Prahara
Aku menyaksikan pasangan-pasangan memadu kasih di tiap sudut taman kota ini. Benar-benar malam penuh kasih, membuatku sedikit terhibur dan tertular perasaan romantis walaupun aku tidak sedang berkencan. Sangat kusayangkan, kamu yang berada di sebelahku. Jelaslah sudah kata ‘romantis’ kubunuh sejak detik pertama aku melihat langkahmu yang masih ‘belagu’ seperti biasanya.
Wajahmu memang agak berubah sejak terakhir kali kita bertemu, lebih rapi dan terawat. Namun, satu hal yang bagiku masih nampak sama adalah kamu tetap menjadi sosok iblis bagiku. Ah, bagiku kata iblis kurang menggambarkan kamu, aku lebih memilih kata yang tidak beradab seperti ‘jahanam’ atau ‘bajingan’ agar terdengar lebih kasar.
Bukan sebuah kesenangan bagiku untuk menyempatkan diri bertemu denganmu, justru aku tahu benar pertemuan denganmu malam ini akan membawaku pada mimpi buruk, mimpi yang ‘horor’, karena kamu mau tidak mau membuka rekaman dalam pikiranku mengenai gambar wajahmu yang ingin sekali kubakar.
“Hai, Praha!” sapamu ramah sambil cengar-cengir yang membuatku sungguh ingin menusukmu dengan bambu tumpul.
Aku tidak bergeming, hanya mengangguk.
“Masih sama, si judes,” ujarmu lalu duduk di sebelahku.
“Baiklah, kalau begitu aku rasa tidak perlu kutanyakan perihal kabarmu.” Lanjutmu.
“Jangan banyak basa-basi,” aku menghardikmu. “Mau apa?” tanyaku.
Kamu mengubur senyum basa-basimu dan terdiam. Lama.
Kamu terdiam begitu lama dan membiarkan aku menikmati udara kering di malam ini. Tumbuhan hijau yang ditanam di taman ini tidak cukup mampu membuatku sejuk. Aku gerah, terutama karena orang yang ada di sebelahku menghembuskan udara dosa dan api neraka yang semakin membuatku tak betah di sana. Pasangan-pasangan yang sedari tadi menghiburku langsung tidak sempat kuperhatikan. Memang aku menikmatinya tadi, tapi sejak kedatanganmu, yang aku rasakan hanya dengki dan amarah membara.
Aku gelisah dan sungguh tak nyaman, tak suka aku mendapati rasa membenci seseorang, terlebih aku terpaksa harus menyanggupi permintaanmu untuk bertemu. Bagaimanapun, benci terhadapmu sungguh tak mampu kuelakkan.
Tolakan dariku bahkan tepisan yang aku berikan padamu tidak cukup mempan, sampai kau meneror orang-orang di sekitarku yang tersisa hingga tak bisa kudiamkan begitu saja. Aku cukup tenang saat mengingat pisau lipat yang aku bawa di tas selempang kecil ini, barangkali kamu mengancam keselamatanku. Makanya, aku memutuskan untuk bertemu denganmu di taman ini. Tempat terbuka dan cukup ramai oleh manusia-manusia sehingga aku bisa saja berteriak minta tolong jika kau berani macam-macam terhadapku.
“Cepatlah, aku muak melihat tampangmu. Katakan ada apa?” tanyaku tak sabar.
Kamu menatapku dalam, entah apa maknanya. Ada semburat di wajahmu yang tak kukenali, ya, setelah lima tahun aku terakhir memutuskan kamu sebagai salah satu orang yang aku kenali, baru kali ini aku melihatmu lagi.
“Aku sudah lama ingin bertemu denganmu,” katamu pelan.
“Sejak berita itu, beberapa peristiwa itu, kamu adalah orang pertama yang ingin aku temui. Namun, aku tahu sungguh aku tak pantas!” Lanjutmu.
Aku tertawa miris, cenderung mengejek. “Apa yang ada di otakmu hingga berpikir aku bersedia menemuimu kala itu? Bahkan sekarang pun aku tidak rela bertemu. Jika bukan karena kau yang mengancam orang-orang di sekitarku, aku tidak rela!” ujarku.
“Sebentar lagi aku mati, Praha.” Ujarmu cepat.
Aku tertawa lagi, “Baguslah. Sebanding untuk apa yang telah kau lakukan selama ini.” ujarku senang. Jahat sekali kedengarannya, aku senang kau mati, setidaknya akan. Terlebih, aku senang karena kau yakin akan segera mati.
“Aku tahu kamu akan senang mendengar berita ini. Karena itu, aku harus bertemu denganmu dulu,” katamu sambil menerawangi sekeliling taman. Kamu seperti mengucapkan itu begitu saja, tidak ada pesan khusus di balik perkataanmu.
“Dengan cara apa kamu akan mati?” tanyaku.
Kamu menggeleng, “Entahlah. Aku hanya tahu bahwa sebentar lagi aku akan mati,” jawabmu.
Aku mengangguk, “Ya, aku tidak peduli. Yang penting kamu akan mati. Biar aku bisa merasa tenang tidak akan ada lagi yang menghancurkan hidup orang-orang sekelilingku.”
“Semoga saja suatu hari kamu mau menerima maafku, Praha.” Ujarmu sambil menunduk, tapi ujaranmu tidak menunjukkan nada sesal sedikitpun.
Aku diam saja, bermain dengan pikiran dan memori pahitku karena kamu.
“Kematianmu tidak akan pernah membayar hidup orang-orang yang telah kau hancurkan. Kematianmu hanya akan membuatku hidupku, juga orang-orang lain, aman.” Kataku.
Aku sudah melebihi dari benci terhadapmu. Makian dan bentakan juga hardikan atau bahkan tangis tidak mampu lagi menampung kebencianku akan kamu. Kematianmu juga tidak akan bisa menghilangkan dengki yang menumpuk jadi dosa seumur hidupku. Kamu adalah makhluk pertama yang aku harap akan segera kudengar kabarnya karena mendapat penyiksaan di neraka. Semoga saja aku masih lebih pantas mendiami Surga ketimbang kamu.
“Aku butuh minta maaf. Hanya tinggal kamu yang hidup kini, dan aku tidak ingin mati dengan kejahatan ini. Ya, baiklah, aku mati sebagai orang jahat, iblis katamu. Tapi, setidaknya, aku memberitahu padamu bahwa aku akan mati, agar kau bisa tenang.” Kamu berceloteh tanpa bisa sedikitpun menarik hatiku untuk memberikan sedekah iba pun untukmu.
“Sudah, selamat tinggal Praha. Tak kuucap kata maaf karena itu hanya kata. Pertemuan ini adalah maaf dan akan menjadi yang terakhir. Hidupilah dirimu dengan tenang,” ujarmu sambil menatapku sesaat lalu beranjak pergi.
Sesak dada ini rasanya. Betapa mudah kamu meminta maaf dan tanpa beban pergi begitu saja. Bahkan, untuk menjadi mati pun kamu seperti siap menghadapinya.
Bagiku, ini tetap tidak adil. Kamu…
Jiwa-jiwa itu. Aku seperti menahan genderang untuk ditabuh hingga meledak menjadi amarah dan dengki yang kuteriakkan dalam air mata. Kematianmu tidak akan mampu membuatku lupa akan adikku yang jiwanya mati dan kini mendekam di Rumah Sakit Jiwa karena ulahmu mencabulinya untuk kesenangan sesaat. Kematianmu tidak akan mampu membuatku lupa akan sahabatku yang memutuskan memotong urat nadinya setelah kau putuskan dia dalam keadaan bunting. Kematianmu tidak akan mampu membuatku lupa betapa Ibuku kini membenci aku yang telah mengenalkanmu dengan adikku. Kematianmu tidak akan pernah mampu membuatku lupa akan hidupku yang harus kusesali karena telah mengenalmu, walau sesaat. Kematianmu tidak akan pernah mampu membuatku lupa bahwa kau adalah surga dari neraka hidupku. Kaulah segalanya, yang membuatku hampir gila untuk hidup.
Kematianmu bukan apa-apa bagiku.
Karena kamu adalah satu-satunya yang paling mungkin mengantarku masuk gerbang kehidupan neraka, karena telah membenci dan dengki terhadapmu seumur hidupku. Karena kamulah yang membuatku harus rela bertemu lagi denganmu di neraka, akibat dosa batin dendamku seumur hidup.
Wajahmu memang agak berubah sejak terakhir kali kita bertemu, lebih rapi dan terawat. Namun, satu hal yang bagiku masih nampak sama adalah kamu tetap menjadi sosok iblis bagiku. Ah, bagiku kata iblis kurang menggambarkan kamu, aku lebih memilih kata yang tidak beradab seperti ‘jahanam’ atau ‘bajingan’ agar terdengar lebih kasar.
Bukan sebuah kesenangan bagiku untuk menyempatkan diri bertemu denganmu, justru aku tahu benar pertemuan denganmu malam ini akan membawaku pada mimpi buruk, mimpi yang ‘horor’, karena kamu mau tidak mau membuka rekaman dalam pikiranku mengenai gambar wajahmu yang ingin sekali kubakar.
“Hai, Praha!” sapamu ramah sambil cengar-cengir yang membuatku sungguh ingin menusukmu dengan bambu tumpul.
Aku tidak bergeming, hanya mengangguk.
“Masih sama, si judes,” ujarmu lalu duduk di sebelahku.
“Baiklah, kalau begitu aku rasa tidak perlu kutanyakan perihal kabarmu.” Lanjutmu.
“Jangan banyak basa-basi,” aku menghardikmu. “Mau apa?” tanyaku.
Kamu mengubur senyum basa-basimu dan terdiam. Lama.
Kamu terdiam begitu lama dan membiarkan aku menikmati udara kering di malam ini. Tumbuhan hijau yang ditanam di taman ini tidak cukup mampu membuatku sejuk. Aku gerah, terutama karena orang yang ada di sebelahku menghembuskan udara dosa dan api neraka yang semakin membuatku tak betah di sana. Pasangan-pasangan yang sedari tadi menghiburku langsung tidak sempat kuperhatikan. Memang aku menikmatinya tadi, tapi sejak kedatanganmu, yang aku rasakan hanya dengki dan amarah membara.
Aku gelisah dan sungguh tak nyaman, tak suka aku mendapati rasa membenci seseorang, terlebih aku terpaksa harus menyanggupi permintaanmu untuk bertemu. Bagaimanapun, benci terhadapmu sungguh tak mampu kuelakkan.
Tolakan dariku bahkan tepisan yang aku berikan padamu tidak cukup mempan, sampai kau meneror orang-orang di sekitarku yang tersisa hingga tak bisa kudiamkan begitu saja. Aku cukup tenang saat mengingat pisau lipat yang aku bawa di tas selempang kecil ini, barangkali kamu mengancam keselamatanku. Makanya, aku memutuskan untuk bertemu denganmu di taman ini. Tempat terbuka dan cukup ramai oleh manusia-manusia sehingga aku bisa saja berteriak minta tolong jika kau berani macam-macam terhadapku.
“Cepatlah, aku muak melihat tampangmu. Katakan ada apa?” tanyaku tak sabar.
Kamu menatapku dalam, entah apa maknanya. Ada semburat di wajahmu yang tak kukenali, ya, setelah lima tahun aku terakhir memutuskan kamu sebagai salah satu orang yang aku kenali, baru kali ini aku melihatmu lagi.
“Aku sudah lama ingin bertemu denganmu,” katamu pelan.
“Sejak berita itu, beberapa peristiwa itu, kamu adalah orang pertama yang ingin aku temui. Namun, aku tahu sungguh aku tak pantas!” Lanjutmu.
Aku tertawa miris, cenderung mengejek. “Apa yang ada di otakmu hingga berpikir aku bersedia menemuimu kala itu? Bahkan sekarang pun aku tidak rela bertemu. Jika bukan karena kau yang mengancam orang-orang di sekitarku, aku tidak rela!” ujarku.
“Sebentar lagi aku mati, Praha.” Ujarmu cepat.
Aku tertawa lagi, “Baguslah. Sebanding untuk apa yang telah kau lakukan selama ini.” ujarku senang. Jahat sekali kedengarannya, aku senang kau mati, setidaknya akan. Terlebih, aku senang karena kau yakin akan segera mati.
“Aku tahu kamu akan senang mendengar berita ini. Karena itu, aku harus bertemu denganmu dulu,” katamu sambil menerawangi sekeliling taman. Kamu seperti mengucapkan itu begitu saja, tidak ada pesan khusus di balik perkataanmu.
“Dengan cara apa kamu akan mati?” tanyaku.
Kamu menggeleng, “Entahlah. Aku hanya tahu bahwa sebentar lagi aku akan mati,” jawabmu.
Aku mengangguk, “Ya, aku tidak peduli. Yang penting kamu akan mati. Biar aku bisa merasa tenang tidak akan ada lagi yang menghancurkan hidup orang-orang sekelilingku.”
“Semoga saja suatu hari kamu mau menerima maafku, Praha.” Ujarmu sambil menunduk, tapi ujaranmu tidak menunjukkan nada sesal sedikitpun.
Aku diam saja, bermain dengan pikiran dan memori pahitku karena kamu.
“Kematianmu tidak akan pernah membayar hidup orang-orang yang telah kau hancurkan. Kematianmu hanya akan membuatku hidupku, juga orang-orang lain, aman.” Kataku.
Aku sudah melebihi dari benci terhadapmu. Makian dan bentakan juga hardikan atau bahkan tangis tidak mampu lagi menampung kebencianku akan kamu. Kematianmu juga tidak akan bisa menghilangkan dengki yang menumpuk jadi dosa seumur hidupku. Kamu adalah makhluk pertama yang aku harap akan segera kudengar kabarnya karena mendapat penyiksaan di neraka. Semoga saja aku masih lebih pantas mendiami Surga ketimbang kamu.
“Aku butuh minta maaf. Hanya tinggal kamu yang hidup kini, dan aku tidak ingin mati dengan kejahatan ini. Ya, baiklah, aku mati sebagai orang jahat, iblis katamu. Tapi, setidaknya, aku memberitahu padamu bahwa aku akan mati, agar kau bisa tenang.” Kamu berceloteh tanpa bisa sedikitpun menarik hatiku untuk memberikan sedekah iba pun untukmu.
“Sudah, selamat tinggal Praha. Tak kuucap kata maaf karena itu hanya kata. Pertemuan ini adalah maaf dan akan menjadi yang terakhir. Hidupilah dirimu dengan tenang,” ujarmu sambil menatapku sesaat lalu beranjak pergi.
Sesak dada ini rasanya. Betapa mudah kamu meminta maaf dan tanpa beban pergi begitu saja. Bahkan, untuk menjadi mati pun kamu seperti siap menghadapinya.
Bagiku, ini tetap tidak adil. Kamu…
Jiwa-jiwa itu. Aku seperti menahan genderang untuk ditabuh hingga meledak menjadi amarah dan dengki yang kuteriakkan dalam air mata. Kematianmu tidak akan mampu membuatku lupa akan adikku yang jiwanya mati dan kini mendekam di Rumah Sakit Jiwa karena ulahmu mencabulinya untuk kesenangan sesaat. Kematianmu tidak akan mampu membuatku lupa akan sahabatku yang memutuskan memotong urat nadinya setelah kau putuskan dia dalam keadaan bunting. Kematianmu tidak akan mampu membuatku lupa betapa Ibuku kini membenci aku yang telah mengenalkanmu dengan adikku. Kematianmu tidak akan pernah mampu membuatku lupa akan hidupku yang harus kusesali karena telah mengenalmu, walau sesaat. Kematianmu tidak akan pernah mampu membuatku lupa bahwa kau adalah surga dari neraka hidupku. Kaulah segalanya, yang membuatku hampir gila untuk hidup.
Kematianmu bukan apa-apa bagiku.
Karena kamu adalah satu-satunya yang paling mungkin mengantarku masuk gerbang kehidupan neraka, karena telah membenci dan dengki terhadapmu seumur hidupku. Karena kamulah yang membuatku harus rela bertemu lagi denganmu di neraka, akibat dosa batin dendamku seumur hidup.
***
11 Juli 2009
blog yang kren , snang bs brknjung k blog ini. ma ksh!!!!
ReplyDeletethx juga untuk mampir dan baca tulisan saya :D salam!
ReplyDelete