Baiklah..

“Baiklah. Pergi saja, kapanpun kamu mau sehingga ini hanya menjadi sebuah masa yang pernah kau lewati. Aku tidak akan berusaha untuk memaksakan semua perkataan yang pernah terangkai adalah pengabsahan bahwa tindakanmu ini salah. Tidak. Siapa yang bodoh? Tidak ada. Aku dulu pernah bilang bahwa perisai yang begitu membuatku nyaman saat ini tidak bisa ditembus dan tidak kuijinkan untuk dibuka sehingga aku akan terus merasakan kenyamanan dan keamanan tiada tara itu, tanpa harus merasa takut dan berujung pada sebuah kesakitan. Ah, bisa jadi, aku yang bodoh.

Ketika suatu saat nanti memang benar adanya aku sakit karena mu, siapa yang salah? Aku. Ya, aku. Perisai itu tidak lebih kuat dari kenyamanan lain yang selama ini belum aku dapatkan, sampai aku bertemu dengan kamu, yang berani dan nekat menawarkan itu semua. Tanpa mencoba naif ataupun munafik, kamu pun sungguh ingin menawarkan dengan sepenuh hati. Tapi, toh, kamu akan tetap menjadi sesuatu tanpaku.

Ketika suatu saat nanti memang benar adanya aku sakit karena mu, siapa yang salah? Aku. Ya, aku. Karena aku telah kalah dengan diriku sendiri, ringkih, lemah, dan SOMBONG serta angkuh untuk pernah berpikir aku tidak akan hancur begitu saja, sewaktu-waktu. Perisai itu sempat berhasil melindungiku dari peperangan sementara. Perisai itu aku dapatkan dari peperangan sebelumnya yang jelas membuatku kalah telak. Perisai itu membentengiku di saat aku mencoba menyusun kembali kaki-kaki yang patah di dalam naungan perisai itu. Toh, kamu tidak tahu seperti apa aku kalah dan seperti apa kakiku itu pernah patah dalam peperangan sebelumnya dengan perisai bodoh itu.

Tapi lihatlah, toh, kamu juga memiliki perisai sendiri. Kamu bahkan menusuk dengan pedang dan melempar bom yang menghancurkan perisai itu, maupun perisaiku ini. Membantuku melihat bahwa di luar perisai itu, aku dapat melihat banyak hal indah dan baru dalam hidupku. Membantuku menemukan sebuah pengertian baru betapa pentingnya aku bagi diriku sendiri. Membantuku … ah, membantuku, segalanya, mungkin …

Hingga aku sadar, kapanpun, kamu atau aku akan sanggup menyakiti diriku sendiri. Dengan sangat hebat dan dahsyat sekalipun. Lalu, apakah aku harus berharap kamu akan kasihan dan iba melihatku yang kembali terpuruk setelah dua peperangan sebelumnya aku dihantam keras hingga remuk? Lalu, apakah aku harus berharap kamu akan bersedia untuk membantu aku untuk berlatih jalan kembali di saat kamu sudah membuatku tidak bisa berjalan dengan kedua kakiku ini? Terlalu munafik, dan mengada-ada…

Karena buatmu, itulah yang terbaik. Untukmu. Ah, alasan klise, tapi begitulah adanya.
Kembali pada awalnya, aku akan menyusun perisai baru lagi, perisai lama itu akan kubuang karena telah karatan dan tidak mampu melindungiku dalam tiga peperangan kini. Butut, tua, lapuk, dan aku bodoh karena terus memakainya.

Haruskah seperti ini berulangkali? Lelah aku terus menempa perisai baru. Biar kini kubuang perisaiku sebelum ia karatan dan lapuk. Tidak, tidak, aku akan menyimpannya. Pergi saja jika kau berkehendak kapanpun itu. Lupakan perisaiku.”


Jatinangor, 04 April 2008

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar