Meregang, Mencelah, Merusak
Meregang, mencoba untuk membuat diri menjadi lebih luas dari sebelumnya. Mencoba untuk melepas pasak-pasak yang selama ini mengurung kanan-kiri, depan-belakang, sehingga jangkauan kaki lebih jauh tanpa takut tertancap duri di salah satu sisi. Melakukan sodokan-sodokan di langit-langit kamar agar lapisan putih itu terbuka lebar, menunjukkan gelap akibat genteng telah menghalangi sinar yang hendak masuk. Terus menyodok hingga akhirnya lega, udara bebas masuk begitupun garis kuning yang menyilaukan mata menyinari pelupuk mata hingga ujung kuku kaki yang tak rata dan pucat.
Kita tak bisa menghalangi udara untuk bebas membelit sekujur haluan tubuh bergerak. Bagaimana caranya kita menolak untuk mengakui bahwa udara adalah yang terutama bagi kehidupan? Jangan sambut sesak, jika pun telah terlanjur sesak, tak pernah mungkin kita cegah untuk mencari celah. Siapa yang tak ingin celah? Kita adalah manusia pencari celah, karena kesempatan selalu menjadi sesuatu yang tersedia gratis dalam celah.
Kadang kita tak bisa percaya bahwa kita telah menyebabkan diri sendiri menjadi sesak, hingga akhirnya tak mampu mencari obyek yang patut dijadikan kambing hitam dan sadar bahwa satu pelaku adalah kita. Aku, kamu, dia! Hanya satu.
Udara tak kemana. Ruang tak selalu sempit. Mungkin terlalu banyak rongsokan teronggok di sudut sana, sudut sini, sudut satu lagi, dan ah! Di sebelah situ pun kita tumpuk bantalan benda yang sudah lama tak pernah dilihat, hanya teronggok pasrah menunggu giliran mereka untuk dibuang, atau dilihat kembali jika ternyata salah satu masih ada yang berguna.
Meregangkan kaki, tangan, kepala, sekujur tubuh, untuk mencipta celah agar ruang meluas! Tak usah bukakan pintu jika ada yang mengetuk. Siapapun itu tak tahu kita sedang sibuk di dalam sini, membereskan segala sesuatu agar rapi dan tak membuat malu jika tamu berkunjung. Jika salah satu dari kita buka pintu itu dan biarkan dia masuk, maka kita akan berhenti membereskan lalu menjadi lupa sesaat setelah dia pergi lagi. Kita hanya menunda pekerjaan rumah yang seharusnya bisa dibereskan saat ini juga. Akhirnya, rumah kita akan selalu berantakan karena sibuk menerima tamu yang tak pernah mau tahu pekerjaan kita.
Jika ia memaksa masuk, menggedor pintu dan berteriak menyahuti kita, biarkan saja. Matikan lampu agar ia pikir kita sudah tidur. Malu dan tahu dirinya sebagai manusia akan membuat dia baik-baik saja untuk melangkah pulang. Walau mungkin dia kesal, tapi bagaimana lagi? Dia tak berhak menjadi kesal di rumah kita. Kau dan aku punya kewajiban yang harus dibereskan di segala sudut sini, daripada dia bermain-main di segala penjuru rumah sambil sesekali digigit oleh nyamuk, dirayap oleh serangga, dan bersin-bersin karena debu, lebih baik tunda saja silaturahminya itu.
Jika besok ada lagi yang berkehendak masuk, biarkan saja dia di luar.
Jika kita lama-lama dibuat sesak oleh orang-orang yang mengetuk karena begitu ingin bermain di rumah kita, bagaimana?
Kalau begitu biarkan saja rumput di halaman itu bertumbuh, menjalari pagar kayu yang makin reyot dan memakan tanah di sekitarnya. Menjadikan rumah ini tampak liar, mengusamkan cat yang membuat rumah kita tampak pucat, mematikan aura hangat rumah yang selalu menarik perhatian mereka untuk datang berkunjung. Agar rumah kita tampak tak berpenghuni.
Biar saja lama-lama mereka pikir ini adalah rumah hantu, tanpa penghuni yang tak pernah terlihat batang hidungnya, tanpa kehangatan yang mereka harap dapat temukan.
Dengan begitu, kita bisa leluasa membersihkan rumah ini, lalu menatanya menjadi kembali rapi.
Biarkan saja kita egois, daripada kita harus berkorban menjadi penghuni rumah kumuh karena meladeni ego mereka?
Meregang, memungut satu per satu sampah, menyusun tatanan buku sesuai abjad judul, mengikis lapisan berdebu, menata perlahan, dan ketukan-ketukan ego mereka terus terdengar tiap hari. Tanpa henti, memancing aku dan kamu membuka pintu itu untuk mengusir wajah-wajah itu, satu per satu, atas kekejaman ego mereka yang tak mampu menunggu.
…
Hingga dia terus-menerus ada di depan pintu itu. Hujan, panas, badai, udara tak beriklim, dia masih ada. Tak mengetuk, tapi segala derik geraknya terdengar. Tak makan, tak mati, tak hidup.
Kita menyerah, bukakan saja.
Dia bilang,
‘Biarkan aku membantumu membereskan beberapa bagian,’
Bandung, 05 November 2009
Comments
Post a Comment