Prahara Pernikahan


Can I be forgiven?
Can I be unforgotten?

Satu hal yang muncul di benakku sejauh ini hanyalah kedua kalimat tanya di atas. Aku masih melamun, di sini. Tidak ada yang menemani. Sore ini aku lewati sengaja untuk menikmati pemandangan bukit seberang, sendirian. Aku menghirup aroma teh hangat yang tersaji di depanku, pandanganku lurus ke depan, dahiku mengernyit sebagai respon dari pikiranku yang entah kemana.

Bisakah aku dimaafkan kali ini?

Sebagian orang yang aku kenal selalu percaya, akan selalu ada alasan di balik peristiwa. Hanya saja, kemana alasan milikku? Mengapa aku tidak mengerti apa yang sedang aku alami? Baiklah, aku mungkin tahu apa yang terjadi, hanya saja, aku tidak bisa jujur. Aku tidak mungkin jujur, karena apa yang terjadi pada diriku adalah abstrak.
Slurrppp... Teh ini hangat, sedikit menenangkan pikiranku. Selanjutnya, aku kembali duduk termangu, melipat tangan, serta menunggu waktu yang tepat untuk membakar sebatang rokok. Pemandangan yang terhampar di depanku tampak biasa saja, anginlah yang membuat atmosfer sejuk aku rasakan. Aku berhenti pada titik ini, aku tersesat pada titik ini. Titik dimana aku merasa telah mengganti pakaian dengan sepasang pakaian yang sangat aku benci.

Ya, aku, sedikit-sedikit telah beranjak ke arah pribadi yang sangat aku benci. 
Aku, telah menjadi tidak manusiawi.

Sekecil apapun masalah perasaan, aku sangat mengerti dan mencoba segala cara untuk menjaga miliknya. Tapi, belakangan ini, aku gagal. Sungguh gagal untuk menjaga perasaan yang pasti ia rasakan tentangku.

Lamunanku ini sungguh tidak memberi apapun. Namun, aku hanya merasa lega ketika memiliki waktu sesempit ini dan menghabiskannya dengan diam, tanpa harus berkata apapun. Sampai dering telepon genggamku terdengar, membuyarkan masa mesra yang sedang aku jalin dengan pikiranku sendiri.

“Kamu telah menipuku.” Ujar suara di seberang.
Aku membenarkan posisi duduk, tidak ada hasrat untuk membakar sebatang rokok pun.
“Bicaralah!” ia berkata dengan nada instruktif namun jauh dari ketus sekalipun.
“Aku tidak berbuat curang padamu.” Jawabku singkat.
“Baiklah. Aku ingin bertemu, malam ini.” ujarnya singkat, lagi-lagi memberi perintah halus, lalu segera memutuskan sambungan telepon.

Hela napas yang cukup panjang harus aku berikan pada diriku sendiri. Apalah artinya pikiran ini jika memang semuanya hanya akan berjalan tanpa arah. Apalah artinya aku terus menjadi manusia gloomy jika aku sendiri tidak mengerti apa yang aku inginkan. Apalah artinya aku terus berdialog dengan intuisi jika aku menyadari, tidak ada situasi seperti yang aku inginkan, bakal terjadi. Situasi, yang mungkin, menjadi satu-satunya penyembuhan bagiku.

*
20.00
Sosok itu sudah menungguku. Tampak termangu sendiri dengan wajah tidak karuan. Aku dapat mengenali ekspresi wajahnya yang gundah, hanya saja, ia tetap tampak tenang secara sekilas. Aku yakin orang sekitar tidak akan menyangka orang yang duduk di bawah naungan atap sama dengan mereka ini sedang menanti kekasihnya untuk membicarakan perihal, yang kata mereka, penting dalam kehidupan ini.

Kutarik kursi di hadapannya. Aku mencoba tersenyum. Aura tenang selalu berhasil ia ciptakan setiap kehadiranku muncul di hadapannya. Kami diam, hanya saling menatap, tersenyum sekilas, menyalakan rokok, kembali bertatapan, hingga salah satu dari kami jengah akan hening yang penuh sejuta makna ini.

“Kamu...” ia memulai percakapan. Sayangnya, aku menyela begitu saja tanpa pikir-pikir.
“Aku tidak ingin berbicara masalah kecurangan yang kamu rasa. Aku tidak ingin juga berbicara mengenai tipuan yang kamu pikir aku perbuat. Aku tahu, banyak yang harus kita bicarakan.” Selaku.

Ia masih menatapku. Hisapan rokoknya begitu dalam, mencoba untuk berharap ada pembenahan yang mungkin dapat tertuang ke dalam kata-kata melalui hisapan rokok itu.

“Baiklah. Kalau begitu, anggap saja kamu sedang bersandiwara.” Ia bercanda.
Aku terkikik sinis. “Sandiwara berbicara mengenai hal yang palsu, hanya settingan. Dan aku sedang tidak melakukan hal yang dibuat-buat.”
“Kalau begitu, apa?” ia bertanya.
“Aku mencoba jujur dengan diriku, hanya itu.” Jawabku singkat.

Ia menatapku penuh makna.
Oh, rembulan. Malam ini adalah purnama, dan biasanya hal ini indah bagiku. Namun, kini, saat ini, aku merasa suram, bersalah pada diriku jika aku luruh akan kegundahannya, tidak lupa juga aku mencari pembenaran dengan menyalahkan keadaan.

“Kita sudah sepakat. Kamu tahu itu.” Ia berujar.
Aku mengangguk. “Benar, kita sudah sepakat. Aku pun tidak main-main ketika mengucap kata sepakat denganmu,” ujarku. “Hanya saja, proses yang aku lalui memimpin aku ke arah yang berbeda. Apa yang bisa aku lakukan?” lanjutku.

“Tatalah kembali pikiranmu. Kamu tenangkan saja dirimu, lalu pikirkan kembali. Telah lama kita menanti semua ini.” ujarnya lemas namun bukan memohon.

Lelaki ini sungguh kuat. Ia sangat aku kagumi. Betapa ia mampu mengendalikan keadaan yang mungkin bagi orang lain bisa menjadi keadaan yang penuh pertengkaran. Ternyata, kami justru membicarakan ini seolah mencari solusi baju mana yang sebaiknya aku pakai untuk menghadiri resepsi pernikahan teman. Seolah mencari solusi mobil mana yang seharusnya aku beli. Seolah mencari solusi bagaimana aku mengatasi masalah finansialku.


“Proses telah membuatku melakukan semua yang telah kamu anjurkan.” Jelasku.
Ia menggeleng. “Tidak. Bukan. Sama sekali bukan itu,” ujarnya sambil mematikan puntung rokok ke asbak. 
“Kamu membenarkan situasi yang bisa membuatmu lega. Tapi kamu tidak tahu mana yang benar mana yang tidak.” Ia bergelut dengan perkataannya sendiri. 
Tampak dari ekspresi yang ia tunjukkan. Rasio dan perasaannya bergelut sangat hebat hingga perujaran yang ia keluarkan terdengar kosong bagiku.

“Kamu hanya egois.” Ia lagi-lagi menarik kesimpulan atas diriku.
“Tidak,” aku menggeleng yakin dengan tetap meletakkan dagu di atas telapak tangan yang kutekuk di atas meja. 
“Aku bukan egois. Aku menjawab apa yang aku pertanyakan kepada diriku sendiri. Aku tidak bisa menikahimu.” Jelasku.
“Kamu tidak mencintaiku untuk saat ini,” ia bersikeras. “Tapi kamu mencintaiku saat yang lalu, dan akan, saat ke depan.” Katanya.
“Aku mencintaimu hingga detik ini. Aku tidak tahu esok.” Bantahku.
Ia menatapku dalam. Kedua telapak tangannya meraih telapak tanganku. “Tolong, pikirkan lagi.” Pintanya.

Aku balik menatapnya dalam. 
“Sudah kulakukan dalam waktu yang lama.” Aku tersenyum padanya. 
“Aku mencintaimu. Sungguh. Kamu adalah lelaki terhebat bagiku, dan mungkin tidak akan pernah dikalahkan siapapun,” segala emosi berkecamuk ketika aku terpaksa menjelaskan panjang lebar kepadanya. 
“Hanya saja, aku tidak bisa hidup denganmu. Kita tidak akan bisa bekerjasama untuk hidup bersama. Kamu diciptakan bukan untuk melindungiku. Kamu diciptakan untuk menjadi pelengkapku. Kamu diciptakan untuk mengisi relung yang selama ini aku rindukan. Namun, kamu diciptakan bukan untuk menjadi teman hidupku.” Ujarku.

“Aku mencintaimu, dengan seluruh hatiku, aku tidak pernah membantah itu.” Lanjutku. “Namun, kamu bukan lelaki yang bisa membuatku merasa menjadi wanita seutuhnya. Bersamamu aku merasa sungguh semangat, bersamamu aku merasa nyaman. Namun, dengan bersamamu lebih lama lagi, aku tidak akan menikmati hidupku. Aku tahu, ini adalah akhirnya.”

Ia menunduk. Kedua tangan ia tarik untuk mengusap kening. 
“Bagaimana mungkin dari segala penjelasanmu itu, kau masih menganggap kita tidak bisa bersama?”
Aku mencoba tersenyum tulus padanya. Aku sungguh mengagumi lelaki ini.
“Aku sungguh mengagumimu dan kamu tahu aku tidak akan pernah berhenti mengagumimu.” Ujarnya pelan, putus asa. Ia tidak berani menatapku ketika aku mengatakannya.
“Bagaimana mungkin?” ia menatap kedua bola mataku penuh pengharapan.

Ketika aku merasa hidup bersamanya, aku pun merasa mati akan diriku. Ketika aku merasa ia begitu mencintaiku, aku merasa begitu lemah dan tidak memiliki gejolak yang mampu memacuku. Saat itu, dulu, aku pernah sungguh memuja dia dengan segala hasrat yang tercurah. Kini, aku sungguh mencintainya. Hanya saja, aku tidak lagi memujanya. Aku butuh sesuatu yang membuatku merasa bahwa hidup ini bukan sebuah garis lurus, linear, yang dengan mudah akan aku lalui. Aku merasa telah memenangkan hatinya, dan aku merasa....berkuasa.

“Ini hanya intuisi,” ujarku berat.
“Aku merasa berkuasa atas hidupku, begitu pula aku merasa berkuasa atas kamu. Dan itu, adalah salah untuk memulai sebuah pernikahan. Maafkan aku.” Aku beranjak berdiri. Mengecup kening lelaki itu sesaat dan pergi begitu saja.

She’s waving to all the rules and norms that might tighten her, that told her once how primary marriage was for a woman. In she sees a lot of things she wants to be married with in life, more than this guy, for now. 

I look at you and see a friend
I hope that’s what you wanna be
Are we back now where
it all began?
Have you finally forgiven me?
You gathered my dreams in
When they all blew away
And then tricked them
back into me
You saved me I was
almost dead
I don’t wanna hurt you
I don’t wanna make you sway
(The Perishers-Sway)
“Can I be forgiven?” then she asks.


29 September 2008
*originally was "Can I be Forgiven?"

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar