Terkutuklah Kami untuk Mencinta
Ia terbangun saat pagi masih terlalu dini untuk menyergap pembuluh darahnya. Udara dingin menyusup ke segala ruang dan pori yang membakukan tubuhnya untuk menggigil dan bulu kuduknya berdiri. Embun menjadi alarm di kala fajar bahkan masih malas untuk menyentaknya.
Terusap dalam kelembutan peraduan, ia terjaga. Tangan kanannya mengelus sisi kanan tempat tidur, ia meraba permukaan kulit. Menoleh ia ke kanan, menatapnya lama sambil mengumpulkan kesadaran yang seolah membangunkannya dari mati suri.
Dia terbaring di sana, masih lelap. Siluet tubuhnya membuat ia sadar, ini adalah satu hari setelah kemarin. Memejamkan mata mencoba memutar rekaman di satu hari lalu, ia lalu dapat menggambar dengan jelas pelaminan itu, lengkap dengan kesederhanaan namun hikmat yang hadir di sana.
Benar, aku telah menikah.
Ia membatin dalam hatinya yang tersenyum menyambut embun pagi. Dia adalah bukti nyata yang kini berbaring di satu peraduan dengannya, masih menyisakan cerita indah akan hari kemarin, akan semalam.
Ia beranjak bangun dari tempat tidur, berjalan menuju jendela berukuran seluruh dinding kamar pengantinnya, tanpa teralis yang seolah memenjarakan kehidupan di dalam ruang hangat. Karena ia tidak pernah menyukai jalinan besi-besi itu di balik kaca yang menyuguhkan keindahan alam luar. Mengintip di balik gorden kuning pucat, ia menyaksikan pagi belum tiba.
Pukul 05.30 ia telah terjaga sebagai seorang istri.
Hari pertamanya menjalankan mahligai pernikahan yang sakral bagi manusia sekaligus tugas yang Tuhan pinta manusia untuk emban. Bahwa kehidupan tidak pernah sebagai satu, namun menyatu. Bahwa pernikahan hanyalah prosesi yang membuat manusia sadar sepenuhnya tentang makna ikatan, lebih dari segala resiko yang dimiliki tantangan paling berbahaya seumur hidup. Karena baginya, pernikahan adalah tantangan paling berbahaya dalam hidup.
Pernikahannya.
Benar, aku berdiri di sini lebih dari apapun yang pernah kau pinta untuk menjadi. Bahwa aku kini adalah pasanganmu, istrimu. Ia membatin di tepi jendela sambil memandang dia yang mengetahui batinnya lebih dari ucapan kata.
“Selamat pagi, pengantinku,” ucap dia sambil mengecup keningnya di pagi yang telah nyata. Dua piring berisi telur mata sapi dan empat tangkup roti telah tersaji di atasnya, tak lupa kopi dan teh untuk teman di pagi itu.
Sebatang rokok ia nyalakan setelah mengumbar senyum cerah di hari yang adalah awal dari garis hidupnya, untuk bertarung secara nyata.
Pagi itu mereka ditemani oleh koran dan siaran televisi yang menyiarkan ulasan sebuah pulau di bagian timur Indonesia, terkenal dengan pantai dan lautnya yang indah.
“We should go there, one day.” Ujar ia sambil memakukan pandangannya, menyimak siaran itu.
Dia menoleh, menyaksikan apa yang ditontonnya.
“Lalu marilah kita pergi ke sana,” sahut dia.
Ia diam, menghela nafas sejenak, “Bulan madu yang akan datang,” ujarnya singkat lalu menyantap sarapan pagi itu.
Jika ada yang pernah berpikir bahwa pernikahan adalah hal yang menakutkan, maka bagi ia, adalah benar. Sedari dulu, ia tidak pernah mendamba sebuah pernikahan yang harmonis. Baginya, harmonis dapat didapat jika ia mampu merasa bahagia dengan pasangannya. Pun, baginya, kadar bahagia bagi tiap orang berbeda. Apa yang mampu ia lafalkan dalam nafasnya jika hidup menyimpan misteri yang begitu besar, banyak, dan sungguh tak bisa diduga kapan datangnya. Seperti pernikahannya ini, sebuah pernikahan yang tak pernah ia sangka akan terwujud dan terpenting, membuatnya bahagia.
Bukanlah sebuah kisah cinta yang mendayu-dayu atau memiliki romansa mutlak yang menggiring mereka ada dalam kehidupan ini, kehidupan pernikahan. Bukanlah sebuah fase yang telah mereka nantikan untuk bisa menjadi sepasang pengantin seperti yang telah mereka laksanakan kemarin. Bukanlah hal yang mudah, untuk mengucap ikrar sehidup semati bagi mereka. Bukanlah, cinta yang mudah, bagi mereka.
Satu hal yang ia rasa hingga detik ini ia berjalan di trotoar kota, menuju kehidupan hari itu. Karena pernikahannya dengan ia memang dilandasi oleh kasih, oleh cinta, demikian manusia mengatakannya. Namun, karena pernikahannya tidak diiringi oleh tawa, melainkan haru. Bukan pesta yang merayakan pernikahan mereka, tapi momen yang menjadi tugu abadi yang menandakan cinta ini telah sah untuk dijalani.
“Bagaimana sang pengantin menatap hari ini, huh?” ujar sang perempuan beberapa menit saat ia menjejakkan pantatnya di atas kursi beralas bantal empuk.
Sebuah kafe tempat pertemuan mereka sedari beberapa tahun yang lalu, menjadi saksi segala cerita dan emosi juga asa yang tumpah di antara mereka. Kebanyakan waktu, tempat itu adalah segalanya bagi atmosfer persahabatan dua perempuan dewasa ini.
Ia tak banyak senyum, ia bahkan tak terlihat berbinar di depannya.
“Bahagia,” seuntas kata terucap dengan tulus.
Sang perempuan mengernyitkan dahinya,
“Tak kupercaya aku melewatkan pernikahan sahabatku sendiri!” ujar sang perempuan dengan penuh sesal.
“Bahkan yang aku tak percaya lagi, bisa-bisanya aku tak mengenal pun mengetahui siapa gerangan laki-laki yang beruntung itu!” lanjutnya.
Ia tertawa, lalu menyeruput sedikit jus jeruk yang menemani makan siang mereka di siang terik kota itu.
“Aku berharap kau akan mengenalnya, suatu saat nanti,” ujar ia.
“Tentu aku harus mengenalnya! Dimana suamimu sekarang?” tanya sang perempuan.
Ia terdiam, lama. “Dia baru saja berangkat ke luar negeri, pesawat pertama pagi ini,” ujarnya.
“Ah! Sungguh aku menyesal tak bisa meluangkan waktu kemarin! Aku tak bisa lagi mengambil cuti lebih awal. Ditambah, tunanganku tiba-tiba membatalkan janji bertemu kemarin. Ia ada urusan mendadak, ah ya, hari ini aku akan bertemu dengannya.” Ujar sang perempuan.
“Bagaimana penerbanganmu tadi pagi?” tanya ia. Sang perempuan meluangkan waktu telat sehari karena pekerjaan yang tak bisa ditunda hingga kemarin malam.
Sang perempuan melahap nasi bistik sapi kesukaannya, “Ya begitu. Lelah masih belum bisa pergi dari tubuhku, namun demi kau dan tunanganku, aku tak akan pernah lelah!” ujarnya sambil mengedipkan mata.
Sekitar delapan puluh menit lebih mereka berbincang akan kisah yang pernah terjalin sepanjang persahabatan mereka terjalin, tawa dan air mata tak pelak keluar saking haru dan bahagia menyergap sepasang sahabat ini. Begitu lama tuntutan hidup memisahkan mereka dan memaksa hidup mereka bagi melalui dunia semu yang tak menjamin apapun. Pun, akhirnya mereka berjalan ke arah yang berbeda dari pintu keluar kafe itu, menuju kehidupan selanjutnya yang telah menanti di hari itu.
Malam hari di hari keempat belas bulan ketujuh menjelma menjadi satu tonggak yang ia dan dia sadari, akan mengubah segalanya. Peraduan itu siap menyambut mereka di malam kedua dalam mahligai rumah tangga yang tak akan pernah semudah di bayangan. Segala sesuatu sudah terlanjur menjadi begitu sulit, dan salah, namun terasa benar. Tidak ada yang mudah dalam menjadi insan yang hidup sebagai seorang dewasa.
Dia tiba beberapa jam setelah ia telah menantinya di rumah.
Ia menanti dengan hati yang telah terpaku menjadi seperti itu selama beberapa tahun, sulit.
Tatapan mata sepasang pengantin baru ini menjemput malam kedua dalam rumah tangga mereka. Hanya ia dan dia yang mengerti apa maknanya, hanya mereka. Karena dunia tak lagi mau tahu apalagi peduli. Karena hidup mengajarkan benar dan salah tak pernah ada.
Karena cinta mengajarkan mereka untuk tak melawan, pada akhirnya. Jika memang itu cinta.
Dia memeluk ia yang menghambur kencang ke dalamnya.
Mereka saling berdekap, lama, tanpa bicara, tanpa tatap, namun hangat dan aman.
“Sudah aku akhiri semuanya,” ujar dia.
Mereka berjalan berdampingan menuju sofa. Bahkan dalam jarak yang sedemikian dekat, mereka tak berani untuk melepas genggaman tangan satu sama lain.
“Aku pun,” ujar ia.
Ia mengambil sepucuk surat yang baru saja ia tulis tadi sore, setibanya di rumah. Tertera alamat yang dituju, tanpa nama pengirim. Namun bukan itu yang penting.
Ia memerlihatkan surat selembar itu kepada dia.
“Bacalah, untuk yang pertama dan terakhir,” ujar ia.
Dia menghela napas sambil menatap ia, tatapan yang mungkin tak akan pernah mereka sadari, hanya ada di antara mereka. Sepasang pengantin baru yang sanggup bertarung dengan dunia, dengan hidup, dengan apapun yang selama ini menjadi ketakutan semua orang, juga mereka.
Lipatan itu terbuka, dengan penuh rasa takut namun tegar, dia membaca perlahan. Baris per baris yang telah terlukis oleh tulisan tangan sang istri.
“Jika memang ini menjadi kutukan yang pernah ada di semua dongeng, ini adalah nyata. Aku sungguh tak pernah tak mencintaimu. Aku sungguh tak pernah mampu untuk berbohong padamu. Hingga detik ini, aku tak mampu membohongimu. Bahwa aku dengan sepenuh hati menyayangimu. Namun, aku pun yakin tak ada satupun yang pernah merasa cinta sebesar ini. Cinta yang bisa mengalahkan dunia kiamat tanpa rasa takut.
Sedikit pun dalam hela nafasku, tiap detik dalam mimpiku, sengsara adalah aku. Derita adalah cinta ini. Namun, cinta adalah anugerah ini. Aku sungguh tak kuat lagi untuk berdiri dalam pelukan cinta palsu yang ternyata begitu menggiurkan di dunia. Cinta tanpa tonggak kokoh, cinta yang tak pernah mampu melawan takut, dan cinta yang tak menjamin apapun dalam hidupku.
Berat untuk aku melakukan ini, namun cukup.
Aku memang akan menjadi batu yang kau kutuk seumur hidup, dan oleh karena itu, aku pasrah kehilanganmu. Aku tak bisa memilih, namun aku bisa pasrah. Ikhlas. Untuk menjauh dari hidupmu.
Percayalah, tidak ada cinta sebesar ini dalam hidup siapapun.
Maafkan aku,
Jika ini bukan cinta untuk mati, aku akan lebih memilih membunuh diriku di hadapanmu.
Maafkan aku, karena telah mengkhianatimu.
Maafkan aku, karena telah membunuhmu.
Maafkan aku, karena telah menikah dengan tunanganmu.”
Tertera sebuah nama di amplop surat itu,
Nama Sang Perempuan.
Terusap dalam kelembutan peraduan, ia terjaga. Tangan kanannya mengelus sisi kanan tempat tidur, ia meraba permukaan kulit. Menoleh ia ke kanan, menatapnya lama sambil mengumpulkan kesadaran yang seolah membangunkannya dari mati suri.
Dia terbaring di sana, masih lelap. Siluet tubuhnya membuat ia sadar, ini adalah satu hari setelah kemarin. Memejamkan mata mencoba memutar rekaman di satu hari lalu, ia lalu dapat menggambar dengan jelas pelaminan itu, lengkap dengan kesederhanaan namun hikmat yang hadir di sana.
Benar, aku telah menikah.
Ia membatin dalam hatinya yang tersenyum menyambut embun pagi. Dia adalah bukti nyata yang kini berbaring di satu peraduan dengannya, masih menyisakan cerita indah akan hari kemarin, akan semalam.
Ia beranjak bangun dari tempat tidur, berjalan menuju jendela berukuran seluruh dinding kamar pengantinnya, tanpa teralis yang seolah memenjarakan kehidupan di dalam ruang hangat. Karena ia tidak pernah menyukai jalinan besi-besi itu di balik kaca yang menyuguhkan keindahan alam luar. Mengintip di balik gorden kuning pucat, ia menyaksikan pagi belum tiba.
Pukul 05.30 ia telah terjaga sebagai seorang istri.
Hari pertamanya menjalankan mahligai pernikahan yang sakral bagi manusia sekaligus tugas yang Tuhan pinta manusia untuk emban. Bahwa kehidupan tidak pernah sebagai satu, namun menyatu. Bahwa pernikahan hanyalah prosesi yang membuat manusia sadar sepenuhnya tentang makna ikatan, lebih dari segala resiko yang dimiliki tantangan paling berbahaya seumur hidup. Karena baginya, pernikahan adalah tantangan paling berbahaya dalam hidup.
Pernikahannya.
Benar, aku berdiri di sini lebih dari apapun yang pernah kau pinta untuk menjadi. Bahwa aku kini adalah pasanganmu, istrimu. Ia membatin di tepi jendela sambil memandang dia yang mengetahui batinnya lebih dari ucapan kata.
***
Sebatang rokok ia nyalakan setelah mengumbar senyum cerah di hari yang adalah awal dari garis hidupnya, untuk bertarung secara nyata.
Pagi itu mereka ditemani oleh koran dan siaran televisi yang menyiarkan ulasan sebuah pulau di bagian timur Indonesia, terkenal dengan pantai dan lautnya yang indah.
“We should go there, one day.” Ujar ia sambil memakukan pandangannya, menyimak siaran itu.
Dia menoleh, menyaksikan apa yang ditontonnya.
“Lalu marilah kita pergi ke sana,” sahut dia.
Ia diam, menghela nafas sejenak, “Bulan madu yang akan datang,” ujarnya singkat lalu menyantap sarapan pagi itu.
***
Bukanlah sebuah kisah cinta yang mendayu-dayu atau memiliki romansa mutlak yang menggiring mereka ada dalam kehidupan ini, kehidupan pernikahan. Bukanlah sebuah fase yang telah mereka nantikan untuk bisa menjadi sepasang pengantin seperti yang telah mereka laksanakan kemarin. Bukanlah hal yang mudah, untuk mengucap ikrar sehidup semati bagi mereka. Bukanlah, cinta yang mudah, bagi mereka.
Satu hal yang ia rasa hingga detik ini ia berjalan di trotoar kota, menuju kehidupan hari itu. Karena pernikahannya dengan ia memang dilandasi oleh kasih, oleh cinta, demikian manusia mengatakannya. Namun, karena pernikahannya tidak diiringi oleh tawa, melainkan haru. Bukan pesta yang merayakan pernikahan mereka, tapi momen yang menjadi tugu abadi yang menandakan cinta ini telah sah untuk dijalani.
“Bagaimana sang pengantin menatap hari ini, huh?” ujar sang perempuan beberapa menit saat ia menjejakkan pantatnya di atas kursi beralas bantal empuk.
Sebuah kafe tempat pertemuan mereka sedari beberapa tahun yang lalu, menjadi saksi segala cerita dan emosi juga asa yang tumpah di antara mereka. Kebanyakan waktu, tempat itu adalah segalanya bagi atmosfer persahabatan dua perempuan dewasa ini.
Ia tak banyak senyum, ia bahkan tak terlihat berbinar di depannya.
“Bahagia,” seuntas kata terucap dengan tulus.
Sang perempuan mengernyitkan dahinya,
“Tak kupercaya aku melewatkan pernikahan sahabatku sendiri!” ujar sang perempuan dengan penuh sesal.
“Bahkan yang aku tak percaya lagi, bisa-bisanya aku tak mengenal pun mengetahui siapa gerangan laki-laki yang beruntung itu!” lanjutnya.
Ia tertawa, lalu menyeruput sedikit jus jeruk yang menemani makan siang mereka di siang terik kota itu.
“Aku berharap kau akan mengenalnya, suatu saat nanti,” ujar ia.
“Tentu aku harus mengenalnya! Dimana suamimu sekarang?” tanya sang perempuan.
Ia terdiam, lama. “Dia baru saja berangkat ke luar negeri, pesawat pertama pagi ini,” ujarnya.
“Ah! Sungguh aku menyesal tak bisa meluangkan waktu kemarin! Aku tak bisa lagi mengambil cuti lebih awal. Ditambah, tunanganku tiba-tiba membatalkan janji bertemu kemarin. Ia ada urusan mendadak, ah ya, hari ini aku akan bertemu dengannya.” Ujar sang perempuan.
“Bagaimana penerbanganmu tadi pagi?” tanya ia. Sang perempuan meluangkan waktu telat sehari karena pekerjaan yang tak bisa ditunda hingga kemarin malam.
Sang perempuan melahap nasi bistik sapi kesukaannya, “Ya begitu. Lelah masih belum bisa pergi dari tubuhku, namun demi kau dan tunanganku, aku tak akan pernah lelah!” ujarnya sambil mengedipkan mata.
Sekitar delapan puluh menit lebih mereka berbincang akan kisah yang pernah terjalin sepanjang persahabatan mereka terjalin, tawa dan air mata tak pelak keluar saking haru dan bahagia menyergap sepasang sahabat ini. Begitu lama tuntutan hidup memisahkan mereka dan memaksa hidup mereka bagi melalui dunia semu yang tak menjamin apapun. Pun, akhirnya mereka berjalan ke arah yang berbeda dari pintu keluar kafe itu, menuju kehidupan selanjutnya yang telah menanti di hari itu.
***
Dia tiba beberapa jam setelah ia telah menantinya di rumah.
Ia menanti dengan hati yang telah terpaku menjadi seperti itu selama beberapa tahun, sulit.
Tatapan mata sepasang pengantin baru ini menjemput malam kedua dalam rumah tangga mereka. Hanya ia dan dia yang mengerti apa maknanya, hanya mereka. Karena dunia tak lagi mau tahu apalagi peduli. Karena hidup mengajarkan benar dan salah tak pernah ada.
Karena cinta mengajarkan mereka untuk tak melawan, pada akhirnya. Jika memang itu cinta.
Dia memeluk ia yang menghambur kencang ke dalamnya.
Mereka saling berdekap, lama, tanpa bicara, tanpa tatap, namun hangat dan aman.
“Sudah aku akhiri semuanya,” ujar dia.
Mereka berjalan berdampingan menuju sofa. Bahkan dalam jarak yang sedemikian dekat, mereka tak berani untuk melepas genggaman tangan satu sama lain.
“Aku pun,” ujar ia.
Ia mengambil sepucuk surat yang baru saja ia tulis tadi sore, setibanya di rumah. Tertera alamat yang dituju, tanpa nama pengirim. Namun bukan itu yang penting.
Ia memerlihatkan surat selembar itu kepada dia.
“Bacalah, untuk yang pertama dan terakhir,” ujar ia.
Dia menghela napas sambil menatap ia, tatapan yang mungkin tak akan pernah mereka sadari, hanya ada di antara mereka. Sepasang pengantin baru yang sanggup bertarung dengan dunia, dengan hidup, dengan apapun yang selama ini menjadi ketakutan semua orang, juga mereka.
Lipatan itu terbuka, dengan penuh rasa takut namun tegar, dia membaca perlahan. Baris per baris yang telah terlukis oleh tulisan tangan sang istri.
“Jika memang ini menjadi kutukan yang pernah ada di semua dongeng, ini adalah nyata. Aku sungguh tak pernah tak mencintaimu. Aku sungguh tak pernah mampu untuk berbohong padamu. Hingga detik ini, aku tak mampu membohongimu. Bahwa aku dengan sepenuh hati menyayangimu. Namun, aku pun yakin tak ada satupun yang pernah merasa cinta sebesar ini. Cinta yang bisa mengalahkan dunia kiamat tanpa rasa takut.
Sedikit pun dalam hela nafasku, tiap detik dalam mimpiku, sengsara adalah aku. Derita adalah cinta ini. Namun, cinta adalah anugerah ini. Aku sungguh tak kuat lagi untuk berdiri dalam pelukan cinta palsu yang ternyata begitu menggiurkan di dunia. Cinta tanpa tonggak kokoh, cinta yang tak pernah mampu melawan takut, dan cinta yang tak menjamin apapun dalam hidupku.
Berat untuk aku melakukan ini, namun cukup.
Aku memang akan menjadi batu yang kau kutuk seumur hidup, dan oleh karena itu, aku pasrah kehilanganmu. Aku tak bisa memilih, namun aku bisa pasrah. Ikhlas. Untuk menjauh dari hidupmu.
Percayalah, tidak ada cinta sebesar ini dalam hidup siapapun.
Maafkan aku,
Jika ini bukan cinta untuk mati, aku akan lebih memilih membunuh diriku di hadapanmu.
Maafkan aku, karena telah mengkhianatimu.
Maafkan aku, karena telah membunuhmu.
Maafkan aku, karena telah menikah dengan tunanganmu.”
Tertera sebuah nama di amplop surat itu,
Nama Sang Perempuan.
***
1 Oktober 2009
Comments
Post a Comment