Ketika Detik Membunuh Cintanya
Kala itu hening. Senja mengantarkan ia dengan malas untuk menyambut malam. Hatinya tidak enak, perasaannya gelisah seolah tahu ada yang terjadi, dan itu tidak menyenangkan. Sungguh ia membenci suasana seperti itu, suasana dimana ia tahu tidak ada yang dapat dijadikan pijakan kuat untuk melangkah sendiri, ia tahu dirinya tidak aman malam itu.
Nhani berjalan mondar-mandir tak menentu, hingga tampak mobil itu tiba. Hatinya sebagian lega, hanya sebagian kecil, namun sebagian besar tidak. Sebagian besar hatinya resah dan bertambah tidak tenang melihat mobil hitam itu datang mendekat. Sosok di dalamnya keluar, mencoba mengembangkan senyum yang pada akhirnya terlihat hambar dan juga tidak menawarkan apa-apa bagi keresahan jiwa Nhani.
Nhani membalas senyuman hambar itu dengan hangat, ia tahu, kini ia pun palsu. Ia tahu, ia tidak berniat tersenyum namun harus. Oh, betapa ia mendapati keadaan senja begitu mengutuknya.
*
“Aku tidak menyayangimu lagi,” ujar Bima. Nhani terdiam. Tatapannya terpaku pada keadaan jalanan yang mati, hanya diterangi oleh lampu-lampu yang mencoba memberi petunjuk pada manusia supaya tidak tersesat saat malam.
Ia tidak menatap lelaki di sebelahnya. Ia tahu, inilah yang membuatnya tidak nyaman dari tadi. Hal inilah yang membangun sebuah kabut tebal dan menghambat jantungnya memompa oksigen hingga napasnya tersengal. Telunjuk Nhani bersandar di bibir yang terkatup rapat. Ia menggesek-gesek jari itu untuk menutupi kegelisahan yang memuncak di hatinya, mengerti dengan sangat bahwa tidak ada usaha apapun yang dapat ia lakukan untuk mengembalikan perkataan orang yang telah menjadi kekasihnya selama empat tahun itu ke tenggorokan Bima.
Lama diam, Nhani menoleh lurus ke depan.
Nhani tahu, ia tidak bisa diam. Dia harus bicara, namun entah apa. Semua pikiran, semua rencana perkataan, semua emosi, semua yang ada di dalam dirinya tercekat dan tersumbat di kerongkongannya. Satu batang rokok ia bakar, berharap dapat menenangkan jiwanya untuk sesaat atau setidaknya mengalihkan rasa resah agar enyah barang sekejap. Hembusan pertama, ia merasa bibir dan rahangnya bergetar. Masih, ia menatap ke jalan di depan wajahnya. Angin mengantarkan asap dan abu berhamburan di udara, sebagian masuk kembali ke mobil. Terpaan angin menggerayangi sekujur kulit wajah Nhani, menghadirkan suasana sejuk yang justru disesali Nhani. Ia merasa tersapu dari keberadaan dirinya, tersapu dari segala pegangan dan keyakinannya terhadap fondasi kasih yang ia bangun bersama Bima sekian lamanya.
Nhani mengangguk, beberapa kali.
“Bagaimana itu bisa terjadi?” tanyanya. Pada akhirnya, hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Bima sekilas menoleh ke arah gadis putih bermata bulat di sampingnya itu.
“Hanya...bisa. Perasaanku mengatakannya, dan tidak bisa aku enyahkan,” jawabnya.
Nhani menghisap rokoknya, dalam, gelisah, lalu menghembuskan asap ke luar jendela.
“Bagaimana mungkin ini terjadi begitu tiba-tiba? Aku hanya mengerti bahwa kondisi yang membuatnya,” Nhani masih mencoba menenangkan dirinya dengan mencoba menemukan pernyataan dari mulut seorang Bima yang ia harap dapat membuatnya tenang.
“Apakah aku berbuat kesalahan yang begitu fatal?” tanyanya lagi.
Bima diam. Sesaat dia menghela napas seolah lelah untuk dipaksa berpikir. Ia mengusap rambut ikalnya, wajah laki-laki itu tampak letih dan tidak terurus, berantakan.
“Pada ujungnya, kita hanya tidak akan bisa bersama,” ujarnya singkat.
Hati Nhani terasa teriris sampai pada irisan tertipis. Perih, ia membayangkan kucuran darah yang keluar dari hatinya, membasahi organ-organ perasa lain di dalam tubuhnya.
Nhani menghirup rokok yang dirasa dapat meredam segala gejolak hatinya. Kini, ia berani menatap Bima dengan seksama. Tidak ada keraguan dalam wajah laki-laki itu, justru Nhani yang penuh ragu untuk menghadapinya.
“Siapa dia?” tanya Nhani singkat, masih memakukan tatapannya pada sosok Bima.
Tampak tersentak, Bima mengubah posisi tangannya di kemudi. Ia menoleh ke arah Nhani, sesaat.
“Tidak ada dia,” ujarnya.
Nhani mengangguk kecil. Ia tidak yakin akan pernyataan yang tadi ia sampaikan, sayangnya ia sama tidak yakinnya dengan jawaban yang disampaikan Bima.
“Baiklah, hanya saja kamu berubah secara tiba-tiba dan mendapati dirimu tidak sayang lagi padaku ketika bangun tidur tadi. Anggap saja begitu?” Nhani bertanya seolah menawarkan pilihan kemungkinan yang dialami Bima.
Bima menggigit bibirnya. “Aku tidak ingin menyakitimu lebih lanjut,” ujarnya.
“Sudah,” Nhani berujar dengan sengit. Napasnya tertahan, ia tahu tangis telah terkumpul di kerongkongan dan matanya. Namun, enggan dia tumpahkan.
“Tidak perlu kamu takut akan hal itu. Tidak perlu juga kamu menjaga sikap dengan alasan takut menyakiti hatiku. Sudah, Bima. Kamu sudah menyakitiku, jadi tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi, katakan saja,” Nhani berujar panjang dan tegas sambil terus menahan perihnya.
Bima tampak tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
“Maaf. Hanya itu yang bisa kukatakan,” ujarnya singkat.
*
Nhani hanya meresapi arti dari apa yang pernah ia lalui, betapa cinta mudah punah, walaupun ia tidak mencari lebih lanjut apa yang menyebabkan hubungannya dengan Bima kandas begitu saja. Tidak bisa ia sangkal, perasaannya berontak ingin tahu dan mendapat penjelasan dari Bima bagaimana kalimat “aku hanya tidak mencintaimu lagi” itu timbul, hanya saja ia terlalu lelah untuk memaksa dirinya.
Tenaga telah ia kuras habis untuk memperbaiki dan menghibur dirinya agar menjadi baik-baik saja, seperti yang seharusnya setiap orang rasakan ketika menjalani kehidupan. Perih dan luka yang ia rasakan tidak mampu dihibur oleh apapun, kini Nhani berjalan dengan penuh tanya. Asanya melayang seolah ingin mendapatkan jawaban dari angkasa yang berbeda, angkasa yang dapat menyaksikan Bima kala Nhani tidak mampu menerawanginya.
Nhani mencoba mengenyahkan tiap pertanyaan yang menyertai langkahnya. Ia mencoba mengenyahkan sisa langkah Bima yang masih tertinggal dalam sepatunya, sisa sentuhan Bima yang masih tertinggal di seluruh permukaan kulitnya, dan sisa sentuhan lidah Bima yang masih menohok tenggorokan tempat udara kehidupannya keluar masuk. Ia mencoba mengenyahkan semua, namun ia sadar, segala itu tidak akan pernah hilang sampai segala pertanyaannya terjawab.
Dan ternyata, aku memohon padamu untuk memaafkan aku kali ini saja,
Tapi aku tidak bisa berkutik kali ini, seperti saat aku tidak bisa berkutik di hadapanmu kala cinta itu lenyap seketika
Aku sungguh mengasihimu tanpa batas, tidak akan pernah aku batasi
Tapi aku butuh membuatku sembuh, luka darimu terlalu dalam
Perih yang kau torehkan terlalu dahsyat, mengagetkan dan tenagaku telah habis untuk mengobatinya
Aku beritahu padamu, aku bisa berdiri sendiri
Namun aku tidak tahan menanggung perih ini sendiri
Tanpa aku tahu dengan apa kamu menanamkan luka padaku
Aku mohon padamu sekali ini saja maafkan aku,
Aku terus berdoa agar engkau tidak akan pernah luput dari sebuah balasan dan bayaran sebagai manifestasi yang kau dapatkan atas sengsara ini
Maafkan aku untuk kali ini saja,
Tapi sungguh aku berharap kamu tidak akan pernah bahagia, selamanya...
Nhani tersenyum perih, ia menahan badannya tetap tegap. Satu hisapan terakhir rokok, lalu puntung itu ia tancapkan pada asbak, kuat, hingga percikan abu yang berwarna merah nyala berloncatan. Ia menunduk sejenak, tidak berkata apapun lebih lanjut kepada dirinya.
Desa Tangkil, Kabupaten Bogor
6 Juli 2008
Comments
Post a Comment