Dalam Kandang Bata
‘Karena kamu tidak harus jadi kuat.’
Dia berdiri di depanku, memegang cangkir kopi dengan tangan kanannya sambil menunduk menatapku penuh kelembutan di matanya. Aku menengadah, hanya diam. Bukan aku tak ingin berkata-kata, bukan aku tak bisa berkata-kata, bukan aku tak punya kata-kata. Bukan.
Kembali menunduk, jiwa ini semakin tak kuasa. Senyapkan segala prahara yang membayang di layar imajiku, aku terpaku pada kenikmatan sengsara dan terikat pekat yang terpusat hanya pada lampau.
Delapan minggu aku mendekam ruangan ini. Nyaman, kata mereka. Bagian tengah dilapisi karpet berbulu domba yang membuatku bahkan enggan membangunkan badanku yang tertidur pasrah, menyisir helai bulu-bulu itu dengan kedua tanganku. Langit-langit cokelat pucat di atas membiarkanku untuk bermimpi, walau kusut dan tak pernah kembali indah, tapi mimpi memberiku kenikmatan yang tak akan pernah kudapat di alam nyata. Segala perabot di sini benar-benar memanjakanku dengan kehangatan suasana yang hadir karenanya.
Namun sekarang aku sedang tak menganggap mereka memelukku. Aku tak merasa hangat melainkan aman. Hanya aman yang kutemukan di ruangan ini, jauh dari segala memori dan pelatuk yang bisa membuatku mengutuk tanpa henti.
Aku sedang menghukum diriku!
Delapan minggu aku enggan untuk keluar dari pintu itu, berhubungan dengan dunia luar, bahkan untuk sekadar menghirup udara bebas! Aku tak kuasa untuk menghentikan kecamuk yang mencambuk rahasa bahwa aku remuk. Karena, sungguh aku tidak remuk!
Aku adalah tataran kepercayaan bahwa segala yang baik masih menanti, hingga aku pun menganggap ini sah, ketika aku menanti tuaian itu dengan kutukan. Lalu, aku lelah mengutuk dan memutuskan untuk diam di sini, agar aku menghentikan umpatan kepada alam. Ia tak salah apapun. Aku tak berhak untuk bertanya ‘mengapa’ pada alam, karena ia tidak pernah berkehendak untuk menyapu segala unsur bahagia dari partikel-partikel darahku.
Haruskah kamu masih berdiri di situ dengan wajahmu yang menawarkan kekuatan padaku? Tak kuucap, hanya kubatinkan saja sendiri. Kamu kini duduk bersila di depanku, cangkir kopi itu kau letakkan rapi di meja bundar, kau ganti dengan sebatang rokok yang masih kering. Belum kau bakar, belum kau hisap. Kamu masih menatapku, dan aku masih menatapmu.
Kamu masih menyinarkan sorot tanpa tanda baca dari matamu, dan aku masih meminta sinyal lugas atas komunikasi abstrakmu itu.
Kamu masih berharap mampu memapahku, dan aku masih takut untuk mengguyurmu dengan kesempatan yang aku sendiri tak tahu kapan pantasnya.
‘Karena kamu tidak harus jadi kuat,’ katamu. Lagi, aku tetap tak bisa berkata-kata, aku larikan pandanganku ke seluruh sisi yang kosong. Ingin kupuaskan patahan simpul asa ini dengan raungan dalam ruangan. Jika batinku boleh meraung, maka ruang asaku akan sedikit lega. Tapi, aku belum membuktikan apakah mujarab. Aku tidak tahu apa-apa, aku bahkan tidak lagi mengerti mengapa kamu selalu berkata aku tidak harus jadi kuat.
Apa maksudmu?
Kembali diam, karena aku merasa aman. Tetap duduk di sini, karena aku merasa aman. Tak kurasa senang untuk membuka pintu itu, karena begini sudah aman. Tak kupandang sorot matamu yang penuh tulus, karena akan jadi aman. Kutahan raungan ini dalam ruangan hati, agar aman tanpa pancaran yang akan membiaskan bentukku di depanmu. Kukatupkan kedua bibirku agar tak keluar kutuk busuk, agar hatiku aman.
….
Hingga ada waktunya kamu menyerah. Delapan minggu turut serta duduk menemaniku di atas karpet nyaman dan ruangan tanpa memori ini membuatmu tak pernah surut. Kau memang menyerah, tapi bukan karena kau kalah. Kamu terlalu membuatku aman hingga kau turuti apa saja kemauanku dan membuatku tak khawatir lagi karena ada kamu, dan selalu ada kamu. Kali ini bukan karena kamu lelah, tapi kembali menuruti apa mauku.
Yang tak pernah kembali dan akan selalu menatar diriku sendiri untuk mendefinisikan kata ‘bahagia’ dengan sejujurnya.
‘Karena kamu tidak selamanya harus menjadi kuat,’ kata-kata terakhirmu lalu beranjak menuju pintu. Meninggalkan sekotak rokok dan cangkir kopi yang akan membuat ruangan ini meraung akan memorimu. Berharap dalam derap langkah ke sekianmu, aku menjadi leburan besi yang ternyata rapuh.
Tapi tidak.
‘Karena aku tidak harus selalu menjadi kuat di depanmu,’ ujarku setelah kau menutup pintu itu perlahan. Menghela nafas dan gelap ini membuatku aman.
Dia berdiri di depanku, memegang cangkir kopi dengan tangan kanannya sambil menunduk menatapku penuh kelembutan di matanya. Aku menengadah, hanya diam. Bukan aku tak ingin berkata-kata, bukan aku tak bisa berkata-kata, bukan aku tak punya kata-kata. Bukan.
Kembali menunduk, jiwa ini semakin tak kuasa. Senyapkan segala prahara yang membayang di layar imajiku, aku terpaku pada kenikmatan sengsara dan terikat pekat yang terpusat hanya pada lampau.
Delapan minggu aku mendekam ruangan ini. Nyaman, kata mereka. Bagian tengah dilapisi karpet berbulu domba yang membuatku bahkan enggan membangunkan badanku yang tertidur pasrah, menyisir helai bulu-bulu itu dengan kedua tanganku. Langit-langit cokelat pucat di atas membiarkanku untuk bermimpi, walau kusut dan tak pernah kembali indah, tapi mimpi memberiku kenikmatan yang tak akan pernah kudapat di alam nyata. Segala perabot di sini benar-benar memanjakanku dengan kehangatan suasana yang hadir karenanya.
Namun sekarang aku sedang tak menganggap mereka memelukku. Aku tak merasa hangat melainkan aman. Hanya aman yang kutemukan di ruangan ini, jauh dari segala memori dan pelatuk yang bisa membuatku mengutuk tanpa henti.
Aku sedang menghukum diriku!
Delapan minggu aku enggan untuk keluar dari pintu itu, berhubungan dengan dunia luar, bahkan untuk sekadar menghirup udara bebas! Aku tak kuasa untuk menghentikan kecamuk yang mencambuk rahasa bahwa aku remuk. Karena, sungguh aku tidak remuk!
Aku adalah tataran kepercayaan bahwa segala yang baik masih menanti, hingga aku pun menganggap ini sah, ketika aku menanti tuaian itu dengan kutukan. Lalu, aku lelah mengutuk dan memutuskan untuk diam di sini, agar aku menghentikan umpatan kepada alam. Ia tak salah apapun. Aku tak berhak untuk bertanya ‘mengapa’ pada alam, karena ia tidak pernah berkehendak untuk menyapu segala unsur bahagia dari partikel-partikel darahku.
**
Haruskah kamu masih berdiri di situ dengan wajahmu yang menawarkan kekuatan padaku? Tak kuucap, hanya kubatinkan saja sendiri. Kamu kini duduk bersila di depanku, cangkir kopi itu kau letakkan rapi di meja bundar, kau ganti dengan sebatang rokok yang masih kering. Belum kau bakar, belum kau hisap. Kamu masih menatapku, dan aku masih menatapmu.
Kamu masih menyinarkan sorot tanpa tanda baca dari matamu, dan aku masih meminta sinyal lugas atas komunikasi abstrakmu itu.
Kamu masih berharap mampu memapahku, dan aku masih takut untuk mengguyurmu dengan kesempatan yang aku sendiri tak tahu kapan pantasnya.
‘Karena kamu tidak harus jadi kuat,’ katamu. Lagi, aku tetap tak bisa berkata-kata, aku larikan pandanganku ke seluruh sisi yang kosong. Ingin kupuaskan patahan simpul asa ini dengan raungan dalam ruangan. Jika batinku boleh meraung, maka ruang asaku akan sedikit lega. Tapi, aku belum membuktikan apakah mujarab. Aku tidak tahu apa-apa, aku bahkan tidak lagi mengerti mengapa kamu selalu berkata aku tidak harus jadi kuat.
Apa maksudmu?
Kembali diam, karena aku merasa aman. Tetap duduk di sini, karena aku merasa aman. Tak kurasa senang untuk membuka pintu itu, karena begini sudah aman. Tak kupandang sorot matamu yang penuh tulus, karena akan jadi aman. Kutahan raungan ini dalam ruangan hati, agar aman tanpa pancaran yang akan membiaskan bentukku di depanmu. Kukatupkan kedua bibirku agar tak keluar kutuk busuk, agar hatiku aman.
….
Hingga ada waktunya kamu menyerah. Delapan minggu turut serta duduk menemaniku di atas karpet nyaman dan ruangan tanpa memori ini membuatmu tak pernah surut. Kau memang menyerah, tapi bukan karena kau kalah. Kamu terlalu membuatku aman hingga kau turuti apa saja kemauanku dan membuatku tak khawatir lagi karena ada kamu, dan selalu ada kamu. Kali ini bukan karena kamu lelah, tapi kembali menuruti apa mauku.
Yang tak pernah kembali dan akan selalu menatar diriku sendiri untuk mendefinisikan kata ‘bahagia’ dengan sejujurnya.
‘Karena kamu tidak selamanya harus menjadi kuat,’ kata-kata terakhirmu lalu beranjak menuju pintu. Meninggalkan sekotak rokok dan cangkir kopi yang akan membuat ruangan ini meraung akan memorimu. Berharap dalam derap langkah ke sekianmu, aku menjadi leburan besi yang ternyata rapuh.
Tapi tidak.
‘Karena aku tidak harus selalu menjadi kuat di depanmu,’ ujarku setelah kau menutup pintu itu perlahan. Menghela nafas dan gelap ini membuatku aman.
***
Jakarta, 06 Agustus 2009
Comments
Post a Comment