Warisan Kita Mungkin Primitif, Namun Terkadang Manusia Lebih Primitif


Keruwetan globalisasi dan dampaknya yang tidak bisa ditolak, membuat beragam pertanyaan berseliweran di kepala saya(mungkin juga kamu). Apa yang kalian lihat di gambar bawah ini?



Seperangkat alat musik tradisional dari Jawa dan lakon-lakon yang biasa kita kenal dengan wayang. Berangkat dari gambar di atas, muncul pertanyaan: Apa gunanya benda-benda di atas? Atau, apa dan siapa benda-benda di atas itu? Mau tidak mau kita harus menjadi tahu mengenai apa itu wayang, darimana asalnya, dan untuk apa dia diciptakan. Tidak usah dibahas panjang lebar di sini, namun, saya yakin kalian sudah tahu benar bahwa wayang adalah salah satu wujud kesenian dari kebudayaan masyarakat Jawa. 

Ada dua hal sederhana sekaligus kompleks yang ingin saya bicarakan di sini: citra tradisional dan negara berkembang.
Jangan takut untuk tidak paham dengan apa yang akan saya tuliskan, karena kita sekarang berada dalam satu persepsi: sebagai orang awam, bukan para pakar di bidang kebudayaan Indonesia, pun pelaku. Setidaknya, saya demikian.

Gamelan, wayang, yang berdiri di sini sebagai contoh, merupakan warisan tradisional yang mewakili masyarakat primitif Indonesia. Mengapa saya katakan primitif? Karena berkaitan dengan catatan sejarah, kedua jenis kesenian ini lahir sebelum kita bisa mematrikan kata 'modern' di sendi kehidupan Bangsa Indonesia(Jawa khususnya). Lalu, lihat jaman yang sedang berlangsung kini. Negara kita menyebut dan disebut sebagai negara dunia ketiga atau negara berkembang yang acuannya ada pada 'menuju modernisasi'. 

Beberapa tahun ini, melalui pengamatan awam saya, kebudayaan tradisional Indonesia sedang mencuat menuju level yang 'populer' dan tidak sepenuhnya dianggap 'konvensional' alias ketinggalan jaman. Hal ini tentu saja melibatkan konteks di mana budaya ini dibicarakan. Yang lalu, saya pahami, konteksnya berada pada 'komoditas'. Entitas yang menjadikan negara kita dikagumi juga dikenal oleh negara-negara Barat, oleh mereka yang tidak memiliki entitas kebudayaan seindah ini. Entitas yang ternyata menguntungkan, secara politis dan ekonomis. Jadilah ia, yaitu kebudayaan tradisional Indonesia, sebagai komoditas yang memberi keuntungan bagi negara Indonesia.

Hal ini disebut sebagai komodifikasi kebudayaan. Dengan embel-embel 'pelestarian kebudayaan' serta rasa panik atas terjadinya 'claiming' oleh negara tetangga, semakin membahanalah gerakan 'pelestarian kebudayaan' tradisional Indonesia oleh pemerintah. Salahkah? Tidak juga. Semakin saya membaca mengenai komodifikasi kebudayaan, saya mengelak untuk menjadi naif. Dalam satu sisi, kebudayaan tradisional Indonesia adalah potensi yang sulit untuk disaingi negara lain untuk membangun negara kita. 

Ironisnya adalah, ternyata kita masih membutuhkan untuk menonjolkan 'citra tradisional' itu demi membangun negara yang 'modern'. Bahkan kini bias, definisi tradisional dan modern itu. Budaya populer yang mengomodifikasi kebudayaan tradisional adalah salah satu wujud modernisasi yang tidak bisa dielakkan. Lalu apa yang diangkat di dalam budaya pop itu? Kebudayaan tradisional. Ternyata kita masih butuh untuk menjadi 'tradisional' demi menggapai satu citra yang maju: dalam konteks politik kebudayaan.

Saya memang hanya bisa menulis dan mengungkapkan apa yang saya rasa dan amati. Ketika kita memikirkan untuk 'melestarikan kebudayaan yang hampir punah', patutnya menimbang apa tujuan dari pelestarian itu? Saya yakin, banyak terdapat golongan budayawan dan seniman yang mencoba untuk terus melakoni segala wujud warisan 'peradaban tradisional' etnisnya atas dasar cinta dan napas. Walaupun pada akhirnya tindakan mereka akan menarik minat yang membuat kebiasan antara kecintaan dengan 'unsur ekonomis' menjadi nyata, tapi toh, kebudayaan itu mereka lakoni atas dasar cinta dan nafas hidup sebagai salah satu bagian dari makhluk yang lahir karena kebudayaan itu.

Untuk menghapuskan stigma 'kuno' dari kebudayaan tradisional kita itu susah. Karena memang sifatnya adalah warisan yang primitif. Untuk menyandingkannya dengan kata 'modern' pun saya rasa tidak adil. Tapi mungkin, bagi saya, cukup adanya ketika kepedulian kita terhadap kebudayaan dilandasi oleh rasa cinta akan kebudayaan tersebut. Kebudayaan tradisional yang terejawantahkan ke dalam kesenian nyata bukan diciptakan untuk menjadi simbol semata. Ada kandungan nilai hidup yang mendasar sebagai latar lahirnya kebudayaan itu. Makna itulah yang tidak bisa diadaptasi oleh masyarakat luar sebagaimanapun mereka mencoba mendalaminya.
Jika pun ada, maka di situlah kita harus menyadari, manusia dari mana dan akan ke mana kah kita?

Kata 'primitif' dan 'tradisional' yang saya gunakan di sini sama sekali tidak berada pada makna yang konotatif negatif. Namun, saya juga merasa miris ketika segala simbol dalam keprimitifan itu dicuri hanya demi ukuran harga dan martabat. 
Bagaimanapun, kita terlahir dari kebudayaan yang telah secara superorganic sampai pada sendi dan darah dalam tubuh kita: sebagai salah satu bagian etnis di Indonesia yang memiliki kekayaannya sendiri-sendiri.
Terkadang kita memang lupa...


Bandung, 21 Februari 2010

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. warisan yg primitif itu jd acuan bapak saya utk mendidik saya. Disuruh ntn wayang brg dy, yg bhsnya aja saya ga ngerti (pake bhs Jawa). Jd cm ngeliat aja smbl nanti diceritain sama bapak saya. Warisan primitif ini layaknya tafsir al quran yg selalu bapak saya jadikan bhn diskusi dg saya. Dl dy blg "mngkn skrg kamu ga ngerti utk apa kamu ntn wayang atau baca tafsir. tp cuma dg ini saya bisa membekali kamu untuk menjalani hidup."

    Saya ga tau sih bekal dr dy ini ampuh ato ga, msh belajar merangkak jg. Hahaha,.

    *makasi ya tulisannya. Menyadarkan saya bahwa ad satu point yg hrs saya sampaikan terima kasih k bapak saya itu :D

    ReplyDelete
  3. indonesia baru gelagapan setelah beberapa kesennian dan ciri di-claim milik negara lain.
    sebagai orang awam, gw rasa itu semua bukan salah si negara 'pencuri'. mau kita caci maki tapi kenyataannya justru merekalah yg melihat kesenian sebagai harta karun yang pada akhirnya mereka claim.
    gw adalah salah satu anak yg bisa dibilang kurang beruntung kan, karna adalam sejarah pertumbuhan gw dr jabang bayi gw samaa sekali jarang diberi asupan kesenian daerah. ya hanya beberapa tarian daerah yg sekarangpun gw lupa gerakannya.haha.
    gw terkadang malu. sebagai penduduk asli jawa barat (sunda) gw sendiri masih sangat awam dengan kesenian sunda. haha. yahh begitulah

    ReplyDelete
  4. @cya: yes dear, gw pun ga tau nilai2 di balik wayang. hahahaa, kurang belajar ke bokap..coba deh diskusiin ama bokap lo lagi, mungkin dia bisa feel excited :D

    @gebi: gelagapan adalah kata yang populer bgt juga utk indonesia bbrp tahun ini. hehehe, dan pernyataan lo membuktikan pentingnya menyelipkan kebudayaan dalam edukasi, dengan pendekatan apapun..

    thx my ladies, for reading this :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar