Terimakasih, Langit
Tidak ada yang lebih indah daripada ini.
Kamu menawarkan pesta, hiruk pikuk keramaian orang di sekitar, dan segala kemewahan kota. Saya tak inginkan itu. Mereka tak bisa sembuhkan saya. Hanya sesaat, tapi nafas pun tak sanggup saya hela untuk menjadi sedikit lega.
Kamu terus-terusan membujuk saya bahwa ini adalah penyembuhan. Saya menggeleng, ini bukan penyembuhan. Ini hanya pelarian. Hingga akhirnya saya mampu berkata itu.
Tidak ada yang menyembuhkan di kota, semua adalah skema, yang teratur, yang rapuh, yang menjauh, yang tak lagi erat, yang tak lagi sehat, yang penat.
Kamu tercengang kala aku sanggup berkata tak ingin lari.
Selama ini kamu memegang peran sebagai dokterku, yang tahu dan selalu memberi solusi seperti apa penyembuhan yang saya butuhkan. Tapi kamu tak tahu apa-apa tentang alam.
Kamu tak mengerti betapa indahnya dia,
Kamu tak tahu bahwa hidupmu adalah di alam.
Kamu puja kota dan modernisme sebagai dewa yang menjawab segala persoalan.
Lalu kamu tercengang. Malam terakhir kamu bawa saya kembali ke gempita sorak membahana dan musik yang menghentak-hentak ditemani denting gelas berciuman serta tawa manusia-manusia permakan, saya tidak tersenyum. Sedetik pun.
Hingga saya kembali, hari ini. Kamu masih tercengang.
Betapa indah wajah ini dapat menyapa udara, sebusuk kota pun.
Tidak ada yang lebih indah daripada ini.
Dan akan kuberitahu padamu, betapa kamu tidak tahu apa-apa soal sembuh dan menyembuhkan.
Inilah malam.
Inilah tenang, dan saya hanya diobati langit.
Ia hitam, kelam, bersih, dilapisi titik-titik bintang berlapis membuat langit terlihat begitu padat dan berat di atas kepalaku.
Saya menengadah, tak lelah dan tanpa takut soal kendaraan besar yang mungkin melibas kepala yang menjulur ke sisi jalan raya ini, menangis bahagia dalam hati.
Bahwa tidak ada yang lebih indah daripada ini. Walau gelap, walau sunyi, walau ditemani lagu tentang kamu, namun tidak ada yang lebih indah daripada ini.
Lautan bintang dan hujan bintang jatuh yang kulewatkan namun mereka saksikan adalah penghiburku di kala malam.
Saya berdamai dengan malam, malam ini.
Saat ia sudah terlalu lama menjadi musuh yang membuatku sakit.
Karena kamu mengobatiku dengan neraka.
Wahai langit, kau begitu setia menemaninya,
Tanpa keluh kesah, kau biarkan mereka berkelip genit tiap malam
Tanpa senandung musik, kau ijinkan mereka berlarian dan berdansa
Layaknya hujan, bintang berdansa meninggalkan ekor kuncup
Membuat manusia khusyuk mengepalkan tangan dan mengucap pinta
Wahai langit, kau begitu sendu di sana
Tanpa keluh kesah, kau tak minta mereka padamkan cahaya
Walau itu berarti kau tak akan mampu ijinkan bintang berpijar
Membuat manusia lupa bahwa kau lebih bersih ketimbang yang mata teropong sanggup pandang
Wahai langit, kau begitu ramah di atasku
Malam ini, kepalaku tertuju padamu, yang tak sanggup kuperkosa
Kuhela nafas berjuta-juta kali dan berganti menatap mereka
Satu per satu
Kugerakkan jemari melukis rasimu
Tak sanggup aku, hingga kusadar
Kau begitu leluasa malam ini
Dan aku kembali berterimakasih,
Untuk menemukanmu…
Teruntuk langit di seluruh pedesaan yang selalu menyihir saya,
Tempat yang membuat saya tak perlu khawatir akan enyahnya penerangan dan tak khawatir akan resah.
Kania Laksita Raras
Mengingat malam berlima bertabur bintang dan bintang jatuh dari D1373FZ, 15 Agustus 2009, Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya.
Kamu menawarkan pesta, hiruk pikuk keramaian orang di sekitar, dan segala kemewahan kota. Saya tak inginkan itu. Mereka tak bisa sembuhkan saya. Hanya sesaat, tapi nafas pun tak sanggup saya hela untuk menjadi sedikit lega.
Kamu terus-terusan membujuk saya bahwa ini adalah penyembuhan. Saya menggeleng, ini bukan penyembuhan. Ini hanya pelarian. Hingga akhirnya saya mampu berkata itu.
Tidak ada yang menyembuhkan di kota, semua adalah skema, yang teratur, yang rapuh, yang menjauh, yang tak lagi erat, yang tak lagi sehat, yang penat.
Kamu tercengang kala aku sanggup berkata tak ingin lari.
Selama ini kamu memegang peran sebagai dokterku, yang tahu dan selalu memberi solusi seperti apa penyembuhan yang saya butuhkan. Tapi kamu tak tahu apa-apa tentang alam.
Kamu tak mengerti betapa indahnya dia,
Kamu tak tahu bahwa hidupmu adalah di alam.
Kamu puja kota dan modernisme sebagai dewa yang menjawab segala persoalan.
Lalu kamu tercengang. Malam terakhir kamu bawa saya kembali ke gempita sorak membahana dan musik yang menghentak-hentak ditemani denting gelas berciuman serta tawa manusia-manusia permakan, saya tidak tersenyum. Sedetik pun.
Hingga saya kembali, hari ini. Kamu masih tercengang.
Betapa indah wajah ini dapat menyapa udara, sebusuk kota pun.
Tidak ada yang lebih indah daripada ini.
Dan akan kuberitahu padamu, betapa kamu tidak tahu apa-apa soal sembuh dan menyembuhkan.
Inilah malam.
Inilah tenang, dan saya hanya diobati langit.
Ia hitam, kelam, bersih, dilapisi titik-titik bintang berlapis membuat langit terlihat begitu padat dan berat di atas kepalaku.
Saya menengadah, tak lelah dan tanpa takut soal kendaraan besar yang mungkin melibas kepala yang menjulur ke sisi jalan raya ini, menangis bahagia dalam hati.
Bahwa tidak ada yang lebih indah daripada ini. Walau gelap, walau sunyi, walau ditemani lagu tentang kamu, namun tidak ada yang lebih indah daripada ini.
Lautan bintang dan hujan bintang jatuh yang kulewatkan namun mereka saksikan adalah penghiburku di kala malam.
Saya berdamai dengan malam, malam ini.
Saat ia sudah terlalu lama menjadi musuh yang membuatku sakit.
Karena kamu mengobatiku dengan neraka.
Wahai langit, kau begitu setia menemaninya,
Tanpa keluh kesah, kau biarkan mereka berkelip genit tiap malam
Tanpa senandung musik, kau ijinkan mereka berlarian dan berdansa
Layaknya hujan, bintang berdansa meninggalkan ekor kuncup
Membuat manusia khusyuk mengepalkan tangan dan mengucap pinta
Wahai langit, kau begitu sendu di sana
Tanpa keluh kesah, kau tak minta mereka padamkan cahaya
Walau itu berarti kau tak akan mampu ijinkan bintang berpijar
Membuat manusia lupa bahwa kau lebih bersih ketimbang yang mata teropong sanggup pandang
Wahai langit, kau begitu ramah di atasku
Malam ini, kepalaku tertuju padamu, yang tak sanggup kuperkosa
Kuhela nafas berjuta-juta kali dan berganti menatap mereka
Satu per satu
Kugerakkan jemari melukis rasimu
Tak sanggup aku, hingga kusadar
Kau begitu leluasa malam ini
Dan aku kembali berterimakasih,
Untuk menemukanmu…
Teruntuk langit di seluruh pedesaan yang selalu menyihir saya,
Tempat yang membuat saya tak perlu khawatir akan enyahnya penerangan dan tak khawatir akan resah.
Kania Laksita Raras
Mengingat malam berlima bertabur bintang dan bintang jatuh dari D1373FZ, 15 Agustus 2009, Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya.
***
Comments
Post a Comment