Aku Adalah Candumu
Aku adalah puntung rokok, aku adalah batang rokok.
Candu akan mereka rasakan karenaku. Nikmat akan mereka hisap, nikmatku.
Satu batang tidak akan pernah cukup, sebanyak helaan napasmu mampu menghisapku hingga aku tinggallah sepuntung sisa.
Hancur diterpa udara, sisa nyalaku berserakan di jalan ketika kau membuangku keluar jendela mobil.
Akhir dari hisapan terakhirmu, sekuat tenagamu hingga akupun habis dan nyalaku berpencar, digilas roda-roda kendaraan, dan tanah aspal bumi adalah tempatku terakhir berpijak, melebur dengannya.
Aku adalah batang rokok, terkemas dalam bungkus berjuta warna dan judul.
Tarif adalah hargaku, gerbang mereka untuk menjadi penguasaku, menghisap batang demi batang. Memuaskan nafsu batiniah mereka untuk merasakan seperti apa rasaku, sibuk menanti untuk mencabik kemasan pembungkusku lalu menghisap kenikmatanku hingga habis.
Penasaran seperti apa kenikmatan yang kutawarkan untuk memenuhi hasrat mereka, yang gemar meracuni setiap napas dengan racun duniawi.
Kala mereka menghirupku, aku dan dia, mengenyam kenikmatan dahsyat bagai semburan asap kala mereka tuntas menarik nyala terterangku.
Aku adalah asap. Menyembur dan terbang tinggi di udara, lalu lenyap seketika.
Kembali lagi, mereka menghisap rokok dan menyemburkan aku ke lapisan abstrak tak tersentuh, lalu menghilang.
Aku adalah candu.
Mereka akan candu padaku, candu menghisapku, terus menagih menghela napas dengan nyala dan semburanku.
Tidak tahu kapan langkah akan terhenti atau kapan bisa lepas dari nikmatnya aku.
Semua orang berkata aku racun, tak kadang aku dikucilkan dan dianggap simbol sosial yang buruk dari tabiat.
Aku dilabeli,
Aku dianggap penyakit.
Namun, aku memang bagaikan rokok. Mereka mencaci sekaligus tidak bisa lepas akan aku. Mereka bicara, mereka cemooh, namun mereka hisap aku sebagai hela napas manusia paling hakiki, hasrat……
Aku penjaja bagi kepuasan hasrat paling manusiawi dan hewani kalian, manusia…
Aku adalah nafsu badani kalian, dan akulah jawaban kalian demi memuaskan nafsu hewani terdalam, seks…
Aku lah, sang penjaja yang tidak akan pernah bisa kau tahan untuk kau cari….
*
Satu sesi malam yang menanti aku menggantung nasib. Satu sesi malam yang akan menjadi wadahku menebar pesona juga kutukan sebagai perempuan. Sungguh, malam seperti ini akan timbul dosa karenaku, sekaligus pembuktian bahwa laki-laki menyambut hingga menciptakan dosa di kehidupannya. Itu semua karena tidak bisa menahan keinginan akan aku.
Malam ini sempurna, langit kelam. Ya, malam sempurna bagiku adalah ketika langit kelam, gelap, tidak disinari oleh sinar misterius dari sang purnama yang menohok alam raya. Manusia akan tetap menatap sang purnama dan mengagungkan serta mengamati ekspresi apa yang tampak. Aku menyukai malam kelam, itu berarti aku tidak akan bersaing dengan sang purnama untuk menguasai malam, aku tidak akan bersaing dengan sang purnama untuk menguasai manusia. Segala misteri yang ingin dikuasai manusia adalah aku, pada malam kelam ini. Segala kepuasan yang ingin diraih manusia adalah aku, pada malam kelam ini. Memang, hanya akulah jawaban bagi mereka, makhluk-makhluk yang sepi akan hasrat, dan meminta untuk mengembalikan hasrat itu ke pangkuan batin melalui selangkangan nista ini.
Aku mematut diri dan merangkai kesempurnaan pada diriku, satu malam lagi akan segera kumulai, tanpa ragu dan menepis segala kecamuk benak yang seolah takut terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi. Ah, mengapa aku harus takut? AKU ADALAH PENGUASA MALAM. Tidak ada seorangpun yang mampu menarik diriku karena aku lah kendali mereka semua.
Sang lelaki yang berdandan necis tampak berdiri menunggu di depan kediamanku. Ia bersandar pada mobil hitam berkilat keluaran terbaru dengan harga yang pasti tidak sembarang orang bisa meraihnya. Perawakannya tegap, kepala berambut cepak, usia sekitar 20 akhir. Ia menatapku datar, sama seperti aku yang tidak menunjukkan gelagat genit pemacu hasrat birahi, seperti yang seharusnya ditunjukkan para penjaja kenikmatan biologis pada umumnya. Aku tidak, karena aku bukan mereka, aku tidak menempatkan diriku sehingga bisa dilabeli budak seks, justru merekalah budakku, dan akulah satu-satunya yang dapat memuaskan mereka.
Perlahan kami meninggalkan kompleks perumahan kumuh di satu sudut kota ini. Lelaki itu, Eros, masih bersikap dingin. Entah aura dingin atau memang ia mencoba jaga wibawa di depanku. Pembicaraan pun harus aku buka demi mencairkan malam yang bisa jadi menjijikkan, jika harus diawali dengan kekakuan dari si bodoh yang mengharap aku hanya sebagai mesin pemuas nafsu seksnya. Judul malam ini memang kencan, tapi aku tidak munafik, aku tahu dia pun tahu apa yang bisa kutawarkan setiap menjalin kencan singkat dengan laki-laki.
“Hari yang berat, tampaknya, eh?” tanyaku.
Ia tersenyum kecil. “Bisa dibilang begitu. Yaah, rutinitas pekerjaan, tidak pernah ada habisnya, tidak pernah ada kepuasan, selalu cekcok dengan atasan atau rekan sekantor…” dan bla bla bla lainnya, ia mencoba memberikan gambaran padaku betapa heboh dan semrawutnya kehidupan seorang eksekutif muda demi mendapatkan uang dengan jumlah nol yang menggiurkan.
Ia menoleh, mengamati perawakanku dalam gelap dan remang suasana mobil. Hanya dibantu oleh bias cahaya di jalan raya ia nekat mencoba menangkap siluetku secara keseluruhan.
“Sara, masih kuliah?”
“Hmmm, ya,”
Ia tersenyum. “Semester berapa sekarang? Orangtua dimana?”
“Semester sudah tidak terdaftar lagi. Harusnya uda nyusun skripsi, orangtua di tempat mereka bernaung,” jawabku sekenanya.
Sebuah fase basa-basi yang menurutku tidak penting karena tidak akan berbekas di benaknya sedikitpun. Aku tidak berniat menggulirkan harapan baginya untuk mendapatkan jawaban yang bisa memancing pembicaraan lebih dalam mengenai diriku karena pasti, ia bukan penguasa atas diriku, aku yang harus memegang kendali untuk membuatnya takluk atas permainan hasrat malam ini.
Lama keheningan mengiringi perjalanan kami. Ia memilih sebuah restoran yang tidak begitu eksklusif, mungkin ia ingin menciptakan sebuah aura santai yang membuatku sedikit nyaman dan tidak begitu formal untuk meraih suasana permainan yang ‘kondusif’ malam ini.
Kami menghabiskan waktu makan malam yang tidak begitu lama, berbasa-basi dan bercanda sekenanya. Tawa merebak di sela pembicaraan kami, namun itu pun tawa palsu yang tidak tulus keluar dari hatiku karena tentu saja, aku sudah bosan dengan intermezo basa-basi seperti ini. Puluhan pria telah mencoba memancingku dan aku juga telah melalui hal serupa berpuluh-puluh kali.
Tibalah kami pada inti pertemuan malam ini, transaksi yang sesungguhnya. Ia membawaku ke apartemen di kawasan dataran tinggi kota ini. Hunian mewah bagi mereka yang pantas mendapat dan hanya sebuah mimpi bagi mereka yang terus mengais harapan untuk memeroleh kehidupan sepantas ini, kehidupan yang bagi kalangan ibukota adalah taraf kewajaran di saat manusia telah mendapat pekerjaan lalu memiliki hunian pribadi yang menandakan kemapanan mereka.
“Make yourself at home,” kata sambutan itu ia ucapkan seraya melempar kunci mobil dan kunci apartemen ke sebuah wadah bundar dari kayu yang menghiasi rak di ruang tamunya. Ia menunjukkan dimana aku bisa mengambil minum dan cemilan, ia lalu membawaku tur keliling petak hunian mewahnya.
Aku menempatkan diri di sofa. Mengamati sekeliling, aku lalu berdiri dan berkeliling tertarik untuk melihat potret diri sekaligus cerminan kehidupan pria ini. Tampaknya ia memang berasal dari keluarga berada, berkecukupan, latar belakang yang cukup membuatnya pantas untuk mencari jodoh di tengah kemapanan usia dan pendapatannya kini. Entah mengapa ia masih ingin mencari kenikmatan semu dan sesaat di luar, ah, ya, aku sudah tahu jawabannya.
Hasrat lelaki yang tidak pernah bisa ditahan dan harus selalu dipuaskan. Segala kuasa dan daya yang ia miliki semakin mengokohkan alasan pemenuhan itu wajib terpenuhi.
Ia keluar dari kamarnya, sudah berganti pakaian, hanya kaos dalam putih dengan celana basket pendek.
Ia menghempaskan badan ke sofa ruang tv. Tidak tahu harus berbicara apa, ia mencoba mencairkan suasana dengan mengajakku berbicara mengenai betapa nyamannya restoran tadi dan betapa menyebalkan kota ini kala akhir minggu tiba karena akan penuh sesak dengan wisatawan luar kota atau luar daerah yang seolah tidak habis mencari kesenangan di sini.
Hingga ia melontarkan sebuah pertanyaan yang paling malas untuk kuhadapi, sekaligus paling mampu membuatku menggebu-gebu untuk bertutur.
“Kenapa lo mau menjalani ini?” ia bertanya kepadaku seraya mengacungkan remote tv, menghidupkan televisi yang berperan sebagai pencair suasana dan keheningan di petak mewah itu.
Aku tertawa kecil, tidak menjawab sesaat. Lalu aku berbalik dan menempatkan pantatku di satu sofa berseberangan dengannya.
“Misteri hidup yang terkadang susah untuk dijawab,” ujarku singkat.
“Kamu tidak tampak kurang, dari segi apapun,”
“Baiklah. Anggap saja sebuah petualangan, petualangan yang hendak aku ciptakan, lalu menyeretku cukup dalam untuk menjawab satu persoalan hidup,”
Ia mengernyit. Meraih sebatang rokok dan menyalakannya, satu hirupan pembuka dan hembusan yang memancing otaknya untuk bertanya lebih lanjut.
“Persoalan hidup macam apa? Ekonomi?”
Aku tergelak. “Hahaha…klise! Semua makhluk tahunya pelacur itu mengalami masalah ekonomi!” tawaku masih belum berhenti.
Ia semakin keheranan, menatapku dengan tatapan tak mengertinya itu.
“Lalu apa? Perempuan tidak mungkin menggadaikan hal tersuci dalam dirinya kalau bukan demi bertahan hidup,”
Aku meredakan tawa geliku. Menatap tajam wajahnya. “Bertahan hidup pasti dapat terselesaikan dengan uang, begitu? Benar!” aku mengangguk-angguk. Lalu mengacungkan telunjukku,
“Tapi tidak semudah itu kau menganalogikan persoalan hidupku,”
Aku bersandar pada punggung sofa. Menatap meja di depan lalu menghela napas.
“Perempuan, memerlukan satu pengakuan dalam kehidupannya. Terlalu banyak budaya dan akar yang menempatkan kami sebagai objek, individu yang diterpa segala pekerjaan sebagai wujud subordinasi laki-laki. Banyak pergerakan yang muncul karena itu, segala pemberontakan dan bentuk pengukungan harga diri dari usikan pihak luar,” aku menatapnya.
Wajah Eros menunjukkan ekspresi bingung dan dari wajahnya pun aku dapat melihat sederet tanda tanya.
“Kau tampak seperti baru pertama melakukan hal ini,” ujarku. Ia hanya tertawa lalu menyalakan satu batang rokok.
“Maksudku, aku jamin selama kau pernah memakai jasa wanita lainnya, kau tidak mungkin bertanya latar belakang mereka menjalani pekerjaan ini sebelum kau menidurinya,” ujarku lalu mengambil sebatang rokok milik Eros. Kubakar batang itu, dan kuhirup filternya hingga kuhembus lagi asap yang bercorak di udara, hilang seketika setelahnya.
Eros menggidikkan bahu, diam ia tidak menjawab, terus menikmati rokok sambil menerawangkan pandangan ke arah yang tidak jelas.
“Jangan terlalu sering bertanya. Rugi kalau nantinya tidak ada yang mau melayanimu,” aku seolah memberikan petuah, sungguh keadaan yang salah. Seharusnya aku bisa menempati diriku sesuai dengan apa yang kukerjakan.
Eros menatapku sesaat, mencoba menyelami keberadaanku di sana.
“Sungguh unik,” ujarnya.
“Apanya yang unik?” aku bertanya.
“Kau belum selesai melanjutkan pernyataanmu mengenai mengapa kau menjalani pekerjaan ini,” ia mengalihkan pembicaraan.
Laki-laki ini seolah ingin melontarkan tes kemampuan daya berpikir kepadaku. Kesal aku dibuatnya, namun aku juga berniat untuk membuatnya menganggap bahwa aku bukan wanita murahan secara moral.
“Singkat saja. Kebutuhan,” aku terdiam sesaat.
“Kebutuhan biologis, sama seperti layaknya laki-laki menggunakan jasa pelacur,” kali ini aku menggunakan kosakata yang begitu gamblang, yang tidak pernah ingin kugunakan untuk menggambarkan profesiku melalui kata-kata.
Ia tertawa sekaligus meringis. Tampaknya ia tidak menyangka pernyataan demikian akan keluar dari mulutku.
Aku menepis tangan ke udara. “Sudahlah, kau tidak akan mendapatkan penjelasan lebih. Dan lebih baik tidak,” kilahku.
“Tidak ada gunanya dan aku juga tidak ingin membuang-buang waktu. Lebih baik cepat selesaikan saja apa yang harus dikerjakan malam ini,” lanjutku sambil mulai merasa jengah dengan segala tindak intimidasinya yang, mungkin, dapat kunikmati jika ia berniat mendekatiku secara personal. Namun, aku sadar, apa yang dapat kubanggakan di hadapan lelaki? Aku memang gila dan tampak mustahil untuk bertemu lelaki yang lebih gila dari diriku.
Tirai itu melambai-lambai perlahan menyongsong hembusan udara dari luar. Kami berdua menghayati ritual yang memberikan kenikmatan biologis kala malam itu. Ya, hanya kenikmatan biologis yang harus kami nikmati, karena aku berperan sebagai kontrol yang dapat memuaskan nafsu birahinya, di atas segala sesuatu yang patut diperhitungkan setiap melakukan aktivitas paling jujur dari kedua manusia yang paling intim.
Hingga aku pun terlelap, menempuh sisa kesadaranku yang lelah dan menemui waktunya untuk menghilang sejenak.
Hembusan angin yang alami tetap aku rasakan, bukan udara dari pendingin ruangan yang layaknya digunakan, dan aku tidak ingin memikirkan hal yang lebih setelah ini semua berganti menjadi hari yang baru.
*
Satu petualangan badaniah telah aku tempuh hingga hari ini. Aku terbangun dan melangkah perlahan meninggalkan ruangan bisu yang menjadi saksi dari profesiku yang sungguh tidak bermoral bagi manusia pada umumnya.
Aku berbenah hingga pantas penampakanku untuk berhadapan dengan orang lain di luaran sana. Tentu saja aku tidak lupa mengambil bayaranku yang telah Eros letakkan di atas meja. Setelah itu, aku beranjak meninggalkan apartemennya.Tidak ada aksi menunduk malu atas apa yang mungkin dibaca orang, karena mereka tidak akan membaca apapun, karena aku tidak menggiring mereka untuk membaca hal yang dapat menjerumuskanku pada rasa mencabik-cabik kepercayaan diriku sendiri. Mereka tidak berurusan apapun dengan hidupku, dan tidak pantas membuatku merasa mereka berhak berurusan dengan diriku.
Sepanjang perjalanan, aku mengingat percakapan singkat yang tidak berkesimpulan apa-apa antara aku dan Eros tadi malam.
Semua laki-laki selalu ingin mencari tahu mengapa perempuan bersedia menjajakan tubuhnya. Baiklah, mungkin tidak semua dari mereka ingin tahu, ada juga yang menjadikan hal itu sebagai bahan untuk basa-basi, percakapan pembuka. Aku merenunginya. Semua laki-laki bertanya dan tak jarang seolah menyerang benteng pertahanan wanita penjaja jasa seks yang bisa membuat perempuan itu semakin tidak nyaman harus menjalankan pekerjaannya. Semua laki-laki seolah bertanya dengan nada miring mengenai latar belakang ini dan itu, sekaligus mereka ingin cepat-cepat berkuasa atas perempuan, rakusnya.
Aku lega, sungguh aku lega telah melalui malam tadi. Aku kembali mampu membuktikan pada laki-laki bahwa aku adalah kehendak mereka, aku bukan pengemis uang mereka demi mendapat sesuap nafkah. Aku tidak pernah mengemis mereka, tapi mereka sangat membutuhkan aku!
Jika saja aku boleh dan memiliki kesempatan untuk mengumpulkan seluruh pelacur di dunia, maka aku sungguh ingin tahu apakah mereka atau setidaknya sebagian kecil dari mereka berpikir seperti aku. Bahwa profesi ini bukanlah keharusan, bahwa profesi ini adalah kebutuhan kami sendiri sebagai perempuan, bahwa profesi ini menandakan kesetaraan perempuan dengan lelaki yang sama-sama memiliki birahi, dan haruslah dipuaskan.
Dan bahwa kami bukanlah pelayan atau budak nafsu dari laki-laki, melainkan kamilah kontrol mereka dalam pemuasan nafsu badaniah itu.
Dan bahwa, tanpa kami, para lelaki itu akan sangat tersiksa atas ketidakmampuan mereka mengontrol Eros, libido mereka sebagai manusia…
“Persoalan hidup bahwa perempuan yang melakukan ini tidak seharusnya dianggap penyakit, namun benar begitu adanya. Bagiku, persoalan hidup ini lah yang akan terus memaksaku dan mengantarkan laki-laki pada jawabanku, bahwa kalian adalah makhluk lemah yang akan terus menebar benih dan tidak bisa menyelesaikan masalah tertentu tanpa perempuan. Kalian lemah, karena saat ini terjadi, perempuan adalah kontrol dari segala yang kalian ingini, dan kami adalah jawaban kalian. Sungguh tidak pantas bagi kami untuk direndahkan di bawah kalian. Mungkin, aku bisa dibilang mengorbankan diri demi membuktikan bahwa kalian akan terus menanamkan dosa ini dalam pikiran kalian, akui saja…” demikian aku menjawab semuanya pada Eros, malam tadi, setelah aku tuntas memberikan suplemen baru bagi hasratnya untuk terus bertahan hidup.
***
Desa Tangkil, Kabupaten Bogor, 13 Juli 2008
Comments
Post a Comment