Keraton Ratu Boko



Ini kali ketiga bagi saya menginjakkan kaki di tempat ini. Aura itu masih hadir, aroma misterius itu menyelubungi saya dan seolah menarik paksa jiwa saya menuju kehidupan beberapa abad silam, peradaban masyarakat masa bahkan sebelum Majapahit. 


Pintu gerbang batu hitam berdiri megah di ujung jalan panjang, beberapa anak tangga dihiasi oleh dua ekor domba yang berdiri diam, memamerkan kecantikan mereka dan berlagak layaknya penerima tamu bagi para pengunjung yang hendak memasuki obyek wisata sejarah ini. Situs Ratu Boko merupakan salah satu tujuan wisata lokal yang begitu sarat makna dan nilai sejarah. Seringkali orang salah menyebut nama tempat itu dengan Candi Ratu Boko, mungkin karena situs yang terbuat dari batu identik dengan identifikasi ‘candi’. Namun, tempat ini memang berbeda. Situs Ratu Boko dahulu pernah berdiri dengan megah sebagai kediaman sebuah kerajaan, pimpinan Prabu Boko, di era sebelum era Majapahit yang begitu berkuasa itu dikenal.


Berbeda dengan situs peninggalan sejarah lainnya di Indonesia, situs seluas 250.000 meter persegi ini meninggalkan wisata imajinasi yang akan membawa kita pada khayalan kehidupan manusia Indonesia era 700 SM. Konon, situs ini merupakan benteng pelarian Rakai Kayuwangi atau Balaputradewa, putera bungsu Rakai Pikatan. Ya, ketika menginjakkan kaki ke tempat ini, saya selalu membayangkan kehidupan yang dulu berlangsung di sana. Mulai dari gerbang depan keraton, arca pembakaran mayat(kremasi), hingga keputren dan tempat pemandian para puteri raja.

Situs ini berada di atas bukit, 3 km dari selatan kompleks Candi Prambanan. Menurut satu sumber yang saya baca, legenda Roro Jonggrang dengan Bandung Bandawasa juga memiliki kaitan dengan situs keraton ini. Konon, Roro Jonggrang adalah puteri dari Prabu Boko yang berkuasa di keraton tersebut. Walaupun begitu, banyak kisah tentang sejarah Keraton Ratu Boko masih terselubung oleh misteri.

Hal ini juga yang menjadikan situs Ratu Boko banyak menarik perhatian wisatawan. Menurut sejarah, situs ini ditemukan pertama kali oleh seorang berkebangsaan Belanda, Van Boeckholtz, pada 1890. Pemerintah Indonesia sendiri baru melaksanakan pemugaran di area Ratu Boko sekitar tahun 1952. Pertama kali saya mengunjungi tempat ini sekitar pertengahan tahun 1990-an, lalu terakhir saya mengunjunginya lagi pada 2009. Tidak banyak, cenderung tidak ada perbedaan yang saya lihat, kecuali pintu masuk menuju area situs. Pada bangunan Ratu Boko sendiri, masih terlihat sama, dan membuat saya kembali berkhayal, apakah sejak bangunan ini masih aktif digunakan sebagai istana, bentuknya juga tidak berbeda jauh.


Sebagian besar bangunan di area Ratu Boko ini sudah tidak beratap. Namun, bebatuan yang membangun fondasi bangunan masih dapat kita lihat. Ketika berada di atas bangunan tersebut, kita bisa dengan leluasa memandangi pemandangan di area bawah, tidak luput juga Candi Siwa, satu-satunya candi dari Kompleks Candi Prambanan yang terlihat jelas dari atas bukit tempat Situs Ratu Boko berdiri.

Situs Ratu Boko terbagi ke dalam beberapa bagian, pertama kita akan disambut oleh gerbang utama yang berada tepat di tengah. Tidak jauh dari gerbang itu, di sebelah kiri kita akan menemukan satu situs berupa bangunan batu berundak, yang dulunya adalah tempat pembakaran mayat (kremasi). Di sebelah kiri bangunan tersebut terdapat jalan setapak menanjak yang akan mengantar kita pada satu bukit dimana kita bisa leluasa untuk melihat pemandangan kompleks Candi Prambanan dengan lebih jelas.



Dari pintu masuk situs, kita akan dimanjakan dengan hijaunya lapangan yang dihiasi oleh beberapa sisa-sisa keraton, namun sayang, kini hanya tersisa puing-puing dan tidak jelas lagi bentuknya apa. Telusurilah area tersebut, maka kita akan menemukan semacam pintu di tengah-tengah benteng, lalu tangga yang akan mengantarkan kita menuju daerah keputren. Terdapat aula yang dulu (menurut imajinasi saya) digunakan raja untuk bertemu dengan rakyat atau punggawa-punggawa dan petinggi lainnya. Di dalam bangunan itu terdapat satu undakan yang cukup tinggi, dikelilingi oleh dinding yang terdapat pintu di masing-masing sisinya. Dari tinggi dan lebar pintu itu pula, saya menebak-nebak ukuran tubuh manusia yang dulu pernah menghuni istana tersebut.


Keluar dari aula utama itu, saya berjalan ke arah kiri. Terdapat tiga miniatur candi kecil, tampaknya dulu digunakan sebagai tempat beribadah. Tepat di depan candi-candi itu, kita dengan leluasa disajikan dengan tempat permandian kaum keraton. Cukup luas, dan tempat itu juga dipenuhi dengan beberapa kolam berukuran cukup luas. Perlu diketahui pula, bahwa air yang mengisi kolam itu adalah air hujan, jadi bukan dialirkan secara sengaja.


Mata ini sudah cukup puas menangkap area Situs Ratu Boko yang begitu luas. Ada beberapa bagian yang tidak bisa saya kunjungi karena tertutup oleh rumput panjang dan tanah bercampur dengan bebatuan sisa badan keraton. Ada satu ketenangan yang saya dapatkan setiap kali berkunjung ke situs ini. Area yang luas, juga menyajikan pemandangan perbukitan dan perkotaan dari atas, membuat saya merasa istimewa untuk menghirup udara di Situs Ratu Boko. Tempat ini juga bukan objek wisata yang penuh sesak akan ramainya pengunjung, karena bagi saya, hanya orang-orang tertentu yang ingin meluangkan waktunya mengunjungi puing-puing istana namun sarat makna dan sejarah tersebut. Bagi saya, tempat ini pun eksotis untuk dijadikan lokasi pemotretan dengan konsep-konsep etnik atau fashion spread dengan konsep tertentu. *Ya, baiklah, ini adalah keinginan pribadi saya yang belum tercapai, hehehe*



Satu lagi info untuk kalian yang mungkin berniat mencari alternatif tempat untuk perhelatan yang (bisa jadi) lumayan besar, area front area dari Situs Ratu Boko (atau lebih tepat dibilang front office kali ya) menyediakan area yang cukup luas dengan pemandangan ke arah Yogya Selatan dan Kompleks Candi Prambanan.


Review pribadi dari saya, it’s a nice place to take a deep breath and to relax, waiting for the sunset and capturing nice view by eye, to imagine a life by mind, and to taste the atmosphere by soul.***


22 April 2009

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar