PUPIL


Setelah lelah untuk menjadi diam-diam di depanku, kau pun datang dengan lantang. Menggebrak heningnya ruangan kaca ini dan semburkan asap rokok dari hisapanku mencecar berantakan ke udara.

Kau tidak banyak basa-basi, namun sangat hati-hati mengatakannya. Dapat kulihat seluruh keberanian terkumpul di pupil hitammu, yang dapat kupastikan telah berani menatap aku segarang itu. Setelah bertahun-tahun lamanya kau bahkan enggan untuk menemukan pupil mataku langsung dari milikmu.

“Aku sayang kamu!” serumu, tanpa jeda dan intonasi.

Seolah telah digugat oleh sesuatu yang mendalam dan tak punya cukup alasan untuk memendamnya lagi, kau semburkan begitu saja kata-kata itu di depanku yang masih terdiam terpaku dan sedikit melotot. Menatapmu, seakan tak percaya kau habis melakukan serangan di waktu yang bukan fajar!

Kau terengah-engah, perlahan matamu menurun, tak lagi menatap lurus ke mataku. Kau mengatur napas, dan aku percaya di momen itu kau tidak habis pikir apa yang baru saja kau lakukan. Aku percaya kau sedang berpikir dan mencoba mengingat darimana keberanian sebesar tadi datang. Menelan ludah, kau putuskan untuk kembali menatapku tanpa bicara apapun.

“Aku tahu itu,” sahutku pelan seolah menjawab pandangan matamu yang meminta jawaban melalui bicara bisu.

Kau menggaruk rambut yang sebenarnya tidak bisa digaruk, selagi terkekeh,

“Itu saja?” kau benar-benar merasa dongkol.

Aku tersenyum menatapmu. Lagi, satu caraku untuk merespon atau sesuatu dalam intonasiku ketika melafalkan bahasa sampai di pencernaanmu menjadi hal yang ‘mengerikan’.

“Aku tahu kau menyayangiku, dan itu bukan ‘saja’.” Ujarku.
Kau masih terkekeh sambil menatapku, gelengan kepalamu berulang kali membuatku tertawa. Aku menertawakan diriku sendiri yang tak tahu lagi bagaimana caranya menjelaskan padamu bahwa bukannya aku pongah atau menjadi judes. Hanya kuangkat kedua tangan dan bahu lalu kembali menghisap batang rokok yang masih setengah tersisa.

***

Malam ini bulan kecil. Ia begitu tinggi dan tak menyeramkan, namun tetap saja kekuatannya dahsyat. Lihat saja di sepanjang garis pantai ini aku masih bisa menyaksikan deburan ombak, pasir yang basah, pohon-pohon yang kurus kerontang di tanah lapang, dan sebongkah kayu lapuk bernama kursi.

Bukan kali pertama kita ke sini bersama, tapi ini kali pertama kita ke sini setelah terjadi satu fase di antara kita berdua. Fase yang menjengkelkan tapi toh harus kita lakukan juga, fase yang memaksamu untuk mengeluarkan kata-kata lantang sepenuh keberanianmu itu, fase yang membuatku tidak bisa tenang karena sekali lagi aku tidak bisa membenarkan satu pun dari ini.

Tapi toh, aku manusia yang selalu mengaku kalah akan kuasa rasa. Aku tidak tahu bentuknya, aku tidak tahu rasaku, tapi begitu saja. Aku menikmati kamu. Tapi ketakutanku masih lebih besar. Ya, di balik segala tawa yang kau lihat, ketakutanku masih jauh lebih besar.

“Hey,” sapamu sambil berdiri diam di sana. Seperti biasa, kau selalu tersenyum. Kali ini, oh tidak, malam ini, kau selalu tersenyum sambil menatapku lama. Kadang aku ingin kau katakan saja apa yang ada di otakmu ketika itu, daripada kau harus menatapku lama-lama tanpa aku tahu maknanya!

Aku mendekat menyambut kedua tanganmu yang ingin mendekapku. Angin malam ini tidak garang, dan pantai malam ini tidak ramai seolah memberi kesempatan kita bersama malam ini. Dan kata-kata yang menurutmu ‘memiliki tingkat kesulitan paling tinggi untuk dikatakan’ itu kau ucap juga,

“Aku sayang kamu,” ujarmu sambil mendekapku.

Dan aku hanya tersenyum, diam, aku takut. Walau aku juga berharap.
Dan aku hanya bisa membiarkanmu tahu, bahwa kini aku sama sekali tak paham dengan perkataan itu. Sayang, rasa, cinta. Aku tak paham.

Di atas segala ketidakpahamanku kini tentang rasa itu, aku percaya bahwa di setiap tatapan matamu terdapat rasa itu. Aku tahu bahwa kini kau tidak lagi terpenjara untuk mengutarakan rasa itu—melalui pandangan matamu, melalui senyummu, melalui setiap ejekan yang sebenarnya tidak lucu—tapi terutama, aku menemukannya di tiap pandanganmu.

Baiklah, aku menyukai itu, sejujurnya. Ya, aku menyukai sorotan matamu karena aku tahu banyak misteri di dalam sana. Entah kau ingin ungkap atau tidak. Tapi sorotan matamu sudah cukup membuatku tahu, kata-kata tidak akan mengungkapnya dengan lebih jelas dibandingkan dengan matamu.

***

Lalu aku berada di kota ini, yang tidak akan pernah kudapati pantai di tiap malamnya, yang tidak akan pernah kudapati kamu di segala sudutnya. Kota ini, yang membuat aku belajar mengenal aku, kota ini, yang membuat aku hidup sebagai aku, hingga siang ini aku harus memeluknya kembali. Udara yang lembab aku peluk untuk membuatku merasa mengenal tiap desiran angin dan tetesan embun saat pagi menyalak.

Di kota ini aku memiliki sejuta kisah, semua kisah yang membentuk aku pada fase ini. Fase mengucap ‘takut’ padamu, dan fase ‘tidak paham’ terhadap apa yang hatiku inginkan. Di kota ini, segala luka pernah begitu dalam menggores dan lalu mengubah segala apa yang aku pernah percaya sebagai ‘indahnya mencintai seseorang daripada dicinta’.

Di kota ini, segalanya menghidupkanku. Tidak ada yang memelukku mesra penuh keamanan dan kenyamanan. Tapi aku begitu mencintai kota ini, karena di tiap sudutnya, aku pernah bersaksi mengenai cinta itu sendiri.
Bahwa aku hampir berpikir mustahil untuk bertemu dengan kata itu ‘cinta’.

***

“Yang aku tahu, untuk sekarang…
Cinta membuatku pesimis, terhadap apapun.
Cinta membuatku takut, terhadap diriku sendiri.
Cinta membuatku yakin, bahwa aku belum bisa berhasil, sekarang,”

Aku tekan tombol ‘send’ perlahan.
Ingin aku katakan lewat pesan elektronik tersebut,
Entah kenapa aku gunakan kata itu, ‘cinta’, bahkan aku tak tahu artinya.

Namun ternyata aku tak sanggup untuk berharap berani berkata padamu,
“Jika kita mampu untuk pasrah,
Sabarlah menunggu ini. Kita.”
Hatiku menguatkan pikiranku untuk mengatakannya di sini saja, dalam hati.

***

Late at one night, 041009

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra