PERAWAN
Sejak lahir, aku menyadari keberadaanku sebagai seorang perempuan. Lalu aku pun tumbuh dengan penuh pengertian bahwa perempuan memiliki banyak harta yang sering diperebutkan bahkan diinjak. Sekali harta itu diinjak, bukan harta lagi namanya, perempuan akan jatuh miskin dan putus asa mendapati dirinya tidak memiliki harga untuk mendapat penghormatan di mata orang.
Dunia ini kejam, aku sering mendapati betapa kejamnya dunia terhadap perempuan. Bukan dicaci, bukan ditusuk dengan belati, bukan pula dikeroyok massal. Betapa kejamnya dunia ini telah menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak utama, ah ya, banyak legenda atau mitos yang mengagung-agungkan perempuan pada tempat yang tertinggi, tapi aku hidup bukan dalam legenda atau mitos. Aku hidup dalam dunia nyata yang kini mengungkungku dengan batas bulatnya bumi dan abstraknya roh dalam diriku.
Sering aku marah, sering aku miris, menangis, atau hanya merenung dan terkadang senyum mengembang ketika memikirkan betapa indah dan sengsaranya menjadi perempuan. Sering aku berkilah bahwa ini adalah kodrat, sebagaimana proses penciptaan manusia itu sendiri berawal, nilai kehidupan manusia lalu didasarkan pada Adam yang menjadi ciptaan pertama sebelum Hawa diambil dari tulang rusuknya.
Seperti itulah, mutlaknya perempuan harus diposisikan dalam kehidupan ini. Aku mengerti, namun terkadang aku tidak mengerti. Aku ingin bertanya kepada Tuhan, mengapa Adam diciptakan terlebih dahulu dari Hawa? Mengapa mereka tidak diciptakan secara bersamaan, sehingga tidak akan terjadi penggeseran posisi perempuan pada kehidupan masa kini, tidak ada lagi kilah bahwa perempuan seharusnya berada di bawah laki-laki.
Ah, aku tahu, aku tidak bisa protes kepada Tuhan.
Sama ketika aku mendapati beberapa teman membicarakan masalah keperawanan seorang perempuan. Aku tidak bisa protes terhadap mereka yang menganggap hal ini begitu penting, atau bahkan, hal terpenting dalam kehidupan mereka. Aku tidak bisa protes ketika mereka mencoba mendiskusikan masalah keperawanan bagi masing-masing individu. Dan lagi, aku tidak bisa protes ketika mereka bertanya apakah aku masih perawan atau tidak.
Apakah kamu perawan? Tanya Adia.
Aku meringis, seiring dengan kebulan asap rokok dari mulutku, aku menghela napas. Menatap ketiga wajah temanku yang menunggu jawaban dengan muka yang tolol jika diperhatikan.
Tergantung apa dan bagaimana definisi perawan itu bagi kalian. Jawabku ringan, tidak berusaha menyelami ketiga pasang mata yang mengernyitkan dahi di depanku.
Ya, emangnya perawan itu gimana lagi? Nuri berkata cepat. Kita juga tahu kalau perempuan itu perawan ketika belum melakukan hubungan seksual, kan? Lanjutnya.
Aku menghela napas lagi. Terdiam sesaat, mencoba mengumpulkan kata-kata yang sekiranya bisa mereka terima.
Kamu menganggap perempuan tidak perawan lagi ketika ia telah melakukan hubungan seksual? Baiklah, begini. Secara teoritis, kita dikatakan perawan kalo selaput dara kita belum sobek alias masih rapeet kalo kata orang sekarang. Sedangkan, untuk perempuan yang sudah melakukan hubungan seksual pun belum tentu mendapati selaput daranya sobek ketika melakukan hubungan seks pertama. Lalu? Kapankah ia akan dikatakan tidak perawan lagi? Aku berujar panjang lebar dan balik bertanya pada mereka.
Adia, Nuri dan Isha terdiam. Mereka merenung, mencoba menelaah perkataanku tadi sambil merangkai semua perkataanku dengan informasi yang ada di otak mereka.
Aku baru tau kalo secara ‘teknis’ nya begitu, Sar. Ujar Isha. Aku hanya menggidikkan bahu, menghisap rokok lalu menghembuskan asapnya.
Ada juga perempuan yang merasa tidak perawan lagi ketika ia telah melakukan ciuman. Hanya ciuman bibir, baginya ia sudah tidak perawan karena batas dirinya adalah sejauh itu. Lalu, apakah benar adanya bahwa ia sudah tidak perawan lagi ketika melakukan ciuman bibir? Kalo iya, berarti kita semua di sini bisa dianggap tidak perawan lagi, dong! Lanjutku.
Ah, tapi ungkapan perawan secara umum kan, seperti yang kita tahu. ML, selaput dara sobek karena penis masuk keluar di situ, titik. Nuri berkeras.
Aku tergelak,
Kebenaran mengenai perawan pun kalian masih ragu. Begitu pula aku. Aku bisa berkata bahwa aku masih perawan walaupun misalnya, aku sudah melakukan hubungan intim dengan seorang pria. Siapa yang harus marah? Jika aku merasa belum memberikan keperawananku dengan sesungguhnya untuk laki-laki yang memang kucintai, namun aku sudah melakukan hubungan seks dengan dia, maka sah-sah saja jika aku menganggap diriku ini masih perawan!
Aku terus menjejali mereka dengan pernyataan-pernyataan yang aku rasa cukup membuat mereka bergidik ngeri dan menganggapku semakin tidak logis.
Konsepsi akan kebenaran yang ada di dalam pikiran manusia itu tidak ada yang mutlak, bagiku. Lalu untuk apa aku pusing melabelkan diriku sesuai dengan istilah-istilah yang tercetak di kamus jika bagiku sendiri, istilah itu sama sekali jauh dari benar dan sesuai denganku? Aku menaikkan kedua alisku sambil membalik telapak tangan ke depan perutku.
Ketiga gadis itu menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda namun sama, bingung, juga syok.
Isha melempariku dengan bungkus rokoknya lalu berkata,
Yaudah, apa lo uda pernah ML ama cowo?
Kedua temanku yang lain tertawa menyaksikan tindakan klimaks Isha yang tidak keluar melalui kata-kata namun tindakan melempariku. Aku pun tertawa puas membuat mereka semakin bingung dan muak mendengar argumentasiku yang sok menguasai kebenaran akan diriku sendiri.
Ya. Pernah, beberapa kali. Aku terdiam. Menatap ketiga wajah temanku yang ternyata mengeluarkan ekspresi berbeda dengan apa yang telah kusangka. Aku menyangka mereka bertiga akan berteriak dan menyumpahi jawaban yang keluar dari mulutku, juga menyumpahi tindakanku. Mereka memang hampir meloncat, namun mereka hampir meloncat karena ternyata tidak sabar ingin mendengar pengalamanku sebagai sarana pengetahuan bagi mereka.
Was it good? Apa rasanya? Sakit ga? Berdarah ga? Emang gimana cara ngelakuinnya? Sederet pertanyaan serupa muncul secara berbarengan. Nuri menyalakan rokok, ia biasa melakukan hal itu ketika merasa suasana obrolan kami mulai memanas dan sampai pada titik yang menarik.
Aku tertawa lagi, geli rasanya berada di depan teman-temanku yang ternyata sebuta itu tentang seks di usia mereka yang telah beranjak dewasa ini.
Apa yang kalian harapkan? Bagaimana gue harus menjawab ini semua? Aku berkata dengan terbata-bata dan diselingi tawa geli menghadapi ketiga perempuan ini.
Adia mengibaskan tangan ke tengah-tengah lingkaran yang kami bentuk.
Udah, pokoknya cerita aja. Gimana lo ngelakuinnya? Gimana bisa? Ama siapa dan gimana rasanya? Ujarnya cepat sambil terus menggerakkan kedua tangannya di hadapanku.
Aku terdiam. Puntung rokok kutekan ke permukaan asbak dan memercikkan letupan-letupan api kecil ke seluruh bagian dalam asbak.
Pandanganku menerawang ke langit-langit ruangan. Kucoba mengingat suasana ketika aku melakukan hubungan intim itu dengan seorang laki-laki. Ya, hanya seorang, tidak enak rasanya membayangkan aku berhubungan intim dengan beberapa laki-laki di kepalaku, aku sendiri malu membayangkannya.
Aku membayangkan proses yang terjadi sebelum kami berdua mempertemukan penis dan vagina, senjata masing-masing untuk menembus tirai kehidupan di dunia lain yang hangat, yang tidak bisa ditempuh semua orang sebelum ada pengukuh resmi mereka sah melakukannya secara hukum dan agama, katanya.
Aku membayangkan rasa cinta sekaligus gairah yang berkumpul dalam asa, ditemani oleh rasa resah dan takut karena tidak ingin menyesal telah memberikan mahligai keperempuananku kepada laki-laki itu. Belum lagi rasa takut bahwa aku tidak akan menjadi berharga lagi nantinya, ya, ketakutanku kala itu, sesuai dengan nilai yang selama ini telah membudaya di masyarakat negeriku, juga di tubuh perempuan bangsaku.
Aku membayangkan perasaan cintaku pada laki-laki itu, gairahku yang begitu besar sehingga yakin bahwa aku pantas memberikan sebuah hak istimewa baginya untuk merasa memilikiku, serta yakin bahwa ia pantas mendapatkan hak istimewa untuk memilikiku. Ah, sungguh gelora puncak yang tidak terbendung dan aku tidak mampu menyampaikannya lewat kata-kata, hingga aku tambah yakin lagi bahwa memang inilah satu-satunya media yang dapat memberitahu secara langsung pada seluruh indera di tubuhnya bahwa aku mencintainya.
Aku beberapa tahun lebih muda waktu itu.
Sejenak, aku terhentak dan sadar ada tiga pasang telinga yang menanti aku menceritakan kisah ini pada mereka.
Lalu aku pun berdehem,
Aku melakukannya dengan salah seorang mantan, waktu itu aku masih kuliah. Dia mantan yang paling lama menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih denganku, aku terdiam menghitung, dua tahun lamanya.
Melakukan seks dengan seorang laki-laki yang aku cintai adalah sebuah kepuasan tersendiri bagiku, dan pasti baginya. Aku memang takut, tapi aku begitu berhasrat untuk melakukannya, aku ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, namun ternyata kata-kata yang keluar dari mulutku tidak mampu membuatnya tahu. Mereka terus mendengarkanku bercerita.
Hingga aku berani melakukannya, aku pun puas. Rasa takut yang tadinya diciptakan dari kungkungan budaya juga agama, kalah begitu saja dengan perasaan puas bahwa aku telah menemukan kebenaran, kebenaran bahwa aku mampu melakukannya. Kebenaran bahwa aku melakukan hal ini bukan berdasar nafsu, tapi keinginanku sebagai manusia untuk mengungkapkan emosi yang luput dari bahasa di seluruh dunia ini melalui interaksi yang lebih mendalam dan mencakup seluruh indera perasa juga indera kehidupan manusia lain. Aku sama sekali tidak berpikir bahwa seks kala itu adalah sarana untuk mengikat dirinya agar tidak bisa lepas dariku, aku sadar seutuhnya bahwa seks bukanlah alat agar cintanya tak lekang akan waktu. Sungguh, bukan itu.
Aku melakukan seks dengannya karena aku mencintainya, bukan cinta seperti yang di sinetron. Tidak, aku mencintainya, aku bernapas dengan napasnya, ia adalah kehidupan yang memberiku tapakan agar terus melangkah tanpa harus takut akan apapun. Aku ternyata, tidak menyesal bahwa keperawananku telah hilang.
Hingga...Aku berhenti sesaat. Mereka bertiga melongo dan berseru bersamaan,
Hingga apa???
Aku tersenyum.
Hingga aku sadar, ternyata, harga diriku lebih dari sebuah selaput dara yang bisa sobek dan longgar. Aku sadar bahwa keperawananku bukanlah untuk ditangisi ketika ia hilang karena kehendakku, dan bahkan aku lalu sadar, keperawananku bukan alat pengukur apakah aku masih berarti sebagai perempuan atau tidak. Bagiku, harga diri bukan sebatas perawan atau tidaknya selaput dara ini, jika pun bagi orang-orang aku ini sudah tidak perawan, bagiku itu bukan alasan untuk menganggap diriku ini tidak berharga lagi. Aku hanya lebih berpengalaman dari kalian, yang belum pernah melakukan hubungan seks itu. Hahahaha.....
Sekilas aku mencoba bercanda dengan mereka dan ternyata ketiga temanku itu tertawa lebar mendengar pernyataanku itu.
Terlebih, saat melakukan hubungan seks dengannya, aku tidak merasakan itu tidak indah. Jika aku menganggap seks hanya sebagai pelampiasan nafsuku, maka aku hanya akan merasakan kenikmatannya, namun aku tidak akan mampu menilik dimana titik terindahnya. Lanjutku.
Adia masih menghisap rokoknya. Memang apa bedanya seks yang indah ama yang nikmat? Bukannya seks itu pasti nikmat ya?
Ya, aku setuju denganmu. Seks itu memang nikmat, tapi ketika manusia melakukan hubungan seks atas dasar ingin mendapatkan kenikmatan biologis, maka ia tidak akan mampu menyelami sisi lain dari seks, yaitu seni melakukan aktivitas itu sendiri sebagai proses komunikasi tanpa kata-kata. Sepasang insan hanya akan melakukan seks sebatas pemuas nafsu mereka, itulah yang aku katakan nikmat. Seks yang telah kulakukan, sama sekali tidak seperti itu.
Aku dan dia, menemukan titik masing-masing, merasakan kehangatan dan ekspresi dari emosi yang selama ini tidak terungkap, dan kami berinteraksi melalui pertemuan penis dan vagina yang sering disakralkan sebagai perbuatan amoral oleh orang-orang yang meracuni kesakralan seks itu sendiri. Aku dan dia, memuja aktivitas ini, dan kami tidak pernah menyesali atau menjadikan seks sebuah alasan untuk tidak menyadari kesalahan atau kekurangan masing-masing.
Seks bagi kami adalah sesuatu yang jujur, bukan alat ukur akan cinta. Itulah bedanya.
Aku terdiam menatap ketiga wajah temanku yang dari tadi mendengarkan dengan serius. Mereka tak lama manggut-manggut, namun aku yakin mereka masih bertanya-tanya bagaimana mungkin pikiran aneh seperti ini bisa hinggap dan mengakar di otakku.
Karena itu bagimu perawan itu tidak penting? Tanya Isha.
Aku menggeleng perlahan.
Aku tidak bilang keperawanan itu tidak penting. Namun itu tidak seharusnya menjadi tolak ukur yang utama bagi perempuan dalam menjalani kehidupannya atau untuk mengembangkan dirinya di tengah masyarakat. Banyak sekali aku mendapati perempuan yang menjadi rendah diri dan menyingkir dari pergaulannya hanya karena menyesal telah kehilangan keperawanannya, padahal, itu sugesti dari kebodohan yang telah mereka lakukan sendiri.
Tidak mungkin orang melakukan hubungan seks di luar kesadarannya, kecuali ia mabok atau diperkosa. Lalu kalau ia sudah memarjinalkan dirinya sendiri di tengah pergaulan, mau jadi apa? Iya kalau orang-orang itu tahu ia telah kehilangan keperawanannya, kalau tidak? Rugi di perempuan itu sendiri bukan? Bagiku, itu hanya masalah pembawaan.
Aku menghela napas sejenak.
Namun, memang tidak bisa dipersalahkan juga. Kita hidup di tengah budaya yang begitu mengikat dengan stigma bahwa perempuan itu terhormat dan berharga ketika ia menjalani hidup sesuai norma, salah satunya adalah tetap perawan sampai ia menikah. Betul ga? Aku memutuskan untuk menyudahi ceramah panjang lebar tentang ideologi yang menari-nari di pikiranku sendiri. Aku sadar, mereka tidaklah sama.
Ketiga temanku itu diam saja. Mereka sepertinya sedang merenung, mencoba merenungi segala perkataan yang telah kupaparkan, meresapnya, dan mengaitkannya dengan segala nilai dan pengetahuan dalam pikiran mereka. Aku tidak menghendaki mereka agar sama dalam pola berpikir, aku tidak menghendaki untuk memengaruhi mereka. Aku juga tidak ingin membuat mereka mengesahkan hubungan seks sebelum menikah hanya karena aku telah melakukannya dan menganggap itu sah sebagai ekspresi yang lebih dari perasaanku.
Namun, aku puas, karena ada orang yang ingin tahu mengenai pemikiranku ini.
Lama hening tercipta di antara kami hingga Nuri memecah keheningan dengan pertanyaan lanjutannya,
Tapi, bukankah itu tindakan zinah menurut hukumnya?
Aku tersenyum lebar, Menurut hukum siapa?
*
*sebuah fiksi yang cukup membuat saya terhibur menulisnya. Rangkaian imaji yang liar, tabu, sekaligus misterius.
Desa Tangkil, 14 Juli 2008
Comments
Post a Comment