Rhayla.



Jatinangor, 12 Januari 2010

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra