Sebuah Nama

Pertama kali aku mendengar namanya, sungguh mulutku tidak mampu berhenti melafalkannya. Sekali aku mendengar namanya, nama lengkapnya, berkali-kali aku mengucapnya kembali seolah aku sedang mencerna sebuah pesan kode yang tak mampu dimengerti dengan gamblang. Hingga malam aku kembali ke peraduan, aku masih mengingat namanya. Sepanjang hari aku bepergian tanpa mendengar suara Reya menyebut nama itu, aku tetap merasa mendengar suara Reya sedang mengucap namanya tepat di corong telingaku. Perlahan, tanpa kesadaran dalam konteks tertentu, namun membekas.

Lama-kelamaan, bukan suara Reya lagi yang bergaung di telinga dan pikiranku. Namanya bergaung begitu merdeka dan melagukan tebakan-tebakan bernada indah. Heran, tentu saja aku heran. Namun, aku begitu menikmati romansa imajinasiku, namanya berhasil membangkitkan satu rekreasi pikiran yang membuatku tersenyum, namanya berhasil mengetuk imajiku, satu satu. Lama-lama, menjadi hasrat yang membukit, menggunung, dan meledak ke dalam sosok impian yang terangkai dengan sendirinya melalui khayalanku.

*

Esok telah menjadi hari ini. Pagi begitu riang kusongsong, dan gelitik geli memulai pagi ini ditandai dengan aku yang melafalkan namanya, lagi. Aku memaknai nama itu hingga pada arti yang terhakiki. Aku menggambarkan sosoknya berdasarkan nama itu, tanpa pernah kutahu atau kujumpa sosoknya. Aku begitu mengagumi ia melalui seuntai nama yang terus bergaung dengan sendirinya, sebuah nama yang diperbincangkan rekanku kemarin. Aku mengenalnya melalui penggambaran orang lain melalui ucapan akan nama itu: Candida Nareswari.

Belum tahu aku apa maknanya, namun bagiku nama ini indah sekali. Potong per potong imajinasiku akan ia bermain mewarnai hariku, membayangkan dirinya, menggambar wajahnya, mewarnai rambutnya, menatap nyata gemulai tubuhnya. Dan aku gila.

Mata ini terpejam, menikmati setiap nafas dari sekian huruf yang menjalin kedua kata dalam nama itu. Aku tersayat untuk mengecup manis nama itu, aku terperi untuk mengejar sosok nyatanya. Lalu aku membuka kembali mata ini. Ah, biarlah, aku menikmati ‘dia’ dalam nama. Teringat penuturan Reya tentang temannya satu ini, kemarin, ketika tanpa sengaja nama Candida Nareswari muncul di perbincangan kami. Cukup aku mengenalnya lewat penggambaran Reya. Jelas, ia perempuan. Nama tak bisa bohong, namun imajinasi bisa bebas berbohong dan aku bebas! Ya, aku bebas menciptakan satu jelmaan dari gadis yang dari namanya bisa membuatku terbayang hingga tak mampu mengelak akan ia. Kehadirannya. Kemanisannya, keteguhannya(karena aku membayangkan Candida adalah orang yang teguh, sesuai dengan pelafalan kata itu dimana terdapat penekanan pada tiap suku katanya), dan kesolekannya sebagai seorang perempuan.

*

Tiga jam berlalu, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Reya, hanya memberitahu bahwa hari ini ia akan menghabiskan waktu bersama ‘Sang Pujaan Imajiner’ku, Candida, yang menjadi ‘Kaia’, sebuah singkatan dengan memungut huruf vokal pada namanya dan mengganti C dengan ucapan lebih Indonesia: K. Kaia, dalam Bahasa Yunani berarti ‘bumi’. Bumi, dengan metafora yang sering ditemui menjadi ‘Ibu’: sumber kehidupan. Reya mengajakku untuk bergabung sekalian ingin mengenalkanku dengan sahabatnya semasa kuliah itu.

Aku menimbang, memutar-mutar ponsel di atas meja. Membayangkan sosok Kaia, Candida Nareswari, atau siapapun dia. Ah, tidak, bagiku ia adalah Candida Nareswari, yang membuatku mabuk kepayang selama semalam. Ia, yang membuatku bagai disantet hanya dengan mendengar dua ucap namanya. Ia, yang membuatku berhasil mendesain seorang perempuan impian dalam imaji. Terpuruk kedengarannya, tapi toh, keterpurukanku yang tampak malang ini membuatku bahagia sedari malam tadi.

Tidak, aku menolak untuk bertemu dengan sosok nyata Candida Nareswari. Aku ingin dia hidup dalam khalayanku saja. Ia begitu sempurna dalam imajinasiku, dan ia begitu hidup melalui degup jantung tak beraturan ini, melalui nafas yang tersengal ketika membayangkan seorang ia yang hidup dalam alam tak nyata ini, dan melalui ia yang hanya sebuah nama bagiku.

Biarlah, aku jatuh cinta pada sebuah nama.
Dan ia akan aku biarkan untuk terus menjadi sebuah nama bagiku, tanpa wujud aslinya.
Aku jatuh cinta pada nama Candida Nareswari: sang cahaya putih terterang sebagai perempuan yang terutama.
Ia akan tetap menjadi sempurna bagiku, karena tidak ada kesempurnaan pada yang nyata di luar imaji.


***


"Everything you can imagine is real."-Pablo Picasso




Bandung, 17 Februari 2010 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar